Chat Here

Welcome to peoplewillfindtheway.blogspot.com... Feel free to explore and enjoy!

Sehari-hari

Author: Nyanabhadra


Melakoni setiap momen kehidupan dengan penuh perhatian merupakan hobi para praktisi, melalui cara demikian dia menuai banyak kearifan, lakon kehidupan demikian bisa terwujud karena seseorang selalu meluangkan banyak waktu senggang untuk melihat ke dalam dirinya sendiri, menatap lebih dalam apa yang sedang terjadi dalam pikiran dan perasaan, menatap lebih teliti reaksi apa yang sedang dipancarkan oleh badan jasmani, kemudian juga melongok apa yang sedang terjadi di dunia sekeliling ini.
Seandainya seseorang bisa secara kontinu hidup dalam ritme demikian tampaknya bisa memanen banyak kearifan, dia tidak perlu membaca buku terlalu banyak, dia tidak perlu menjadi orang pintar, dia tidak perlu menonton terlalu banyak, dia tidak perlu menghabiskan waktu untuk belanja, cukup memperhatikan dengan seksama apa yang sedang terjadi dalam tiga dimensi itu, dimensi pikiran, dimensi badan jasmani, dan dimensi lingkungan.
Seorang monastik juga demikian hendaknya, ia selalu menyediakan waktu untuk melirik tiga dimensi itu, rasanya inilah yang disebut “belajar dari kehidupan”, kalimat ini bukan sekedar pemanis bibir saja, namun betul-betul menjadi satu dengan aktivitas sehari-hari, ketika seseorang bernapas, ketika seseorang berjalan, ketika seseorang duduk, ketika seseorang makan, ketika seseorang minum, semua aktivitas ini sedang memberi nutrisi sehat kepada aspek mental dan fisik.
Saya sedang mengimajinasikan bagaimana kehidupan Guru saya, Buddha Sakyamuni sejak ribuan tahun lalu, ketika zaman India kuno, tiada parabola, tiada satelit, tiada email, tiada YM, tiada Facebook, tiada internet, dan tiada listrik!
Buddha Sakyamuni sejak kecil belajar banyak filsafat India kuno, beliau juga membaca dari banyak sumber spiritual aneka ragam, Buddha seolah-olah menjadi seorang manusia segala super, namun melalui kaca mata seorang monastik seperti saya, Buddha tak lain tak bukan hanyalah manusia biasa yang melakoni hidupnya seperti manusia lainnya, beliau makan dan minum tentu saja juga perlu ke kamar kecil, ketika cuaca panas atau hujan maka beliau perlu tempat untuk berteduh, ketika musim dingin maka beliau perlu jubah lebih tebal, dan ketika bagian punggung gatal maka beliau juga akan mengaruk dengan penuh cinta kasih.
Saya yakin bahwa Buddha menghabiskan momen sehari-hari dengan berbagi dharma kepada banyak orang, kemudian berbagi waktu untuk murid monastik agar mereka selalu maju dalam latihan, seandainya ada tamu datang berkunjung, Buddha akan meminta Bhante Ananda untuk menggelar tikar di luar sana di bawah rindang pohon untuk berbincang-bincang, dalam kondisi demikian Bhante Ananda akan berdiri di belakang dan menunggu perintah dari Buddha atau kadang-kadang mengipas perlahan-lahan dari belakang agar Buddha tidak kepanasan.
Kehidupan di zaman dahulu lebih sering berlatar belakang di hutan, rasanya pasti ada waktu-waktu ketika Buddha tidak terlalu sibuk, beliau mengajak Bhante Ananda untuk pergi ke Hutan untuk menikmati pemandangan dan beristirahat di sana.
Kebiasaan makan manusia zaman sekarang mungkin berbeda-beda, suatu ketika ada seorang teman saya bernama Mega datang dan bilang, “Saya biasanya mandi duluan Bhante sebelum makan”, lantas saya tanya kenapa? Mega bilang, “Biar tidak gemuk Bhante, karena kalau makan duluan terus baru mandi, air dingin itu bisa mempengaruhi pencernaan kurang lancar, kalau pencernaan kurang lancar berarti ada lemak yang tertimbun”, Saya merenung dan berpikir, tampaknya ada benar juga, saya sendiri kadang mandi duluan baru makan dan kadang sebaliknya.
Bagaimana dengan Guru saya? Rasanya beliau akan mandi duluan setelah itu baru makan siang, dan saya tidak tahu apakah zaman itu ada sikat gigi atau tidak, seingat saya ada bagian dari Winaya menyebutkan wajib berkumur-kumur setelah makan, sedangkan Winaya saya sekarang ini mewajibkan menyikat gigi setelah makan, di Winaya versi tradisional tidak ada kode etika seperti ini, namun monastik di Plum Village menambahkan kode etika ini sebagai respon terhadap perubahan zaman.
Wajar sekali kalau Buddha juga mengalami sakit, rasanya Bhante Ananda akan membatalkan janji temu ataupun tidak mengizinkan orang lain datang berkunjung ketika Buddha sedang sakit, beliau hanya berbaring istirahat tak melakukan apa pun untuk memulihkan kondisi fisik. Teringat ada seorang dokter tersohor zaman itu bernama Jivaka yang merupakan dokter khusus Buddha dan para murid-muridnya.
Ada kurun waktu lain ketika beliau ingin menyendiri tanpa diganggu oleh tamu, maka beliau akan memberitahu Bhante Ananda, atau kadang-kadang Buddha membersihkan sendiri kamarnya dan pergi ke hutan tanpa memberitahu kepada siapapun.
Zaman Buddha juga banyak orang sakit, tampaknya ada waktu-waktu luang bagi Buddha pergi berkunjung ke mereka yang sedang sakit, atau sekedar pergi melihat sana-sini untuk memastikan murid-murid monastiknya berlatih dengan baik, segala sesuatu dalam keadaan rapi dan teratur, atau kadang-kadang beliau pergi meditasi jalan di hutan sekaligus meregangkan kaki sebagai bentuk olah raga.
Buddha banyak memberikan ceramah, namun sekali-kali beliau memilih salah satu muridnya untuk memberikan ceramah, beliau duduk santai di belakang untuk mendengarkan ceramah dharma dari muridnya.
Saya tidak tahu berapa jam waktu yang diperlukan Buddha untuk tidur, setelah hampir 4 tahun menjadi monastik, saya merasa 6 jam tidur buat tubuh saya sudah sangat mencukupi, berapa jam untuk anda? Silakan cari tahu sendiri.
Saya berkunjung ke Thailand beberapa kali, suatu ketika saya berkunjung ke satu tempat yang ada rupang Buddha parinirvana demikian disebutkan disitu, Buddha dibuat sedemikian rupa oleh sang artis dalam wujud muda, padahal beliau saat itu seharusnya sudah berumur sekitar 80, seharusnya beliau berparas lebih tua untuk menujukkan naturalisme kehidupan, yakni lahir, tua, sakit, dan mati agar manusia juga bisa bersentuhan dengan kebenaran natural.
Kita terlalu banyak terpengaruhi oleh kisah-kisah yang menyebutkan Buddha adalah manusia yang memiliki segala kekuatan supernatural dan magis, namun bagi saya sebagai cicit buyut dari Buddha, beliau hanyalah sekedar manusia biasa apa adanya, manusia yang menarik perhatian dalam atmosfir kebaikan, cinta kasih, sabar, semangat, tekun, bersahaja, dan pancaran kedamaian. Pengertian mendalam inilah menjadikan beliau seorang manusia bebas!
Tinggal di Pusat meditasi Plum Village di Perancis setahun lebih membantu saya melihat Guru terdekat saya, Bhante Thich Nhat Hanh sebagai manifestasi Buddha, persis seperti yang saya ilustrasikan di atas, melihat Buddha lewat lakon hidup nyata seorang guru membantu saya melihat tembus ke ribuan tahun lalu seperti Buddha Sakyamuni hidup di abad modern serba teknologi ini. [Hongkong, 11 November 2010]

Betapa Bahagianya!

Buddha berjalan dari kerajaan Sakya menuju Kosala bersama ribuan biksu, hampir semua biksu berasal dari keluarga bangsawan. Rombongan berhenti taman dekat desa Anupiya yang merupakan kampung halaman suku Malla. Bhante Sariputra, Kaludayi, Nanda, dan Samanera Rahula juga ikut dalam rombongan itu.
Setelah Buddha dan rombongan meninggalkan Kapilawastu bulan lalu, ada dua kakak beradik dari keluarga bangsawan bernama Mahanama dan Anuruddha juga ingin bergabung dalam komunitas sanggha biksu, keluarga bangsawan yang memiliki kekayaan berlimpah ruah, mereka punya tiga kapling tanah yang setara dengan desa, setiap kapling tanah itu merupakan tempat rehat untuk tiga musim berbeda, mereka berdua ingin mengikuti jejak beberapa temannya yang sudah menjadi murid Buddha, namun Mahanama sebagai kakak tertua merasa kurang baik apabila mereka berdua menjadi biksu, oleh karena itu dia mengizinkan adiknya pergi dan dia sendiri meneruskan tugas mengelola kekayaan keluarga.
Suatu hari, Anuruddha meminta izin kepada ibundanya, tak banyak bicara, ibundanya langsung protes, “Anakkku, engkau satu-satunya kebahagiaanku dalam hidup ini, coba bayangkan sekarang engkau pergi jadi biksu, bagaimana aku tidak sakit hati?
Anuruddha dengan tenang membalas, “Ibunda, sudah sekian banyak putra bangsawan menjadi biksu, latihan mereka membuahkan begitu banyak kebahagiaan dan kedamaian bagi diri sendiri, keluarga, dan juga masyarakat.” Anuruddha sudah sering mendengar ceramah dari Buddha di Taman Nigrodha, sehingga ia bisa menjelaskan niat dan maksudnya dengan jelas, akhirnya ibundanya menyerah dan bilang, “Baiklah anakku, aku akan memberi izin kepadamu dengan satu syarat, kalau sohib karibmu, Baddhiya juga jadi biksu, maka engkau juga boleh jadi biksu
Ibunya sudah yakin bahwa Baddhiya tidak mungkin pernah terbesit dalam pikirannya untuk menjadi biksu, juga karena Baddhiya bagian dari orang penting dalam jabatan kerajaan, memiliki tanggung jawab besar, reputasi tinggi, tentu saja tidak mungkin dia mau melepaskan semua prestisenya untuk hidup serba sederhana sebagai biksu.
Anuruddha tidak patah semangat, dia segera pergi bertemu dengan Baddhiya di daerah propinsi utara, karena Baddhiya menjabat sebagai gubernur di sana, tempat kediamannya begitu besar dan banyak tentara yang siap menerima komando, siang dan malam semua prajurit mengawasi dengan ketat, setiap hari selalu ada kunjungan dari pejabat penting dan utusan dari berbagai daerah dan propinsi.
Baddhiya menerima kedatangan Anuruddha sebagai tamu spesial.
Anuruddha bilang, “Aku ingin meninggalkan rumah untuk menjadi biksu di bawah bimbingan Buddha, tapi saya tidak bisa, satu-satu alasanya karena dirimu!

Baddhiya ketawa terkekeh-kekeh, “Maksudmu? Aku tidak pernah mencegahmu untuk menjadi biksu. Tak ada alasan bagiku untuk mencegahmu, bila perlu aku menggunakan semua upaya untuk membantumu mengapai cita-cita itu”.
Anuruddha menjelaskan pokok persoalannya. Dia menyimpulkan dengan bilang “Kawanku, engkau barusan bilang akan menggunakan semua upaya membantuku mengapai cita-cita, satu-satunya cara adalah engkau juga ikut jadi biksu
Baddhiya sedikit kikuk, sebenarnya dia juga tertarik dan sudah terinpirasi untuk berlatih dalam jalan menuju kesadaran, bahkan dia juga diam-diam ingin menjadi biksu juga namun tidak sekarang ini. Dia bilang “Tunggu 7 tahun lagi deh, tunggu tanggal mainnya, saya akan jadi biksu nanti
Menunggu 7 tahun terlalu lama kawanku, tak tahu apakah kita masih hidup di saat itu
Menunggu 7 tahun terlalu lama kawanku, tak tahu apakah kita masih hidup di saat itu
Baddhiya ketawa lagi, “Hai kawanku, kenapa engkau begitu pesimis, okelah, bagaimana kalau 3 tahun, saya akan jadi biksu 3 tahun kemudian
Bahkan 3 tahun juga terlalu lama
Oke-oke, bagaimana kalau 7 bulan, saya harus membereskan semua urusan keluarga dan menyerahkan jabatan gubernur ke orang lain
“Kenapa sih orang yang sudah siap meninggalkan rumah untuk jadi biksu perlu waktu segitu panjang untuk menyelesaikan urusannya? Seorang biksu bebas meninggalkan semuanya demi berlatih dalam jalan menunju kesadaran penuh dan pembebasan. Kalau engkau menunda dan terlalu banyak menghabiskan waktu, mungkin engkau akan berubah pikiran
“Baiklah kawanku, saya janji, kasih saya waktu 7 hari, setelah itu saya akan segera bergabung denganmu
Sungguh tak diduga, Anuruddha pulang dengan riang dan menyampaikan kabar ini kepada ibundanya, suatu hal yang tak pernah terbayangkan oleh ibundanya, sosok seperti Baddhiya yang punya status prestigius bisa dengan mudah meninggalkan jabatannya. Tiba-tiba ibundanya menyadari bahwa metode latihan menuju kesadaran penuh ini punya kekuatan luar biasa dan ia mulai bisa merelakan anaknya pergi menjadi biksu.
Anuruddha juga berhasil mengajak beberapa temannya untuk ikut bergabung juga, seperti Bhagu, Kimbila, Devadatta, dan Ananda, mereka merupakan pangeran kerajaan dari suku bangsawan. Pada hari yang sudah ditentukan mereka bertemu di istana Devadatta dan pergi bertemu Buddha. Mereka semua sudah dewasa kecuali Ananda yang masih berumur 18 tahun, namun Ananda sudah mendapat izin dari ayahndanya untuk mengikuti kakak kandungnya, Devadatta. Mereka naik kereta hingga desa kecil di perbatasan Kosala, mereka sudah dapat informasi bahwa Buddha sedang berada di daerah Anupiya.
Anuruddha mengusulkan untuk menanggalkan permata, kalung, dan semua perhiasan yang masih melekat di badan mereka sebelum menyeberang ke perbatasan. Semua perhiasan di bungkus dalam sepotong kain, mereka semua setuju untuk memberikan perhiasan itu kepada rakyat miskin. Mereka melihat ada sebuah salon cukur rambut sederhana dan ada seorang anak muda yang juga berumur sebaya dengan mereka. Tampang anak muda itu tidak begitu menarik dan berpakaian lusuh, Anuruddha masuk ke salon itu dan menanyakan namanya.
Anak muda itu menjawab “Nama saya Upali.
Anuruddha bertanya kepada Upali rute jalan untuk menyeberangi perbatasan itu, Upali dengan senang hati menawarkan diri untuk menuntun mereka menuju perbatasan. Sebelum mereka berpisah, mereka menyerahkan bungkusan perhiasan itu kepada Upali. Anuruddha bilang, “Hai Upali, kami ingin ikut Buddha dan menjadi muridnya, berlatih sebagai seorang biksu, kami tak butuh perhiasan ini lagi, kami ingin memberikannya kepadamu, berbekal perhiasan ini engkau bisa hidup berkecukupan seumur hidupmu.
Para pangeran itu mengucapkan selamat tinggal dan menyeberang dari perbatasan itu. Ketika tukang cukur muda itu membuka kain bungkusan itu, matanya bersinar terang dan takjub, dia yang berasal dari kasta rendah tak pernah memiliki harta sebanyak itu seumur hidup, jangankan perhiasan, emas satu ons atau cicin sepotong saja tidak pernah ia miliki, sekarang dia punya harta segunung itu penuh dengan perhiasan intan permata. seharusnya dia berbahagia, tapi dia malah panik, dia bungkus kembali kain itu dan peluk erat-erat, semua rasa nyamannya menguap seketika, dia tahu nantinya akan ada banyak orang yang ingin membunuhnya dan merampas intan permata ini.
Upali merenung, para pangeran yang menikmati harta karun berlimpah ruah saja melepaskan semua ini demi menjadi biksu, pasti mereka juga sudah sadar kalau harta karun dan ketenaran merupakan sumber beban dan mara bahaya, tiba-tiba Upali juga punya niat untuk melepaskan semua harta karun itu dan mengikuti jejak para pangeran untuk berjalan menuju kedamaian, pencerahan, dan pembebasan. Tanpa ragu-ragu ia menggantungkan bungkusan perhiasan itu di atas sebatang ranting dan membiarkan orang pertama lewat di situ untuk mengklaimnya, dia segera lari melewati perbatan untuk mengejar para pageran, dia akhirnya berhasil mengejar mereka.
Upali merenung, para pangeran yang menikmati harta karun berlimpah ruah saja melepaskan semua ini demi menjadi biksu, pasti mereka juga sudah sadar kalau harta karun dan ketenaran merupakan sumber beban dan mara bahaya
Para pangeran kaget melihat Upali, Devadatta bertanya, “Hei Upali, kenapa engkau mengejar kami? mana bungkusan perhiasan yang kami kasih kepadamu?
Upali masih engos-engos bernapas dan menjelaskan bahwa dia sudah gantungkan bungkusan itu di ranting pohon dan membiarkan orang pertama lewat di situ untuk mengklaimnya. Upali bilang dia tidak merasa nyaman dengan begitu banyak kekayaan dan sekarang dia ingin bergabung menjadi biksu di bawah bimbingan Buddha juga.
Devadatta ketawa, “Engkau mau jadi biksu? tapi engkau seorang —

Anuruddha segera memotong Devadatta, “Bagus! Bagus! Kami senang kalau engkau juga mau bergabung. Buddha mengajarkan bahwa komunitas biksu seperti sebuah samudra dan para biksu seperti sungai-sungai yang mengalir ke samudra dan menjadi satu. Walaupun kita lahir di kasta berbeda, namun seketika kita bergabung dalam komunitas ini, kita adalah kakak adik, tidak ada bedanya satu dengan lainnya
Buddha mengajarkan bahwa komunitas biksu seperti sebuah samudra dan para biksu seperti sungai-sungai yang mengalir ke samudra dan menjadi satu
Baddhiya segera menyodorkan tangannya untuk memberi salam kepada Upali. Dia memperkenalkan dirinya sebagai mantan gubernur propinsi utara dari kerajaan Sakya. Dia juga memperkenalkan pangeran lain kepada Upali, mereka bertujuh melanjutkan perjalanan.
Mereka tiba di Anupiya pada hari berikutnya dan ada yang bilang bahwa Buddha menginap di hutan sekitar 2 Kilometer ke arah barat daya kota. Mereka berjalan ke sana dan bertemu dengan Buddha, Baddhiya sebagai perwakilan untuk memohon penahbisan, Buddha mengangguk setuju menerima permohonan mereka. Baddhiya bilang, “Kami ingin memohon agar Upali ditahbiskan terlebih dahulu sehingga dia bisa menjadi kakak senior kami dalam dharma, setelah itu kami akan bersujud dihadapannya untuk memotong semua kepalsuan dan keangkuhan yang masih ada dalam diri kami
Buddha menahbiskan Upali terlebih dahulu, kemudian Ananda hanya menerima penahbisan samanera sebagai persiapan menerima penahbisan biksu ketika sudah berusia 20 tahun. Ananda adalah yang termuda setelah Rahula, Rahula senang sekali melihat Ananda.
Beberapa hari setelah penahbisan, Buddha dan rombongan menuju Vesali, di tengah perjalanan, mereka beristirahat tiga hari di Taman Mahawana, setelah itu mereka menghabiskan sepuluh hari baru tiba di Wihara Hutan Bambu di Rajagaha.
Bhante Kassapa, Moggalana, dan Kondanna bersama sekitar 600 biksu sangat senang bisa bertemu kembali dengan Buddha. Raja Bimbisara segera menuju Wihara Hutan Bambu untuk bertemu dengan Buddha seketika ia mendapat kabar Buddha telah kembali. Suasana wihara menjadi hangat dan riang. Retret musim hujan hampir tiba, Bhante Kondana dan Kassapa sudah mempersiapkan semua kebutuhan. Kali ini merupakan retret musim hujan ketiga bagi Buddha. Musim Hujan pertama Buddha tinggal di Taman Rusa dan yang kedua di Hutan Bambu.
Sebelum Baddhiya menjabat sebagai gubernur, ia juga telah banyak mencurahkan perhatian untuk mendalami spiritual, sekarang ini ia berada di bawah bimbingan Bhante Kassapa di Hutan Bambu, ia menaruh semua hati dan pikiran dalam latihan, meluangkan semua waktu untuk latihan meditasi. Ia lebih senang tidur di bawah pohon daripada tidur di dalam gubuk. Suatu malam ketika dalam meditasi duduk di bawah pohon ia merasakan kebahagiaan luar biasa, suatu kebahagiaan besar yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya, kemudian dia berseru, “Oh Bahagianya! Betapa bahagianya!
Ada seorang biksu lain yang duduk dekat Baddhiya mendengar seruan itu, keesokan harinya biksu itu melaporkan kepada Buddha, “Guru, kemarin malam ketika dalam meditasi duduk saya tiba-tiba mendengar Bhante Baddhiya berseru ‘Oh kebahagiaan! Betapa bahagianya!’ Tampaknya dia kangen dengan kekayaan dan ketenaran yang telah ia tinggalkan itu. Saya merasa ini sebaiknya diberitahu kepada Guru.
Buddha hanya mengangguk.

Setelah makan siang, Buddha memberikan ceramah dharma, selesai itu, Buddha memanggil Bhante Baddhiya untuk maju ke hadapan komunitas yang mana ada murid awam yang hadir di situ juga. Buddha bertanya, “Bhante Baddhiya, kemarin malam ketika dalam meditasi duduk, apakah engkau berseru ‘Oh kebahagiaan! Betapa bahagianya!
Baddhiya merangkapkan kedua tangannya dan menjawab, “Betul Guru, kemarin malam ketika dalam meditasi duduk, saya menyerukan kata-kata itu!

Bolehkan engkau memberitahu kita alasannya?
Yang Mulia, sebelumnya saya bertugas sebagai gubernur, hidup dalam kemewahan dan kekuasaan, kemanapun saya pergi selalu dikawal oleh prajurit, siang dan malam istana selalu di kawal oleh tentara terlatih; walaupun demikian saya tidak pernah merasa aman. Saya terus-menerus merasakan takut dan cemas, sekarang ini saya bebas untuk jalan dan duduk damai di dalam hutan belantara, saya menyadari sepenuhnya tidak ada rasa takut dan cemas lagi melainkan saya merasa damai, ringan, dan riang, sungguh perasaan yang tidak pernah saya rasakan sebelumnya. Guru, menjalankan kehidupan sebagai biksu membawa begitu banyak kebahagiaan dan rasa syukur, saya tidak lagi punya rasa takut pada orang asing lagi dan tidak takut kehilangan apa pun, saya bahagia bagaikan rusa yang hidup bebas di dalam hutan.
Kemarin malam ketika dalam meditasi duduk, saya melihat hal ini demikian jelas sehingga saya menyerukan ‘Oh kebahagiaan! Betapa bahagianya!’ Saya mohon maaf kalau seruan itu menganggu Anda atau kakak biksu lainnya.
Buddha menyanjung Baddhiya di hadapan seluruh komunitas. “Sungguh indah Baddhiya, engkau telah mengapai banyak kemajuan dalam latihan, merasa berkecukupan dan tidak melekat lagi. Kedamaian dan suka cita yang engkau rasakan itu sangat didambakan oleh para dewa juga.
Pada retret musim dingin itu, Buddha juga menahbiskan seorang pria bernama Mahakassapa, seorang anak muda yang cerdas, ia berasal dari keluarga terkaya di Magadha, kekayaan ayah Mahakassapa melebihi harta menteri urusan keuangan kerajaan. Mahakassapa menikah dengan Bhadra Kapilani, mereka hidup sebagai suami istri selama 12 tahun, namun hati mereka selalu ingin menjalankan kehidupan spiritual.
Suatu pagi, Mahakassapa terbagung sebelum istrinya, tiba-tiba dia melihat ada ular berbisa menyusup di pergelangan tangan pakaian yang digantung di dekat ranjang. Mahakassapa tidak berani menganggu ular itu, dia menggendong Kapilani keluar dari kamar. Mahakassapa membangunkan istrinya dan menceritakan apa yang barusan terjadi. Mereka menyadari sepenuhnya bahwa hidup ini penuh dengan ketidakpastian, Kapilani mendorong Mahakassapa untuk segera mencari guru dan berlatih di jalan pembebasan tanpa menunda lagi. Mereka telah mendengar tentang Buddha, oleh karena itu dia pergi ke Hutan Bambu. Seketika ia bertemu dengan Buddha, dia langsung yakin bahwa inilah guru yang dia cari selama ini. Buddha dengan begitu mudah bisa melihat bahwa Mahakassapa adalah seorang anak muda yang memiliki pandangan mendalam, dan Buddha menahbiskan Mahakassapa.
Mahakassapa memberitahu Buddha bahwa istrinya juga ingin menjadi biksuni dan berlatih dalam jalan menuju pembebasan ini, Buddha membalas bahwa waktu masih belum matang untuk menerima wanita ke dalam komunitas, mohon dia bersabar dan menunggu.
Dari Old Path White Cloud, Bab 38, hal. 249 s.d. 255
Terjemahan bebas oleh Nyanabhadra [Chân Pháp Tử]

Refleksi Sabda-Sabda Sang Buddha (3)

Kebudayaan Batin

Manusia merupakan proses rohani dan jasmani yang selalu berubah dan unsur terpenting dalam proses ini adalah pikiran. Menguasai pikiran merupakan jiwa dari ajaran Buddha. Kebahagiaan harus ditemukan dan kesempurnaan dicapai melalui unsur batin dalam diri kita, kesadaran kita. Akan tetapi, selama kesadaran itu kotor, tidak ada yang berharga yang dapat dicapai di sana . Oleh karenanya Buddha menekankan kesucian batin sebagai sumber, kondisi terpenting dari kebahagiaan sejati dan pembebasan dari penderitaan. Sering kali Buddha menasehati murid – murid – Nya demikian : “ Carilah dirimu sendiri, “ dan “ Kuasailah pikiranmu. “ ( D. 16 ).
Terpengaruh oleh satu sabda Buddha, banyak orang mengubah hidupnya secara menyeluruh. Kitab – kitab Buddhis penuh dengan contoh tentang perubahan mendadak yang terjadi setelah mendapat petunjuk singkat seperti berikut ini :
“ Pembuat saluran air mengalirkan air,
Pembuat panah meluruskan anak panah,
Tukang kayu melengkungkan kayu,
Orang bijaksana menaklukkan dirinya sendiri. “ Dhp. 80

Menjaga diri sendiri dari ketamakan, dan melatih diri sendiri untuk melakukan perbuatan yang bebas dari ketamakan, adalah perbuatan yang tidak mementingkan diri sendiri, yang merupakan jalan menuju kebahagiaan dan kesejahteraan sejati dalam ajaran Buddha.
Dua khotbah Buddha yang penting ( D. 25 ; M. 22 ) dengan jelas mengungkapkan kepada kita mengapa Buddha mengajarkan Dharma, ajaran itu. Marilah kita menyimaknya :
  1. Buddha telah mencapai Penerangan Sempurna. Beliau mengajarkan Dharma agar orang lain mencapai penerangan.
  2. Beliau mengendalikan diri sendiri. Beliau mengajarkan Dharma agar orang lain mengendalikan diri.
  3. Beliau tenang. Beliau mengajarkan Dharma agar orang lain mencapai ketenangan.
  4. Setelah menyeberang ( ogha, gelombang noda ), Beliau mengajarkan Dharma agar orang lain menyeberang.
  5. Setelah mencapai Nirwana ( dengan memadamkan api kotoran batin, parinibbuto ), Beliau mengajarkan Dharma agar orang lain mencapai Nirwana.
Dharma, ajaran Buddha, bukanlah semata – mata pengetahuan atau pun semata – mata dimiliki seperti layaknya harta benda. Buddha dengan jelas telah menunjukkan bahwa Dharma merupakan sarana untuk menyeberangi lautan penderitaan, lautan samsara atau kelahiran yang berulang – ulang, dan untuk mencapai pantai tanpa kematian, Nirwana, dengan aman dan selamat. Dharma bagaikan sebuah rakit untuk menyeberangi lautan.
Hanya ketika pikiran tidak dibiarkan untuk menyepakkan jejak dan dijaga pada jalur yang benar untuk mencapai kemajuan bertahap, ia akan berguna bagi pemiliknya dan bagi masyarakat. Pikiran yang kacau merupakan beban bagi pemiliknya maupun bagi orang lain. Semua malapetaka di dunia ditimbulkan oleh orang – orang yang belum mempelajari cara – cara menguasai pikiran serta keseimbangan dan ketenangan jasmani. Oleh karena itulah, Buddha berkata :
“ Luka apa pun dapat diperbuat oleh orang
yang saling bermusuhan dan membenci,
Pikiran yang diarahkan secara salah akan
Jauh lebih berat melukai diri sendiri. “ Dhp. 42

Kedudukan, kasta, warna kulit, kekayaan dan kekuasaan tidak dapat membuat seorang manusia menjadi orang yang berharga bagi dunia. Hanya karakter manusia yang membuat manusia menjadi besar dan patut dihormati. “ Karakter adalah apa yang keluar ketika kehidupan dijalani di bawah tekanan kegiatan, dengan maksud dan keahlian tertentu. Bagaikan intan yang merupakan karbon yang telah menjadi sasaran tekanan yang berat, demikian pula kehidupan yang dijalani di bawah semangat dan usaha spiritual yang terus menerus menghasilkan batu permata, karakter. “ karakterlah yang menerangi kebijaksanaan ( apadana sobhini panna ).
Manusia hari ini merupakan hasil dari jutaan pengulangan pikiran dan perbuatan. Ia tidak langsung jadi ; ia terbentuk dan masih membentuk. Karakternya ditetapkan terlebih dahulu oleh pilihannya sendiri. Pikiran, perbuatan yang dipilihnya, menjadi kebiasaan yang membentuknya.
“ Pada saat kelahiran pikiran bersinar – sinar, dan dicemari oleh kotoran – kotoran secara tidak disengaja ( pabhassaramidam bhikkhave citam, tam ca kho agantukehi upakkilesehi upakkilittham ), “ kata Buddha. Begitu pula orang – orang, mendasari pemikiran mereka pada sabda Buddha, mengatakan hal yang sama dengan kalimat lain : “ Pada dasarnya makhluk hidup itu baik, tetapi secara tidak disengaja kotoran menodainya. “
Dengan perhatian dan pikiran yang sistematis menyangkut hal – hal yang ditemui seseorang dalam kehidupannya setiap hari, dengan menguasai keinginan jahatnya dan dengan mengekang dorongan hati, ia dapat menjaga pikiran dari kotoran. Adalah sulit untuk melepaskan apa yang memikat kita dan menahan kita dalam perbudakan ; sulit pula mengusir roh jahat yang menghantui hati manusia dalam bentuk pikiran – pikiran yang tidak baik. Kejahatan – kejahatan tersebut merupakan penjelmaan dari ketamakan, kebencian dan kebodohan batin : lobha, dosa dan moha, tiga jenis pasukan kematian ( mara ). Sampai seseorang mencapai puncak kesucian dengan latihan pikiran tanpa henti, ia tidak dapat mengalahkan pasukan itu secara menyeluruh. Hanya dengan melepaskan hal – hal eksternal, berpuasa dan lain – lain, tidak dimaksudkan untuk menyucikan manusia, hal – hal ini tidak membuat manusia menjadi suci dan aman. Menyiksa diri sendiri merupakan suatu perbuatan ekstrem yang keliru yang dalam pembabaran Dharma yang pertama kali oleh Buddha ditolak. Juga Beliau menolak kenikmatan hawa nafsu, dengan menyebutnya sebagai perbuatan tercela. Dengan menghindari dua jalan ekstrem, Buddha mengungkapkan pada dunia Jalan Tengah – Majjhima Patipada – yang membawa seseorang pada kedamaian, penerangan dan Nirwana ( upasamaya, sambodhaya nibbanaya ).
Spinoza menulis : “ hal – hal yang biasa terjadi dalam kehidupan, dan dihargai di antara manusia sebagai kebaikan tertinggi, dapat dikurangi oleh ketiga hal ini, kekayaan, ketenaran dan hawa nafsu, karena ketiga hal ini pikiran menjadi kacau sehingga pikiran hampir tidak dapat memikirkan kebaikan lain. “
Nafsu manusia adalah godaan. Nafsu makhluk hidup yang buta telah menimbulkan kebencian dan segala bentuk penderitaan. Musuh seluruh dunia adalah hawa nafsu yang melaluinyalah seluruh kejahatan datang pada makhluk hidup. Hawa nafsu ini ketika dihalangi oleh beberapa sebab, berubah menjadi kemarahan. Dan manusia jatuh ke dalam jaring yang dibuatnya sendiri dengan nafsu akan kenikmatan, bagaikan seekor laba – laba yang jatuh ke dalam jaringnya sendiri. Namun dengan melatih perbuatan baik, mengembangkan ketenangan, dan mendapatkan cahaya kebenaran, orang – orang bijaksana berjalan terus melepaskan ikatan. Mereka yang bijaksana dianggap sebagai orang yang telah menaklukkan dirinya sendiri dengan mencabut akar dari nafsu lebih hebat daripada orang yang telah memenangkan ribuan pertempuran.
Orang – orang bijaksana melatih pikiran mereka dengan menghindari minuman keras dan memelihara kesadaran, membuat dirinya sabar dan suci. Sikap yang tenang sepanjang waktu menunjukkan seorang manusia beradab. Bukanlah tugas yang berat bagi seseorang untuk menjadi tenang jika semua hal yang menyertainya mendukung. Akan tetapi sulit untuk memusatkan pikiran ditengah – tengah keadaan yang tidak menguntungkan, dan hal yang sulit inilah yang patut dilakukan. Dengan pengendalian seperti itu orang akan dapat memperkuat karakternya.
Mengendalikan diri sendiri adalah kunci menuju kebahagiaan. Itulah yang terbaik di antara segala perbuatan yang baik. Itulah kekuatan di belakang semua pencapaian sejati. Gerakan seseorang tanpa adanya pengendalian tidak ada gunanya dan mengganggu ketenangan. Orang yang memperturutkan hawa nafsu itu bagaikan seekor burung pelatuk rakus yang terkena penyakit parah karena pisang – raja hutan yang mentah.
Seorang bijaksana pada zaman dahulu mengatakan :
“ Jika orang merenungkan objek indrawi,
maka timbul daya tarik ; dari daya tarik timbul keinginan
Keinginan membakar hawa nafsu yang dahsyat ;
Nafsu menghasilkan kenekatan ; Lalu semua ingatan berkhianat ;
Membiarkan tujuan mulia lewat, melemahkan pikiran ;
Sampai tujuan, pikiran dan manusia semuanya runtuh. “

Karena kurangnya pengendalian maka dalam pikiran kita timbul berbagai macam pertentangan. Jika pertentangan ingin dimusnahkan, kita harus melakukan sedikit kendali pada keinginan dan dorongan hati serta berusaha keras untuk menjalani kehidupan yang dikendalikannya sendiri dan suci.
“ Sering kali kita semua sangat diperbudak oleh hawa nafsu, oleh hal – hal yang materialis, kita hidup semata – mata dalam dunia lahiriah, sehingga kita gagal berhubungan dengan kekuatan di dalamnya. Akan tetapi, kita harus belajar menangkap realitas di dalamnya. Dengan menyendiri dalam kesunyian, kita dapat belajar untuk mengatasi kelemahan dan keterbatasan dari pengalaman biasa. Tanpa melakukan hal ini, hidup tidak memiliki arti, tujuan, dorongan dan inspirasi.
Tidak banyak pemikiran dan argumen tentang menyempurnakan kehidupan yang menuntun kita mencapai tujuan yang kita inginkan. Tak banyak pertimbangan yang membawa kita lebih dekat kepada tujuan kita. Akan tetapi setiap perbuatan karena penolakan murni dan melepaskan diri dari sasaran yang dipengaruhi oleh nafsu – yang membuat kita semakin menuju gelapnya kebodohan dan memperbudak kita dengan daya tariknya – membawa kita ke tujuan, kebahagiaan dan kedamaian.
Tidak ada yang tak jelas dalam ajaran Buddha. Dengan mengetahui kejahatan sebagai kejahatan dan kebaikan sebagai kebaikan, mengapa orang masih saja ragu – ragu untuk menghindari jalan yang buruk dan menempuh jalan kebenaran ? Dalam pandangan Buddhis orang tidak dapat melakukan hal yang lain selain melatih perbuatan baik dan menghindari perbuatan jahat. Bagi umat Buddha melakukan perbuatan baik adalah keharusan, jika ia telah memahami ajaran Guru mereka :
Sabba papassa akaranam
Kusalassa umpasampada
Sacitta pariyodapanam
Etam Buddhanasasanam

“ Tidak melakukan segala bentuk kejahatan,
Senantiasa mengembangkan kebaikan,
Dan membersihkan batin
Inilah ajaran para Buddha. “ ( Dhp. 183 )

Setiap orang, walau bagaimanapun, dapat meraih kemenangan, jika ia mau. Kita semua tidak dapat menjadi negarawan besar, seniman atau ahli filsafat, tetapi apa yang lebih penting, bagaimanapun juga bagi kita, kita semua dapat, jika kita mau, menjadi manusia yang baik.
Sering kali usaha – usaha kita untuk meraih kesempurnaan tidak berhasil. Namun kegagalan tidaklah penting selama kita jujur dalam usaha – usaha kita, dengan motif yang suci, dan selalu berusaha berulang – ulang tanpa henti. Tidak ada yang mencapai puncak bukit secara seketika. Seseorang naik sedikit demi sedikit. Bagaikan seorang tukang yang ahli membersihkan kotoran dari emas sedikit demi sedikit, manusia harus mencoba untuk membersihkan hidupnya dari kotoran – kotoran ( Dhp. 239 ). Seorang anak belajar berdiri dan berjalan secara bertahap dan dengan susah payah. Demikian pula semua orang besar, dalam mencapai kesempurnaan, bergerak setahap demi setahap, melalui kegagalan yang berulang – ulang menuju keberhasilan akhir.
Jalan yang ditunjukkan oleh Buddha untuk tumbuh dan berkembang dari dalam adalah jalan meditasi. Jalan yang dengan hati – hati mengembangkan pikiran sehingga dari kehancuran hidup, menghasilkan buah pilihan berupa kebahagiaan murni dan ketenangan tertinggi. Itulah jalan yang memiliki kesadaran tanpa henti dalam semua perbuatan kita. Kewaspadaan dan kesadaran penuh ini membawa meditasi mencapai keberhasilan. Barang siapa sadar dan tahu akan dirinya sendiri, di setiap waktu sudah berada di gerbang Tanpa Kematian – Nirwana.

Sumber :
SPEKTRUM AJARAN BUDDHA
Kumpulan Tulisan Mahathera Piyadassi
Penerbit : YAYASAN PENDIDIKAN BUDDHIS TRI RATNA

Refleksi Sabda-Sabda Sang Buddha (2)

Moral yang Menimbulkan Akibat

Agama merupakan sesuatu yang harus didekati dengan pertimbangan dan perenungan- Jika telah dipelajari secara menyeluruh, suatu ajaran menarik hati dan pikiran seseorang, hendaknya ia menerapkan prinsip-prinsipnya dalam tingkah laku hidup sehari-hari. Adalah bodoh untuk mencoba mengikuti suatu kepercayaan bila seseorang tidak puas dengan kepercayaan itu karena alasan-alasan yang masuk akal. Seseorang harus jujur. Ia harus jujur kepada dirinya sendiri dan orang lain. Penipuan diri sendiri mengarah pada pertentangan batin dan kekecewaan. Tidak ada yang berhak mengganggu kebebasan orang lain dalam memilih suatu agama. Kebebasan berpikir merupakan hak asasi setiap manusia. Adalah salah bila memaksa seorang keluar dari cara hidupnya yang selaras dengan pandangan dan sifat kecenderungan dan dorongan batin orang itu. Paksaan dalam bentuk apa pun adalah tidak baik. Kekerasan yang terburuk adalah membuat seseorang menelan bulat-bulat kepercayaan yang tidak disukainya. Pemaksaan seperti itu tidaklah baik bagi siapa pun, di mana pun juga.
Seorang manusia harus diizinkan untuk tumbuh dengan cara yang akan membuatnya menghasilkan suatu yang terbaik. Pengawasan apa pun terhadap kebebasan berpikir merupakan gangguan langsung terhadap perkembangan jiwa. Seorang umat Buddha menganggap gangguan seperti itu sebagai jenis ketidaktoleransian yang terburuk.
Penyucian tidak datang dari kekuatan eksternal, dan penyucian diri sendiri hanya dapat datang pada seseorang yang bebas mempertimbangkan masalahnya sendiri tanpa halangan apa pun. Orang lain dapat menolong jika ia siap untuk menerima pertolongan seperti itu atau pun mencari pertolongan itu. Kebahagiaan tertinggi hanya dapat dicapai melalui pengetahuan sendiri, pencapaian sendiri, kesadaran sendiri akan kebenaran. Seseorang harus mengusahakan upaya yang tepat dan memutuskan belenggu yang menahannya dalam perbudakan untuk waktu yang lama dan memperoleh kebebasan dari penderitaan dengan usaha sendiri yang tanpa henti, dan bukan melalui meditasi yang dilakukan oleh orang lain. Para biku bukanlah imam yang melakukan upacara pengorbanan. Mereka tidak melakukan upacara penyucian dan menyatakan pengampunan dosa. Seorang biku yang baik tidak dapat dan tidak berdiri sebagai perantara antara umat manusia dan kekuatan supernatural. Umat Buddha diajarkan bahwa setiap orang, apakah ia umat awam ataupun biku, semata-mata bertanggung jawab bagi pembebasannya sendiri. Oleh sebab itu tidaklah perlu mengambil hati seorang imam sebagai perantara.
“Oleh diri sendiri kejahatan dilakukan,
Oleh diri sendiri pula kita menderita.
Oleh diri sendiri kejahatan tidak dilakukan,
Oleh diri sendiri pula kita menjadi suci.
Tak ada yang menyelamatkan kita kecuali diri kita sendiri,
Tak ada yang dapat dan tak ada yang mungkin;
Kita sendirilah yang harus menempuh jalan itu,
Para Buddha hanyalah menunjukkan jalan.”

Buddha-lah yang pertama kali dalam sejarah dunia, mengajarkan bahwa pembebasan dapat dicapai tanpa adanya Juru Selamat. Dengan ajaran dan contoh, Beliau merupakan teladan dari kehidupan yang ulet. “Usahakanlah pembebasanmu dengan sadar waspada” (appamadena sampadetha) adalah amanat Buddha yang terakhir.
Setiap mahluk hidup adalah pencipta bagi dirinya sendiri. Tak ada pencipta lain yang kita lihat dalam dunia melebihi perbuatan kita sendiri. Dengan perbuatan kita, kita membentuk karakter, kepribadian dan individualitas. Kita semua maju berkat usaha sendiri. Oleh karena itu Buddha berkata bahwa “Kita adalah ahli waris dari perbuatan kita sendiri, pemilik yang bertanggung jawab atas perbuatan kita sendiri; perbuatan kita merupakan rahim dari mana kita dilahirkan,” (M. 135) dan melalui perbuatan kita sendiri, kita harus berubah ke arah yang lebih baik, membentuk kembali diri kita dan memenangkan pembebasan dari penderitaan. Bagaimana dapat terjadi sebaliknya? Jika kita, melalui kebodohan dan nafsu kita, dalam malam yang panjang mengembara dalam samsara tidak memperbaiki diri kita sendiri, bagaimana dapat berbeda dan tidak sama dengan makhluk-makhluk hidup sebagaimana yang kita lihat dalam dunia saat ini?
Ajaran tentang moral yang menimbulkan akibat (kamma), yang merupakan satu-satunya penjelasan yang masuk akal menyangkut banyaknya penderitaan yang terjadi di dunia, tidak dapat disangkal. Semua penjelasan mengenai kehidupan yang menderita kecuali moral yang menimbulkan akibat, sepenuhnya tidak memuaskan, karena mereka tidak memperhitungkan fungsi yang sebenamya dari unsur batiniah (nama) yang tidak dapat dinyatakan secara jelas, namun menentukan dalam proses penjelmaan (bhava). Akan tetapi ketika seseorang memahami kehidupan yang menderita terutama sebagai bekerjanya hubungan sebab akibat dalam aspek yang tersembunyi dari proses kesadaran, maka ia akan mengetahui dan memahami asal kehidupan itu kebodohan; dan bentuk-bentuk yang tak terhitung dari penderitaan sebagai ungkapan dari dorongan berbagai jenis nafsu yang menyebabkan semuanya timbul dan lenyap dari satu kehidupan ke kehidupan lain bagaikan gelembung dalam lautan samsara yang luas. Kemudian ia menyadari arti dari moral yang menimbulkan akibat melalui kejadian tumimbal lahir, kelahiran kembali; kita mendapatkan hasil dari apa yang telah tanam di masa lampau. Sebagian hasil yang kita dapatkan, kita ketahui, bahkan kita tanam dalam kehidupan ini. Dengan sendirinya dalam cara yang sama, perbuatan kita di sini membentuk masa depan kita dan dengan demikian kita mulai memahami kedudukan kita di alam semesta yang penuh misteri ini. Namun, haruslah diingat bahwa menurut agama Buddha, tidak semuanya yang terjadi disebabkan karena perbuatan atau karma masa lampau.
Oleh karena itu janganlah kita tergesa-gesa menyalahkan ataupun memuji dewa atau mahkluk khusus yang dipuja karena penderitaan yang kita alami dan kebahagiaan yang kita rasakan. Tidak, bahkan Buddha-pun tidak dapat menyelamatkan kita dari belenggu samsara. Setiap orang harus melakukan usaha yang diperlukan untuk mencapai pembebasan. Dalam tangan kita terletak kekuatan untuk membentuk kehidupan kita. Orang lain dapat memberi bantuan secara tidak langsung, namun pembebasan dari penderitaan harus dilakukan dan dibiasakan oleh setiap orang bagi dirinya berlandaskan perbuatannya sendiri.
Kita percaya bahwa :
“ Apa pun yang dilakukan seseorang, demikian pula yang akan dihadapi oleh dirinya ;
Baik bagi orang yang baik, dan buruk bagi pelaku kejahatan ;
Demikianlah perbuatan kita semua seperti benih, menghasilkan buah yang sesuai. “

Kita melihat kekuasaan hukum alam, sebab dan akibat yang tanpa akhir dan tidak ada yang lain yang menguasai alam semesta. Seluruh dunia merupakan sasaran dari hukum sebab dan akibat. Seluruh dunia diperintah dan dikuasai oleh hukum sebab dan akibat yang tanpa akhir ini, dengan kata lain, aksi dan reaksi.



Sumber :
SPEKTRUM AJARAN BUDDHA
Kumpulan Tulisan Mahathera Piyadassi
Penerbit : YAYASAN PENDIDIKAN BUDDHIS TRI RATNA

Refleksi Sabda-Sabda Sang Buddha (1)

Penyelidikan Bebas

Buddha mengarahkan murid-murid-Nya agar biasa untuk memilih dan menyelidiki. Untuk langsung mempercayai apa saja, bukanlah jiwa dari agama Buddha. Kita temukan percakapan ini antara Buddha dan siswa. siswa-Nya:
“Jika sekarang, dengan mengetahui ini dan mempertahankan ini, akankah kau berkata: “Kami menghormati guru kami dan karena rasa hormat kami kepada beliau kami menghormati apa yang beliau ajarkan?’”
“Tidak, Yang Mulia.”
“Para Siswa, apa yang kalian pegang teguh, bukankah hanya yang kaukenali, kaulihat, dan kaupahami sendiri?”
“Ya, Yang Mulia.”
Sesuai dengan sikap yang sepenuhnya benar dari penyelidikan benar ini, dikatakan dalam risalah Buddhis berbahasa Sanskerta mengenai logika, Jnanasarasamuccaya, 31:
“Sebagaimana orang bijaksana menguji emas dengan membakar, memotong dan menggosoknya (pada sepotong batu penguji), demikian pula kalian menerima kata-kata-Ku setelah memeriksanya dan bukan hanya karena rasa hormat terhadap-Ku.”
Suatu ketika suku Kalama dari Kesaputta menemui Buddha dan berkata: ‘Yang Mulia, beberapa orang petapa dan brahmana tertentu datang ke Kesaputta. Mereka mepgumumkan dan menjelaskan secara rinci pandangan mereka sendiri; tetapi mencerca, menghina, mencela dan menjatuhkan pendapat orang lain. Selain itu, Yang Mulia, datang pula petapa dan brahnma lain ke Kesaputta, melakukan hal yang sama. Ketika kami mendengar mereka, Yang Mulia, kami merasa ragu-ragu dan bingung, siapa di antara orang-orang terhormat ini yang berbicara benar dan siapa yang berbicara salah.” Kemudian Buddha berkata demikian:
“Ya, Kalama, tidaklah salah bila ragu-ragu, mempertanyakan apa yang diragukan dan apa yang tak jelas. Dalam persoalan yang meragukan, kebingungan timbul.”
“Janganlah percaya begitu saja pada, suatu tadisi, desas desus atau logika ataupun kesimpulan semata-mata, atau sesudah merenungkan dan cocok dengan beberapa teori, atau karena rasa hormat kepada seorang petapa. Akan tetapi Kalama, kalau setelah kalian selidiki sendiri, kau ketahui: Hal-hal ini tidak menguntungkan, patut dicela, dikecam oleh orang-orang bijaksana; hal-hal tersebut, bila, dilakukan dan dikerjakan mengakibatkan kerugian dan penderitaan, maka Kalama tentu saja kalian harus menolaknya.”
“Nah, bagaimana menurut kalian, Kalama? Ketika ketamakan, kebencian dan kegelapan batin timbul dalam diri seseorang, apakah hal-hal ini menimbulkan keuntungan atau kerugian bagi orang itu?”
“Kerugian, Yang Mulia.”
“Lalu, Kalama, bukankah orang ini karena telah dikuasai oleh ketamakan, kebencian dan kegelapan batin, melakukan kejahatan, menyesatkan orang lain sehingga mengalami kerugian dan penderitaan untuk waktu yang lama?”
‘Ya, Yang Mulia.”
“Karena itu, Kalama, bagaimana pendapat kalian, apakah hal-hal itu menguntungkan atau tidak menguntungkan?”
“Tidak menguntungkan, Yang Mulia.”
“Apakah hal-hal tersebut tercela atau tidak?”
“Tercela, Yang Mulia.”
Apakah hal-hal ini dikecam oleh orang bijaksana atau tidak ?”
‘Dikecam, Yang Mulia.”
“Jika dilakukan atau dikerjakan, apakah hal-hal ini menimbulkan kerugian dan penderitaan atau tidak?”
“Menimbulkan kerugian dan penderitam, Yang Mulia.”
“Oleh karena itu, Kalama, sebagaimana yang Kukatakan kepada kalian tadi: Janganlah percaya begitu saja melainkan setelah kalian selidiki sendiri kau ketahui: Hal-hal ini tidak menguntungkan dan menimbulkan kerugian dan penderitam … kalian harus menolaknya, inilah alasan-Ku membicarakannya.”
“Kalama, janganlah … percaya begitu saja. Tetapi bila kau ketahui bagi dirimu sendiri: Hal-hal ini menguntungkan, tidak tercela, dipuji oleh orang bijaksana; hal-hal ini bila dilakukan dan dikerjakan menimbulkan keuntungan dan kebahagiaan – maka, Kalama, setelah mengerjakan hal-hal ini, tinggallah di dalamnya.”
“Nah, bagaimana menurut kalian, Kalama? Ketika kebebasan dari ketamakan, kebencian dan kegelapan batin timbul dalam diri seseorang, apakah ini menimbulkan keuntungan atau kerugian bagi orang itu?”
“Keuntungan, Yang Mulia.”
“Apakah orang ini, yang tidak dikuasai oleh ketamakan, kebencian dan kegelapan batin, menahan diri untuk tidak melakukan kejahatan dan membawa orang lain ke dalam kebahagiaan?”
‘Ya, Yang Mulia.”
“Oleh karena itu, Kalama, bagaimana pendapat kalian, apakah hal-hal ini menguntungkan atau tidak menguntungkan?’
“Menguntungkan, Yang Mulia.”
“Apakah hal-hal ini tercela atau tidak?”
“Tidak tercela, Yang Mulia.”
Apakah hal-hal im dikecam atau dipuji oleh orang bijaksana?”
“Dipuji, Yang Mulia.”
“Jika dilakukan dan dikerjakan, apakah hal-hal ini menimbulkan kebahagiaan atau tidak?”
“Menimbulkan kebahagiaan, Yang Mulia!”
“Oleh karena itu, Kalama, sebagaimana yang telah Kukatakan kepada kalian tadi: ‘Janganlah percaya begitu saja …tetapi ketahuilah oleh dirimu sendiri: Hal-hal ini menguntungkan … dan menimbulkan kebahagiaan…lakukanlah hal-hal ini dan tinggallah di dalanmya,’ inilah alasan-Ku membicarakannya(A. i, 188 Sutta 65, bandingkan A. i, 66 dan A, ii, Bhaddiya Sutta 193).
Pembaca dapat mencatat bahwa khotbah ini, Kalama Sutta, mengecilkan dogmatisme dan kepercayaan buta dengan ajaran penuh semangat Untuk menyelidiki secara bebas. Meskipun demikian janganlah tergesa-gesa menyimpulkan bahwa Buddha adalah “seorang pragmatis empiris yang menolak semua aiaran dan kepercayaan, yang Dharma-Nya benar benar-benar merupakan alat dan orang yang tidak mengakui ajaran agama menuju kebenaran yang mengundang setiap orang untuk menerima dan menghormati apa yang ia suka.” Pembaca harus membaca dengan penuh perhatian bagian akhir dari Sutta, yang di dalamnya Buddha menekankan pentingnya tiga akar keiahatan: ketamakan, kebencian dan kegelapan batin serta lawannya, akar kebaikan: tidak tamak, tidak membenci dan bijaksana. “Demikianlah khotbah bagi suku Kalama ini menawarkan batu ujian untuk memperoleh keyakinan dalam Dharma sebagai ajaran yang bersemangat pembebasan.”
Untuk diskusi yang lebih lengkap mengenai Sutta ini bacalah karangan yang memberi gambaran jelas: “A look at the Kalama Sutta ” oleh Biku Bodhi yang diterbitkan oleh Buddhist Publication Society Newsletter, Spring 1988, No. 9.
Agama Buddha bebas dari paksaan dan kekerasan dan tidak meminta kepercayaan buta dari pengikutnya. Pada awalnya orang yang ragu-ragu akan senang mendengar ajakan untuk menyelidiki. Agama Buddha dari awal sampai akhir terbuka bagi semua orang yang memiliki mata untuk melihat dan pikiran untuk memahami.
Ketika Buddha tinggal di hutan mangga di Nalanda, Upali, seorang pengikut setia dari Nigantha Nataputta (Jaina Mahavira), sebagaimana yang diminta oleh Mahavira menemui Buddha dengan keinginan semata-mata berdebat dengan Beliau dan mengalahkan-Nya melalui perdebatan. Pokok persoalannya adalah teori karma yang diakui oleh Buddha maupun Mahavira, namun pandangan mereka mengenai karma berbeda. Pada akhir pembicaraan yang sangat bersahabat, Upali setelah merasa yakin terhadap argumentasi Buddha, setuju dengan pendapat Beliau, dan siap untuk menjadi pengikut-Nya, sebagai seorang umat awam, (upasaka). Meskipun demikian, Buddha mengingatkannya dengan berkata: “Mengenai suatu kebenaran, Upali, lakukanlah penyelidikan yang menyeluruh. Adalah baik bila orang terkenal seperti engkau melakukan penyelidikan yang menyeluruh.” Bagaimanapun, Upali menjadi semakin puas dan senang terhadap Buddha karena mendapat petunjuk seperti itu, dan menyatakan diri berlindung kepada Buddha, Dharma dan Sangha. Walaupun Upali menjadi seorang umat berdasarkan keyakinan, Buddha menasihatinya agar tetap menghormati dan membantu guru-gurunya yang terdahulu sebagaimana yang biasa dilakakukannya (Upali Sutta, M. 56).
Demikianlah Buddha menganjurkan pentingnya kebebasan berpikir dan berbicara dan toleransi.
Mengikuti jejak Buddha, Raja Asoka yang beragama Buddha, yang memerintah India pada abad ke-3 SM, menyatakan dalam Prasasti Batu XII :
“Seseorang seharusnya tidak hanya menghormati agamanya sendiri dan menjelek-jekekkan agama orang lain, tetapi ia harus menghormati agama orang lain untuk alasan ini atau itu. Dengan demikian ia menolong agamanya sendiri untuk berkembang juga memberikan bantuan kepada agama orang lain. Dengan melakukan hal yang sebaliknya ia menggali kuburan bagi agamanya sendiri dan juga merugikan agama-agama lain. Siapa saja yang menghormati agamanya sendiri dan menjelek-jelekkan agama lain, melakukannya karena kesetiaan kepada agamanya sendiri, berpikir: ‘Aku akan memuliakan agamaku.’ Akan tetapi dengan melakukan hal itu justru sebaliknya mclukai agamanya sendiri lebih parah. Jadi rukunlah, sungguh patut dipuji: Marilah semua mendengar, mau mendengar ajaran yang dinyatakan oleh orang lain.”
Dalam agama Buddha seseorang tidak diminta untuk percaya pada sesuatu tanpa pertama-tama mengetahui apa yang dipercayainya itu. Kepercayaan buta dipantangkan dalam ajaran analisis(vibhajjavada) dari Buddha. Dalam banyak cara, kemutlakan sifat filosofi analitis dari Buddha dikemukakan secara jelas.
Kecuali Buddha, tidak ada guru di dunia ini yang memilild sifat tersebut secara lengkap. Beliau adalah ahli filsafat analitis yang tertinggi. Di sini, “ahli filsafat analitis” artinya orang yang menyatakan sesuatu setelah memecahkannya kedalam sifat-sifat yang bermacam-macani, menyusun sifat-sifatnya dalam urutan yang sesuai, membuat segalanya jelas. Vimati Vinodani, pembahasan mengenai Ulasan Winaya, menyatakan bahwa seorang ahli filsafat analitis memiliki sifat orang yang menyatakan sesuatu setelah menyelidiki sampai bagian terkecilnya; ia tidak menyatakan sesuatu secara kesatuan, tetapi memandang segala sesuatu dalam bagian-bagian, setelah membagi segala sesuatu sesuai dengan cirinya yang menonjol, setelah membuat semua bagian berbeda, maka pendapat sesat dan keraguan lenyap serta kebenaran biasa dan kebenaran tertinggi (sammuti paramattha-sacca) dapat dipahami. Dalam Sarattha-dipani, juga pembahasan mengenai Ulasan Winaya, kita menemukan catatan sebagai berikut: “Penegak metode analitis adalah Buddha, karena Beliau tidak melakukan pendekatan ekstrem dari ajaran kekekalan dan ajaran nihilis, melainkan mengaiarkan jalan tengah mengenai sebab-musabab yang saling bergantungan.”
Sebagaimana ahli anatomi yang pandai membagi anggota tubuh ke dalam jaringan dan jaringan ke dalam sel, Buddha menganalisis semua bagian apa pun ke dalam elemen-elemen dasarnya. Karena itulah Beliau disebut Vibbhajjavadi, Guru Ajaran Analisis.
Kebenaran Dharma dapat dipahami hanya melalui pengertian, tidak pemah melalui kepercayaan buta. Seseorang yang mencari kebenaran tidak puas dengan pengetahuan di permukaan. Orang seperti itu ingin menyelidiki ke dalam dan melihat apa yang tersembunyi. Ini adalah jenis pencarian yang dianjurkan dalam agama Buddha. Tipe pencarian seperti itu menghasilkan pengertian benar.
Sebagaimana kepercayaan buta yang bertentangan dengan semangat dari sabda-sabda Buddha, berdoa dan memohon kepada kekuatan ekstemal yang takhayul juga bertentangan dengan cara hidup umat Buddha. Buddha, makhluk yang paling bijaksana dan paling suci, dalam penyelidikannya Yang menyeluruh terhadap alam semesta menemukan bahwa konsep makhluk gaib atau kekuatan luar yang sewenang-wenang hanyalah khayalan belaka. Ketakutan dalam diri manusia yang tejerat oleh kebodohanlah yang menciptakan pemikiran mengenai kekuatan eksternal yang serba tahu, berkuasa, dan sekali pemikiran itu terbentuk, manusia memasuki pesona anak kecil yang ketakutan sendiri dan membuat mereka rugi bukan kepalang.
Pemujaan yang tertinggi diberikan kepada Dia yang terbaik di antara manusia, yang memiliki jiwa besar dan berani, dengan kewaspadaan dan Pemahaman yang menembus kenyataan, memusnahkan kebodohan, noda-noda terburuk, puncak keiahatan dari semua kegilaan kita, dan mencabut akar semua nafsu. Orang yang melihat kebenaran adalah penolong kita yang sesungguhnya, tetapi umat Buddha tidak memohon kepada mereka. Umat hanya menghormati para pembabar kebenaran karena telah menujukkan jalan menuju kebahagiaan. Kebahagiaan adalah sesuatu yang harus dicapai oleh diri sendiri: tidak ada seorangpun yang dapat membuat orang lain lebih baik ataupun lebih buruk.
Manusia harus dibiarkan sendiri untuk menjaga diri dan kekuatannya sendiri yang tersembunyi. Biarkan dia belaiar untuk berdiri sendiri. Pemikiran bahwa yang lain mengangkat dia dari tingkat yang lebih tinggi dan menyelamatkannya, cenderung membuat manusia menjadi malas dan lemah . Pikiran seperti itu merendahkan manusia. “Ketergantungan pada kekuatan eksternal biasanya dimaksudkan untuk membuat manusia pasrah tanpa usaha.” Maka Buddha menasihati para pengikut-Nya agar memiliki kepercayaan pada diri sendiri. Tidak ada yang dapat memberikan kita kedamaian sejati, kecuali diri kita sendiri; yang lain hanya mungkin dapat membantu kita secara tidak langsung. Pembebasan dari penderitaan harus diusahakan oleh setiap, orang bagi dirinya sendiri.
Ilmu psikologi mengungkapkan bahwa kemungkinan-kemungkinan tak terbatas tersembunyi dalam diri manusia dan diperlukan usaha keras dari manusia itu sendiri untuk membangkitkan dan mengembangkan kemungkinan-kemungkinan tersebut. Setiap orang harus melakukan usaha yang diperlukan bagi pembebasannya. Tidak ada sesuatu di bumi atau pun di surga yang dapat menghadiahkan pembebasan kepada orang lain yang semata-mata hanya memohonnya untuk itu. Dalam tangannya sendiri terletak kekuatan untuk membentuk kehidupan seseorang.
“Jangan memohon! Kegelapan tidak menjadi terang!
Sia-sia bertanya kepada kesunyian, karena ia tak dapat bicara!
Janganlah menyakiti pikirannu yang sangat menyedihkan dengan penderitaan yang saleh!
Ah! Saudaraku, Saudariku!
Sia-sia mencari dengan persembahan dan nyanyian pujian kepada dewa-dewa yang tak dapat menolong!
Tidak pula dengan mengorbankan darah,
atau dengan menyuap buah-buahan dan kue-kue.
Dalam dirimu sendiri pembebasan harus dicari,
Setiap manusia membentuk penjara bagi dirinya.”
Light of Asia , Sir Edwin Arnold

Apa yang sesungguhnya yang menggerakkan orang-orang untuk percaya kepada dewa sama sekali bukan pertimbangan intelektual.
Kebanyakan orang percaya kepada dewa karena mereka telah diajarkan untuk melakukannya sejak dini pada masa kecil, dan ini merupakan alasannya yang utama.”
“Kemudian aku berpkir bahwa alasan yang terkuat adalah kebutuhan akan keamanan, semacam perasaan bahwa ada seorang saudara tua yang akan menjagamu. Hal ini memainkan peranan yang amat besar dalam mempengaruhi kebutuhan orang-orang untuk percaya kepada seorang dewa.” Bertrand Rusell.



Sumber :
SPEKTRUM AJARAN BUDDHA
Kumpulan Tulisan Mahathera Piyadassi
Penerbit : YAYASAN PENDIDIKAN BUDDHIS TRI RATNA



Sumber: http://www.samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/refleksi-sabda-sabda-sang-buddha/

Loving Kindness

Tanpa disadari, pada dasarnya setiap elemen-elemen kehidupan begitu luar biasa dan baik terhadap kita. Sebagai makhluk sosial, setiap insan selalu membutuhkan orang lain untuk bertahan hidup. Percaya atau tidak, ketika kita analisis dan melihat secara mendalam, apapun kita peroleh hari ini, apapun hal-hal yang menjadikan kita lebih mudah menjalani hidup kita sehari-hari adalah berkat kasih sayang dan kebaikan hati orang-orang lain yang jumlahnya sangat banyak. Kita selalu membutuhkan orang lain dalam menjalani hidup ini. Sebagai contoh, mulai dari nasi yang kita makan setiap hari adalah berkat kebaikan hati dari para petani, penjual makanan, orang yang masak makanan, dan masih banyak lagi elemen-elemen kehidupan yang terkait di setiap butiran-butiran nasi yang kita makan. Dan setiap kali ketika kita makan, dan merenungkan hal ini, maka kita menjadi lebih menghargai setiap makanan yang kita makan. Makhluk-makhluk yang terlibat dalam pembuatan makanan ini begitu banyak dan memiliki sifat “Loving Kindness” kepada diri kita, sehingga kita dapat terbebas dari rasa lapar. Ketika mengenakan pakaian, pada dasarnya kita telah diberikan kasih sayang oleh banyak pihak. Pakaian yang dapat membuat kita hangat di tengah kedinginan malam, pakaian yang melindungi kita dari angin, dan lain sebagainya. Begitu banyak proses yang harus dilalui dalam pembuatan pakaian. Mulai dari kapas, benang, kain, desain pakaian, penyaluran pakaian-pakaian ke toko, lalu kita berurusan dengan penjual, dan masih banyak lagi orang-orang yang terlibat hingga kita dapat mengenakan pakaian yang membuat tubuh kita terbebas dari kedinginan. Pada dasarnya setiap orang memiliki sifat “Loving Kindness” didalam diri mereka. Tapi, terkadang kita selalu memandang sisi negatif orang lain. Sehingga dari hari demi hari, kita bukannya menjalani kehidupan ini dengan lebih baik, tapi malah menambah semakin banyak penderitaan di dalam batin kita. Jangankan orang lain yang tidak kita kenal terlalu dekat, malah orang-orang sering berpikir yang negatif terhadap keluarganya sendiri, baik itu suami/istri, anak-anak, atau kakak-adik, saudara-saudara dekat, ataupun teman-temannya.
Kita mulai menciptakan segudang penderitaan di dalam batin kita. Hari demi hari kita jalani dengan kemuraman, tanpa sedikitpun keceriaan di wajah kita. Dan kita mulai letih dalam menjalani kehidupan. Kita memendam begitu banyak sakit hati di dalam diri kita, dan menjadikan tubuh kita menyimpan begitu banyak beban-beban yang pada akhirnya membuat kita semakin terjerumus dalam penderitaan yang amat sangat. Pada awalnya kita berusaha untuk saling menjelaskan terhadap apa yang terjadi, apa yang kita rasakan, tapi pada akhirnya kita menjadi saling menyalahkan. Karena kita membela “keegoan” yang ada di dalam diri kita. Kita menjadi lupa akan kebaikan-kebaikan orang lain terhadap kita. Kita menjadi lupa akan kasih sayang yang selama ini dicurahkan oleh pasangan kita, orangtua kita, sahabat-sahabat kita, dan lainnya. Kadang kita menjadi enggan untuk berbicara, enggan untuk memandang di antara sesama. Hati kita menjadi semakin jauh, dan semakin jauh. Padahal kita sangatlah dekat. Kita telah membangun suatu tembok raksasa yang tinggi dan kokoh di dalam batin sehingga kita enggan untuk kembali “dekat”, bersenda gurau, dan menikmati minum teh hangat bersama. Apakah dengan seperti ini kehidupan kita menjadi lebih baik?. Tentu saja tidak. Meskipun kita saling memaafkan, namun kita masih menyimpan sisa-sisa sakit hati di dalam diri kita. Coba kita renungkan, apakah kita ingin menjalani hidup kita dengan kondisi seperti ini?. Banyak orang yang seperti “truk sampah”. Mereka berjalan keliling membawa “sampah”, seperti frustasi, kemarahan, kekecewaan. Seiring dengan semakin banyaknya jumlah sampah yang harus dibawa, maka mereka semakin membutuhkan tempat untuk membuang “sampah-sampahnya”, dan terkadang atau seringkali mereka membuangnya kepada kita. Janganlah dimasukkan ke hati, ketika kita sakit hati, berarti kita menampung, dan menyimpan sampah yang telah membusuk itu. Praktekkanlah “Loving Kindness” terhadapi diri kita sendiri dengan tidak menyimpan “sampah-sampah”. Cukup tersenyum dengan mereka. Janganlah kita ambil “sampah” mereka dan membuangnya kepada orang lain yang kita temui, orang-orang sekelilingi kita, keluarga kita, pasangan hidup kita. Kembangkanlah “loving kindness” yang ada di dalam diri kita. Setiap orang memiliki sifat “Loving Kindness”, dan kita juga memilikinya. Kita telah banyak menerima loving kindness dari berbagai pihak dari sejak kita ada di dunia ini. Loving kindness dari ayah dan ibu sehingga kita saat ini bisa berada di sini. Dan sekarang saatnya kita mempraktekkan “loving kindness” kepada orang-orang sekitar kita, orang-orang yang memiliki banyak “sampah” di dalam dirinya, orang-orang yang membuang sampahnya ke kita.
Hidup ini terlalu singkat untuk bangun dipagi hari dengan penyesalan, maka kasihilah orang yang memperlakukan kita dengan baik, dan kasihi jugalah orang-orang yang memperlakukan kita sebaliknya.