Chat Here

Welcome to peoplewillfindtheway.blogspot.com... Feel free to explore and enjoy!

Bikkhu dan Makhluk Halus Penghuni Hutan

Ketika Sang Buddha sedang berdiam di Savatthi bersama dengan murid-muridnya, Sang Buddha memerintahkan kelima ratus orang muridnya untuk berlatih diri, bermeditasi di hutan untuk mencapai tingkat kesucian. Kelima ratus orang bhikkhu itu lalu pergi menuju ke suatu desa yang cukup besar. Penduduk desa yang ketika mengetahui murid-murid Sang Buddha mendatangi desa mereka, segera menyambutnya dengan menyiapkan tempat untuk beristirahat, dan mempersembahkan bubur dan makanan lainnya. Mereka lalu bertanya:
“Kemanakah Bhante akan pergi?”.

Para bhikkhu itu menjawab:
“Kami akan pergi ke suatu tempat yang nyaman”.

Penduduk desa itu menyarankan:
“Bhante, tinggallah di hutan di dekat desa kami ini selama tiga bulan, sehingga kami dapat mempelajari Dhamma dibawah bimbinganmu”.

Para bhikkhu menyetujuinya, dan para penduduk berkata lagi:
“Bhante, di dekat desa kami ada hutan kecil, Bhante dapat tinggal di sana”.

Kelima ratus orang bhikkhu itu lalu pergi menuju hutan yang ditunjukkan penduduk desa.
Di dalam hutan itu banyak terdapat makhluk halus penghuni hutan, mereka mengetahui kedatangan para bhikkhu,
“Sekumpulan bhikkhu akan datang ke hutan ini, apabila para bhikkhu itu tinggal di sini, pasti tidak enak lagi kita berdiam di sini bersama anak dan istri”.

Mereka turun dari pohon dan duduk di bawah, mereka berpikir lagi:
“Kalau bhikkhu-bhikkhu itu tinggal di sini hanya satu malam, besok mereka pasti pergi dari hutan ini”.

Mereka lalu duduk diam di bawah pohon. Tetapi keesokkan harinya setelah para bhikkhu berpindapata ke desa di dekat hutan itu dan makan hasil pindapatanya, ternyata mereka kembali ke hutan itu. Para makhluk halus penghuni hutan itu berpikir:
“Besok, kalau ada yang mengundang mereka, mereka pasti pergi dari sini. Kalau hari ini mereka tidak jadi pergi, besok mereka pasti pergi”. Setelah berpikir demikian, mereka duduk kembali di bawah pohon sepanjang malam.

Makhluk halus penghuni hutan ragu-ragu, apakah para bhikkhu itu akan segera pergi dari tempat tinggal mereka, lalu berpikir kembali:
“Apabila para bhikkhu ini tinggal di sini selama tiga bulan, pasti tidak enak lagi tinggal di sini, lagipula kita sudah lelah sekali duduk di bawah. Bagaimana yah, caranya supaya para bhikkhu ini pergi dari sini?”.

Karena merasa terganggu akhirnya makhluk halus penghuni hutan itu mengganggu para bhikkhu supaya mereka pergi dari tempat tinggal mereka. Siang dan malam hari para bhikkhu itu diganggu, ada yang melihat kepala-kepala beterbangan, ada pula yang melihat badan tanpa ada kepalanya berjalan-jalan, lalu terdengar suara-suara yang menyeramkan.
Pada waktu yang bersamaan, para bhikkhu itu banyak yang menderita bermacam-macam penyakit, ada yang sakit batuk, pilek atau sakit-sakit lainnya. Mereka lalu saling bertanya:
“Saudaraku, kamu sakit apa?”.

“Saya sakit pilek”.

“Saya batuk-batuk”.

“Saudaraku, hari ini saya melihat banyak kepala beterbangan”.

“Saudaraku, di malam hari saya melihat badan tanpa kepala berjalan-jalan”.

“Saya mendengar suara-suara yang menyeramkan”.

“Saudaraku, kita harus meninggalkan tempat ini, tempat ini tidak cocok untuk kita. Mari kita menemui Guru kita, Sang Buddha”.

Mereka meninggalkan hutan itu dan menemui Sang Buddha, setelah memberikan hormatnya dengan bernamaskara, mereka lalu duduk dan menceritakan mengapa mereka kembali, Sang Buddha lalu berkata:
“Bhikkhu, mengapa kalian tidak dapat tinggal di hutan itu?”.

Para bhikkhu menjawab:
“Yang Mulia, kami tidak dapat lagi tinggal di sana, tempat itu amat menyeramkan, banyak hal menakutkan yang kami lihat dan alami. Tempat itu tidak nyaman untuk kami, jadi kami memutuskan untuk pergi dari sana dan kembali menemui Yang Mulia”.

“Bhikkhu, kamu harus kembali ke tempat itu”.

“Maaf Yang Mulia, kami tidak mau kembali ke sana”.

“Bhikkhu, ketika kamu pergi ke hutan itu untuk pertama kalinya, kamu tidak membawa “senjata”. Dan sekarang kamu harus membawa “senjata” bila kamu kembali ke sana”.

“Senjata apakah itu Yang Mulia?”

Sang Buddha lalu menjawab,
“Aku akan memberikan senjata yang dapat kamu bawa kemana pun kamu pergi”.

Sang Buddha mengucapkan syair Karaniya Metta Sutta:

Inilah yang harus dilaksanakan
oleh mereka-mereka yang tekun dalam kebaikan.
Dan telah mencapai ketenangan bathin.
Ia harus pandai, jujur, sangat jujur.

Rendah hati, lemah lembut, tiada sombong.
Merasa puas, mudah dirawat
Tiada sibuk, sederhana hidupnya
Tenang indrianya, selalu waspada

Tahu malu, tidak melekat pada keluarga
Tak berbuat kesalahan walaupun kecil
yang dapat dicela oleh para Bijaksana.
Hendaklah ia selalu berpikir:
“Semoga semua makhluk sejahtera dan damai,
semoga semua makhluk berbahagia” 

Makhluk apapun juga
Baik yang lemah atau yang kuat tanpa kecuali
Yang panjang atau yang besar
yang sedang, pendek, kurus atau gemuk 

Yang terlihat atau tidak terlihat
Yang jauh maupun yang dekat
Yang telah terlahir atau yang akan dilahirkan
Semoga semuanya berbahagia 

Jangan menipu orang lain
Atau menghina siapa saja,
Janganlah karena marah dan benci
Mengharapkan orang lain mendapat celaka 

Bagaikan seorang ibu mempertaruhkan nyawanya
Untuk melindungi anaknya yang tunggal
Demikianlah terhadap semua makhluk
Dipancarkannya pikiran kasih sayang tanpa batas 

Hendaknya pikiran kasih sayang
Dipancarkannya ke seluruh penjuru alam,
ke atas, ke bawah, dan ke sekeliling
Tanpa rintangan, tanpa benci, atau permusuhan 

Sewaktu berdiri, berjalan, atau duduk
Atau berbaring sesaat sebelum tidur
Ia tekun mengembangkan kesadaran ini
Yang dinamakan “Kediaman Brahma” 

Tidak berpegang pada pandangan yang salah
Tekun dalam sila dan memiliki kebijaksanaan,
Hingga bathinnya bersih dari segala nafsu indria
Maka ia tak akan lahir lagi dalam rahim manapun juga 

Selesainya Sang Buddha mengucapkan syair Karaniya Metta Sutta, Sang Buddha berkata:
“Bhikkhu, bacakanlah Karaniya Metta Sutta ini, ketika kamu hendak masuk ke dalam hutan, dan ketika hendak memasuki tempat meditasi”.

Setelah berkata demikian, Sang Buddha melepaskan para bhikkhu kembali ke hutan.
Para bhikkhu menghormat Sang Buddha dan kembali ke hutan dengan membawa “senjata” yang telah Sang Buddha ajarkan. Dengan membacakan Karaniya Metta Sutta bersama-sama, mereka masuk ke dalam hutan.

Makhluk halus penghuni hutan mendengar Karaniya Metta Sutta, yang menggambarkan cinta kasih dan belas kasihan kepada semua makhluk. Sesudahnya mereka amat senang dan merasa bersahabat dengan para bhikkhu. Kemudian mereka mendatangi para bhikkhu dan minta ijin agar diperbolehkan membawakan mangkok-mangkok dan jubah-jubah. Mereka membersihkan tangan dan kaki para bhikkhu, lalu menempatkan penjagaan yang kuat di sekelilingnya. Mereka duduk bersama-sama para bhikkhu, berjaga-jaga. Suara-suara dan bayangan-bayangan menakutkan tidak ada lagi, para bhikkhu menjadi tenang dan nyaman.

Mereka segera duduk bermeditasi, melatih diri pada siang dan malam hari, untuk mendapatkan Pandangan Terang. Dengan pikiran yang terpusat dan terkendali mereka merenungkan kematian, tentang tubuh yang mudah rusak dan membusuk, lalu mereka menarik kesimpulan,
“Tubuh ini rapuh bagaikan tempayan”.

Mereka lalu mengembangkan Pandangan Terang.

Sang Buddha yang sedang bermeditasi mengetahui bahwa murid-muridnya mulai mengembangkan Pandangan Terang, lalu ia berbicara kepada mereka:
“Demikianlah bhikkhu. Tubuh ini rapuh bagaikan tempayan”.
Sambil berkata demikian, Sang Buddha mengirimkan bayangan dirinya yang dapat terlihat dengan jelas oleh murid-muridnya.

Meskipun Sang Buddha berada amat jauh, tetapi para bhikkhu dapat melihat Sang Buddha dalam bentuk yang nyata, dengan memancarkan sinar yang amat terang, Sang Buddha mengucapkan syair:

“Dengan menyadari bahwa tubuh ini rapuh bagaikan tempayan, maka hendaknya seseorang memperkokoh pikirannya bagaikan benteng kota dan menyerang mara dengan senjata kabijaksanaan”

(Dhammapada, Citta Vagga no. 8)
Ia harus menjaga apa yang telah ditaklukkannya dan tidak melekat pada apapun juga.

Sumber: samaggi-phala.or.id

Buddha Jaya Mangala Gatha

Bāhum sahassam-abhinimmita-sāyudhantam
Grīmekhalam udita-ghora-sasena-māram
Dānādi-dhamma-vidhinā jitavā munindo
Tan-tejasā bhavatu te jaya-mangalāni.
Baca Kisah >>

Mārātirekam-abhiyujjhita-sabba-rattim
Ghorampanāḷavaka-makkham-athaddha yakkham
Khantī-sudanta-vidhinā jitavā munindo
Tan-tejasā bhavatu te jaya-mangalāni.
Baca Kisah >>

Nāḷāgirim gaja-varam atimattabhūtam
Dāvaggi-cakkam-asanīva sudāruṇantam
Mettambuseka-vidhinā jitavā munindo
Tan-tejasā bhavatu te jaya-mangalāni.
Baca Kisah >>

Ukkhitta-khaggam-atihattha sudāruṇantam
Dhāvan-ti-yojana-pathanguli-mālavantam
Iddhībhisankhata-mano jitavā munindo
Tan-tejasā bhavatu te jaya-mangalāni.
Baca Kisah >>

Katvāna kaṭṭham-udaram iva gabbhinīyā
Ciñcāya duṭṭha-vacanam jana-kāya-majjhe
Santena soma-vidhinā jitavā munindo
Tan-tejasā bhavatu te jaya-mangalāni.
Baca Kisah >>

Saccam vihāya mati-saccaka-vāda-ketum
Vādābhiropita-manam ati-andhabhūtam
Paññā-padīpa-jalito jitavā munindo
Tan-tejasā bhavatu te jaya-mangalāni.
Baca Kisah >> 

Nandopananda-bhujagam vibudham mahiddhim
Puttena thera-bhujagena damāpayanto
Iddhūpadesa-vidhinā jitavā munindo
Tan-tejasā bhavatu te jaya-mangalāni.
Baca Kisah >>

Duggāha-diṭṭhi-bhujagena sudaṭṭha-hattham
Brahmam visuddhi-jutim-iddhi-bakābhidhānam
Ñāṇāgadena vidhinā jitavā munindo
Tan-tejasā bhavatu te jaya-mangalāni.
Baca Kisah >>

Etā'pi Buddha-jaya-mangala-aṭṭha-gāthā
Yo vācano dinadine sarate matandī
Hitvānaneka-vividhāni cupaddavāni
Mokkham sukham adhigameyya naro sapañño.

Terjemahan Indonesia

Dengan seribu tangan,
yang masing-masing memegang senjata
Dengan menunggang gajah Girimekhala,
Māra bersama pasukannya meraung menakutkan;
Raja para Bijaksana menaklukkannya dengan Dhamma-Dāna
Dengan kekuatan ini semoga engkau mendapat kemenangan sempurna.
Baca Kisah >>

Lebih dari Māra yang membuat onar sepanjang malam
Adalah Yakkha Āḷavaka yang menakutkan, bengis dan congkak
Raja para Bijaksana menaklukkannya, menjinakkannya dengan kesabaran;
Dengan kekuatan ini semoga engkau mendapat kemenangan sempurna.
Baca Kisah >>

Nāḷāgiri gajah mulia menjadi sangat gila
Sangat kejam bagaikan hutan terbakar,
bagai senjata roda atau halilintar;
Raja para Bijaksana menaklukkannya dengan percikan air cinta kasih;
Dengan kekuatan ini semoga engkau mendapat kemenangan sempurna.
Baca Kisah >>

Sangat kejam, dengan pedang terhunus dalam tangan yang kokoh kuat;
Angulimāla berlari mengejar sepanjang jalan tiga yojana
dengan berkalung untaian jari;
Raja para Bijaksana menaklukkannya
dengan kemampuan pikiran sakti yang mengagumkan;
Dengan kekuatan ini semoga engkau mendapat kemenangan sempurna.
Baca Kisah >>

Setelah membuat perutnya gendut seperti wanita hamil
dengan mengikatkan sepotong kayu;
Ciñcā memfitnah di tengah-tengah banyak orang
Raja para Bijaksana menaklukkannya
dengan sikap kesatria dan kedamaian;
Dengan kekuatan ini semoga engkau mendapat kemenangan sempurna.
Baca Kisah >>
 
Saccaka, yang biasanya berkata menyimpang dari kebenaran
Dengan pikiran buta, mengembangkan teorinya bagaikan bendera;
Raja para Bijaksana menaklukkannya
dengan terangnya pelita kebijaksanaan;
Dengan kekuatan ini semoga engkau mendapat kemenangan sempurna.
Baca Kisah >>

Nandopananda naga berpengertian salah memiliki kekuatan besar;
Putra Sang Buddha yang terkemuka (Moggallāna Thera)
sebagai naga pergi untuk menjinakkan;
Raja para Bijaksana menaklukkannya dengan kekuatan sakti
Dengan kekuatan ini semoga engkau mendapat kemenangan sempurna.
Baca Kisah >>

Bagaikan ular yang melilit pada lengan,
demikian pandangan salah dimiliki;Oleh Bakā,
dewa Brahma yang memiliki sinar dan kekuatan
Raja para Bijaksana menaklukkannya dengan obat pengetahuan
Dengan kekuatan ini semoga engkau mendapat kemenangan sempurna.
Baca Kisah >>

Inilah delapan Syair Kemenangan Sempurna Sang Buddha
Yang seharusnya dibaca dan direnungkan setiap hari tanpa rasa malas;
Hingga mampu mengatasi berbagai rintangan
Orang bijaksana dapat mencapai Pembebasan dan Kebahagiaan.

Kisah Menaklukkan Dewa Brahma Baka

Duggahaditthi bhujagena sudattha hattham
Brahmam visudhi jutimiddhi bakabhidhanam
Nanagadena vidhina jitava munindo
Tan tejasa bhavatu te jayamangalani
Bagaikan ular yang melilit pada lengan,
Demikian pandangan salah dimiliki oleh Baka, Dewa Brahma yang memiliki sinar dan kekuatan
Raja Para Bijaksana menaklukkannya dengan obat pengetahuan
Dengan kekuatan ini semoga engkau mendapat kemenangan sempurna
Ketika Sang Buddha sedang bersemayam di Vihara Jetavana, Beliau mengetahui bahwa Dewa Brahma Baka, mempunyai pandangan yang salah. Ia berpendapat bahwa Brahma-loka (=Alam Brahma) adalah kekal, tetap untuk selama-lamanya, abadi, tidak berubah; selain di alam Brahma tidak ada penyelamatan atau pembebasan secara menyeluruh.

Di dalam kelahirannya yang terdahulu, Dewa Brahma Baka yang berlatih meditasi, terlahir kembali di Surga Vehapphala. Beliau berada di sana selama lima ratus kalpa 2), lalu terlahir kembali di Surga Subhakinna. Sesudah berada di sana selama enam puluh empat kalpa, ia terlahir kembali di Surga Abhassara, di sana ia berada selama delapan kalpa. Di Surga Abhassara inilah ia mempunyai pandangan salah. Ia lupa bahwa ia pindah dari Alam Brahma yang tertinggi dan terlahir di Alam Surga yang lebih rendah yaitu Surga Abhassara.

Sang Buddha mengetahui pandangan yang salah ini. Beliau lalu menghilang dari Vihara Jetavana dan muncul di Alam Brahma. Vasavatti Mara mengetahui maksud Sang Guru Agung ini; dan ia berniat untuk menghalangi, ia lalu pergi ke Alam Brahma yang sama.

Ketika Sang Buddha mulai berbicara dengan Dewa Brahma Baka, Mara menyela pembicaraan dengan mengatakan bahwa Dewa Brahma Baka amat bijaksana dan mempunyai kekuatan terhadap Dewa Brahma lainnya. Bahwa ialah yang menciptakan dunia ini, menciptakan Gunung Maha Meru (nama gunung tertinggi di dunia ini), dan menciptakan dunia-dunia lain; ia pula yang menentukan kasta atau tingkatan suatu mahluk; ia pula yang menciptakan bermacam-macam binatang.

Mara berkata kepada Sang Buddha :
“Tidak ada seorang pertapapun sebelum Kamu yang berpikir bahwa dunia ini tidak abadi. Dan sesudah mempelajari bahwa segala sesuatu itu tidak abadi, mereka langsung masuk ke neraka. Ada beberapa Dewa Brahma yang menyangkal hal ini, mereka menyatakan bahwa segala sesuatu adalah abadi, maka mereka terlahir kembali di Alam Brahma. Karena itu, lebih baik Kamu mengajarkan hal yang sama, seperti yang para Dewa Brahma lakukan. Saya memberiMu nasehat ini, kalau Kamu mengajarkan doktrin yang sama, maka Kamu akan memperoleh hadiah yang sama pula; tetapi kalau Kamu menyangkalnya maka Kamu akan hancur.”

Tetapi Sang Buddha menjawab :
“Saya tahu siapa kamu ini. Kamu adalah Mara si Penggoda, janganlah kamu berpikir kamu dapat mengelabuiKu.”

Kemudian Dewa Brahma Baka berkata bahwa Alam Brahma selalu ada, di mana tidak ada kehancuran ataupun kematian. Tidak ada perpindahan dari satu alam ke alam lain; segala sesuatunya selalu kekal, tetap, abadi, mutlak dan tidak berubah; selain di Alam Brahma tidak ada keselamatan. Dan banyak Para Buddha sebelum Buddha Gotama, kemanakah mereka lenyap? Tidak ada seorangpun yang dapat mengatakan mereka pergi kemana; dan akan lebih baik apabila Buddha Gotama merasa malu dengan doktrinNya, dan lebih baik menerima doktrin yang sama dengan para Dewa Brahma.

Tetapi Sang Buddha Gotama memperlihatkan kemampuanNya yang luar biasa kepada Dewa Brahma Baka, dengan menjelaskan tentang enam kelahiran Dewa Brahma Baka yang terdahulu, dimana Beliau sendiri menghilang tanpa diketahui berada di mana.

Sang Buddha lalu menjelaskan :
Dalam salah satu kelahirannya, Dewa Brahma Baka adalah seorang pertapa yang bertempat tinggal di tepi sungai. Pada waktu itu, ada lima ratus orang pedagang datang dengan membawa keretanya ke tempat yang sama pula, mereka amat sopan dan ramah. Tidak lama kemudian, sapi jantan pertama yang menarik kereta, pulang kembali ke rumah dan diikuti sapi-sapi jantan lainnya. Keesokan paginya, para pedagang itu tidak mempunyai minyak, makanan ataupun air minum, mereka amat kelaparan dan kehausan. Mereka amat lemas, hanya berbaring saja dengan berpikir mereka akan mati di sana. Tetapi pertapa yang melihat mereka dalam kesulitan membawakan air minum, sehingga para pedagang itu selamat dari kematian.

Pada lain waktu, beberapa pencuri mencuri di suatu desa, mereka mengambil barang yang mereka sukai. Si Pertapa yang mengetahui perbuatan para pencuri itu, lalu menciptakan suara-suara dari barang-barang yang mereka curi itu, dalam lima tangga nada yang cukup keras, sehingga para pencuri itu terkejut dan membuang barang-barang yang mereka curi. Dengan ketakutan mereka melarikan diri, karena mengira raja datang.

Pada kesempatan lain, penduduk dari dua desa yang bersisian di tepi sebuah sungai setuju pergi bersama-sama naik sebuah kapal untuk berdagang. Kepergian mereka diketahui oleh Naga jahat yang berniat ingin menghancurkan mereka, tetapi pertapa yang mengetahui niat jahat Naga itu lalu menampakkan dirinya sebagai garuda raksasa. Garuda itu menakut-nakuti dan menyerang Naga jahat itu, sehingga Naga tersebut terbang ketakutan tanpa menyentuh para pedagang. Mereka selamat dari mara bahaya.

Karena tindakan-tindakannya yang penuh dengan cinta kasih kepada mahluk lain inilah, yang menyebabkan pertapa itu terlahir kembali di Alam Brahma.

Sang Buddha Gotama menunjukkan kemampuanNya yang luar biasa sebagai seorang Buddha dalam membabarkan Dhamma, menjelaskan tentang Empat Kesunyataan Mulia. Sehingga pada akhirnya pikiran dari seribu dewa di Alam Brahma terbebas dari kemelekatan dan pandangan keliru.

Dewa Brahma Baka mengakui bahwa apa yang Sang Buddha Gotama katakan adalah benar, dan mengakui pengetahuan Sang Guru Agung yang luar biasa, sehingga ia menyatakan diri berlindung kepada Sang Tri Ratna, demikian pula para Dewa Brahma lainnya. Sang Buddha lalu pulang kembali dari Alam Brahma ke Vihara Jetavana.

Sumber: samaggi-phala.or.id

Kisah Menaklukkan Raja Naga Nandopananda

Nandopananda bhujagam vibudham mahiddhim
Puttena Thera bhujagena damapayanto
Iddhupadesa vidhina jitava munindo
Tan tejasa bhavatu te jayamangalani
Nandopananda naga berpengertian salah memiliki kekuatan besar
Putra Sang Buddha yang Terkemuka (Moggallana Thera) sebagai naga pergi untuk menjinakkan
Raja Para Bijaksana menaklukkannya dengan kekuatan kesaktian
Dengan kekuatan ini semoga engkau mendapat kemenangan sempurna
Pada suatu hari, jutawan Anathapindika, sesudah mendengarkan Ajaran Sang Buddha di Vihara Jetavana, mengundang Sang Guru Agung dengan lima ratus bhikkhu untuk menerima dana pada esok harinya.

Pagi-pagi sekali, pada saat Sang Buddha memeriksa keadaan di dunia ini, Beliau melihat Raja Naga Nandopananda mempunyai pandangan salah, tetapi mempunyai karma baik untuk berlindung kepada Sang Tri Ratna. Sang Guru juga melihat hanya Bhikkhu Moggallana yang mempunyai kemampuan untuk menaklukkan Raja Naga itu.

Sang Buddha meminta Bhikkhu Ananda untuk memanggil lima ratus muridNya untuk menyertai Beliau ke Surga Tavatimsa 2). Sang Buddha beserta para bhikkhu terbang di udara. Dalam perjalanan menuju Surga Tavatimsa, mereka melintas di atas kediaman Nandopananda. Ketika itu, ia sedang menikmati makanannya yang enak. Ia sangat marah melihat para bhikkhu terbang melintas di atas kediamannya, dan berniat untuk menghalangi perjalanan mereka.
 
Ia lalu bergelung melingkari Gunung Sineru sebanyak tujuh kali dan kepalanya berada di puncak gunung. Ia menciptakan kegelapan, membuat segala sesuatu tidak kelihatan, sehingga menyebabkan Surga Tavatimsa tidak dapat terlihat. Kegelapan yang terjadi dengan mendadak ini, menyebabkan Bhikkhu Ratthapala berkata kepada Sang Buddha, bahwa tidak ada surga maupun Istana Vejayanta dapat terlihat pada hari itu. Sang Buddha lalu menjelaskan kepadanya bahwa Raja Naga Nandopanandalah yang menyembunyikan gunung tersebut. Setelah mendengar penjelasan Sang Guru, Bhikkhu Ratthapala berkata ia akan pergi dan menaklukkan Raja Naga itu, tetapi Sang Buddha tidak mengijinkannya.

Kemudian Bhikkhu Bhaddiya maju ke depan, menawarkan diri untuk menaklukkannya, tetapi Sang Buddha juga tidak mengijinkannya. Kemudian Bhikkhu Rahula dan beberapa bhikkhu lainnya juga tidak diijinkan oleh Sang Buddha untuk menaklukkan Raja Naga itu.

Dengan seijin Sang Buddha, Bhikkhu Moggallana pergi untuk menaklukkan Raja Naga Nandopananda. Beliau lalu mengubah dirinya seperti Raja Naga juga, lalu mendekati Nandopananda. Ia lalu melingkari Nandopananda sebanyak empat belas kali dengan ekornya.

Ia menaruh kepalanya di atas kepala Nandopananda dan menekannya ke bawah ke Gunung Sineru. Raja Naga berusaha keras untuk melepaskan diri dengan menyemburkan bisanya. Tetapi Bhikkhu Moggallana mengirimkan serangan balasan, yang lebih kuat daripada Raja Naga yang membuat Raja Naga itu amat menderita. Kemudian Raja Naga menyemburkan api, dan Bhikkhu Moggallana juga melakukan hal yang sama. Semburan api itu amat menyakiti Raja Naga, tetapi sebaliknya semburan api Raja Naga tidak menyakiti Bhikkhu Moggallana.

Nandopananda lalu berteriak dengan marah : “Siapakah engkau?”

“Saya adalah Moggallana,” jawab Bhikkhu Moggallana yang sudah kembali ke wujudNya semula.
Sesudah itu Bhikkhu Moggallana masuk ke dalam salah satu kuping Raja Naga dan keluar dari kuping lainnya. Ketika Raja Naga membuka mulutnya, Bhikkhu Moggallana memasuki perutnya, dan mulai berjalan naik turun, dari kepala sampai ke ekor dan dari ekor sampai ke kepala. Sang Buddha menegur Bhikkhu Moggallana dan mengingatkanNya akan kekuatan Raja Naga itu.

Raja Naga amat marah dengan gangguan pada ususnya yang amat menyakitkan. Ia lalu memutuskan untuk menekan sampai mati kalau Bhikkhu Moggallana keluar dari mulutnya. Ia lalu berkata :
“Yang Mulia, keluarlah dan jangan berjalan naik turun di dalam perutku ini.”

Tetapi Bhikkhu Moggallana keluar tanpa diketahuinya. Ketika Raja Naga itu melihatNya sudah berada di luar, ia lalu menyemburkan racun berbisanya yang lain. Bhikkhu Moggallana dengan segera masuk ke Jhana Keempat 3), di sana semburan racun berbisa itu tidak dapat menyentuh selembar rambutpun di tubuhNya.

Selain Sang Buddha, hanya Bhikkhu Moggallana yang dapat masuk ke Jhana Keempat dengan segera. Para bhikkhu lainnya harus mempersiapkan diri terlebih dahulu dengan bermeditasi. Bagaimanapun mereka tidak akan dapat dengan segera memasuki Jhana Keempat agar dapat terhindar dari semburan racun berbisa Raja Naga itu, karena apabila terlambat mereka akan hangus menjadi abu. Sang Buddha telah mengetahui kejadian yang amat kritis ini, dan tidak mengijinkan para bhikkhu yang lain, kecuali hanya Bhikkhu Moggallana yang dapat menaklukkan Raja Naga ini.
Nandopananda menerima kekalahannya dan mengubah dirinya menjadi seorang pemuda dan berkata :
“Yang Mulia, saya ingin berlindung kepadaMu.”

Ia bersimpuh di kaki Bhikkhu Moggallana. Kemudian Bhikkhu Moggallana mengatakan bahwa Sang Buddha ada di sini dan mereka lalu pergi menemui Beliau.
Bhikkhu Moggallana membawa Raja Naga ke hadapan Sang Buddha, lalu bersujud :
“Yang Mulia, saya ingin berlindung kepada Buddha, Dhamma dan Sangha.”

Sang Buddha bersabda :
“O, Raja Naga, semoga kamu bahagia.”

Dengan diiringi ke lima ratus bhikkhu, Sang Buddha lalu melanjutkan perjalanan menuju Surga Tavatimsa menemui Raja Sakka.

Setelah selesai, Sang Buddha kemudian kembali ke Savatthi. Jutawan Anathapindika yang sedang menunggu kedatangan Sang Buddha untuk memberikan dananya, mendengar bahwa Bhikkhu Moggallana dapat menaklukkan Raja Naga Nandopananda merasa amat gembira, lalu ia mempersembahkan dana kepada Sang Buddha dan ke lima ratus bhikkhu terus-menerus selama satu minggu.

Keterangan :
1.Naga : Mahluk Asura yang mempunyai kesaktian
2.Surga Tavatimsa : Alam 33 Dewa yang diketuai oleh Dewa Sakka
3.Jhana Keempat : Salah satu tingkat pencapaian meditasi

Sumber: samaggi-phala.or.id

Kisah Menaklukkan Saccaka

Saccam vihãya matisaccaka vãdaketum
Vãdãbhiropitamanam atiandabhutam
Paññãpadipa jalito jitavã munindo
Tan tejasã bhavatu te jayamangalãni
Saccaka, yang biasanya berkata menyimpang dari Kebenaran
Dengan pikiran buta, mengembangkan teorinya bagaikan bendera
Raja Para Bijaksana menaklukkannya dengan terangnya pelita kebijaksanaan
Dengan kekuatan ini semoga engkau mendapat kemenangan sempurna
Seorang pertapa yang mempunyai kemampuan untuk mengingat lima ratus argumentasi dan perdebatan, tiba di Vesali dan ia disambut dengan baik di tempat itu. Seorang pertapa wanita yang mempunyai kemampuan yang sama juga datang ke Vesali. Para pemimpin bangsa Licchavi lalu mempertemukan keduanya dalam suatu perdebatan seru. Ketika mereka terbukti sebanding sebagai pendebat, tidak dapat saling mengalahkan, orang-orang Licchavi lalu mendapatkan ide bahwa pasangan yang demikian pasti akan menghasilkan anak-anak yang pandai. Mereka lalu mengatur pernikahan di antara keduanya. Mereka mempunyai empat orang anak perempuan dan seorang anak laki-laki. Anak-anak perempuan itu bernama : Sacca, Lola, Avavadaka dan Patacara, sedangkan anak laki-laki diberi nama Saccaka. Kelima anak ini ketika mencapai usia dewasa telah mempelajari seribu argumentasi dan perdebatan, lima ratus dipelajari dari ibu mereka dan lima ratus dari ayah mereka. Orang tua mereka mengajarkan kepada anak-anak perempuannya demikian : “Bila ada pria yang dapat membuktikan kekeliruan dari pendapatmu, maka engkau harus menjadi istrinya, namun bila ia seorang pertapa, engkau harus menjadi muridnya.”

Setelah beberapa waktu kemudian, orang tua mereka meninggal dunia. Ketika orang tuanya telah meninggal dunia, Saccaka tetap tinggal di tempat yang sama, mempelajari pengetahuan dan tradisi bangsa Licchavi dan mengajar para pangeran Licchavi. Ke empat orang saudara perempuan Saccaka membawa sebuah cabang pohon apel, mengembara sebagai pendebat dari kota ke kota dan pada akhirnya tiba di Savatthi. Mereka lalu menanam cabang pohon apel tersebut di depan gerbang kota dan berkata kepada para pemuda yang berada di sana : “Bila ada seorang pria, apakah dia orang biasa ataupun seorang pertapa yang dapat menandingi kami di dalam mempertahankan suatu pendapat, biarkan ia mengacak tumpukan tanah dan menginjak cabang pohon ini.”

Setelah berkata demikian mereka memasuki kota untuk mengumpulkan dana makanan.
Ketika itu Yang Mulia Sariputta, setelah merapikan dan membersihkan vihara, dan mengunjungi orang-orang sakit, Beliau memasuki kota Savatthi untuk berpindapatta. Yang Mulia Sariputta lalu melihat dan mendengar tentang cabang pohon tersebut, Beliau lalu meminta para pemuda yang ada di situ untuk mencabut cabang pohon dan melemparkannya ke tanah. Beliau lalu berkata :
“Katakanlah kepada yang telah menanam cabang pohon ini, apabila mereka telah selesai bersantap untuk datang dan menemuiKu di ruangan di atas gerbang Vihara Jetavana.”

Yang Mulia Sariputta lalu memasuki kota dan setelah selesai bersantap, Beliau duduk menunggu di ruangan di atas gerbang Vihara Jetavana. Demikian pula dengan para pertapa wanita itu, setelah mereka kembali dari mengumpulkan dana makanan, mereka menemukan cabang pohon yang mereka tanam telah tercabut dan tergeletak di tanah. Mereka segera menanyakan siapa yang telah berani melakukannya. Para pemuda di situ mengatakan bahwa Yang Mulia Sariputtalah yang telah melakukannya, bila mereka ingin berdebat, mereka ditunggu di ruangan di atas gerbang vihara.

Para pertapa wanita itu lalu kembali ke kota, diikuti dengan banyak penonton yang ingin menyaksikan perdebatan itu. Mereka lalu menuju ke tempat di mana Yang Mulia Sariputta menunggu. Mereka segera mengajukan seribu macam pertanyaan kepada Yang Mulia Sariputta, dan Beliau dapat menjawab semua pertanyaan itu dengan baik, sampai akhirnya tidak ada lagi yang dapat mereka tanyakan. Yang Mulia Sariputta bertanya, apa lagi yang akan mereka utarakan, mereka menjawab : “Tidak ada lagi yang akan kami tanyakan Yang Mulia.”

Yang Mulia Sariputta berkata : “Saya akan mengajukan satu pertanyaan kepada kalian.”

Tetapi mereka tidak dapat menjawab pertanyaan itu, akhirnya mereka mengaku kalah:
“Yang Mulia, kami mengaku kalah, Andalah pemenangnya.”

“Apa yang akan kalian lakukan sekarang?” tanya Yang Mulia Sariputta.

Mereka menjawab :
“Orang tua kami menasihatkan demikian : ‘Apabila kamu dikalahkan di dalam suatu perdebatan oleh orang biasa, maka kamu harus menjadi istrinya, tetapi apabila ia seorang pertapa, kamu harus menjadi muridnya.’ Oleh karena itu, kami mohon kepada Yang Mulia untuk membimbing kami memasuki kehidupan suci.”

Yang Mulia Sariputta menyetujui dan mentahbiskan mereka dalam Sangha Bhikkhuni yang bernama Uppalavana. Dan dalam waktu yang singkat, mereka semua mencapai Tingkat Kesucian Arahat.

Saudara laki-laki mereka, Saccaka belajar lebih banyak dibandingkan saudara-saudara perempuannya. karena selain ia belajar dari orang tuanya, ia juga belajar kepada guru-guru yang lain. Saccaka menetap di Vesali menjadi guru bagi para pangeran. Ia terkenal sebagi pendebat ulung, yang tak terkalahkan dan ia ditakuti oleh lawan-lawannya. Karena ia merasa semakin banyak ilmu yang dipelajari, ia takut tubuhnya akan meledak, karena itu ia memakai ikat pinggang besi. Kepada semua orang ia memproklamirkan : “Tidak seorangpun yang mempunyai ilmu yang melebihi diriku.”
Dan banyak orang yang menjadi pengikutnya.

Pada suatu hari, Saccaka bertemu dengan Yang Mulia Assaji, yang sedang berpindapatta di kota Vesali. Ketika melihat Beliau, ia berpikir alangkah baiknya kalau ia dapat melakukan perdebatan dengan Sang Buddha. Ia telah sering mendengar tentang Sang Buddha, tetapi ia ingin mengetahui terlebih dahulu apa yang diajarkan oleh Sang Guru Agung. Ia lalu menghampiri Yang Mulia Assaji dan bertanya : “Yang Mulia, bagaimanakah Bhikkhu Gotama mengajar murid-muridNya? Apakah Ajaran Beliau yang paling mutakhir dan paling populer?”

Yang Mulia Assaji menjawab : “Yang Maha Suci menerangkan : Bentuk (=Rupã) adalah tidak kekal (=Aniccã); Kelompok perasaan (=Vedanã) adalah tidak kekal; Pencerapan (=Saññã) adalah tidak kekal; Bentuk batin yang berhubungan dengan keinginan (=Sankhãrã) adalah tidak kekal; Kesadaran (=Viññãna) adalah tidak kekal; dan Segala yang berwujud adalah tanpa jiwa / inti (=Anattã).

Demikianlah Yang Maha Suci mengajarkan murid-muridNya dan inilah Ajaran Beliau yang paling mutakhir dan paling populer.”

Ketika Saccaka mendengar pernyataan ini, ia berkata : “Sebelumnya saya tidak pernah mendengar doktrin seperti itu, saya akan menemui Bhikkhu Gotama dan meyakinkan Beliau akan kesalahan besar ini.”

Sebelumnya Saccaka takut mengadakan perdebatan dengan Sang Buddha karena ia belum mengetahui Ajaran Beliau, tapi sekarang rasa takutnya telah lenyap dan dengan membual tentang apa yang akan dicapainya, ia membujuk para pangeran untuk menyertainya menemui Sang Buddha. Ia berangkat ke Vihara Mahavana, dengan diiringi lima ratus orang pangeran Licchavi.

Sang Buddha telah mengetahui Saccaka akan datang menemuiNya, sekembali dari berpindapatta Beliau lalu meminta para bhikkhu untuk menyiapkan tempat duduk di bawah sebuah pohon di hutan yang berdekatan dengan vihara tersebut. Ketika Saccaka datang, ia dipersilakan menuju ke tempat tersebut. Para penduduk yang mendengar bahwa Saccaka datang dengan disertai lima ratus orang pangeran, untuk berdebat dengan Sang Buddha, berduyun-duyun datang ke hutan itu untuk menyaksikan perdebatan seru itu.

Setelah Saccaka memberikan salam hormat kepada Sang Buddha, Saccaka meminta ijin untuk mulai mengajukan pertanyaan. Sang Buddha berkata, ia dapat bertanya apa saja yang ingin ditanyakannya. Saccaka lalu mengajukan pertanyaan yang sama seperti yang ditanyakannya kepada Yang Mulia Assaji. Sang Buddha menjawab pertanyaan itu dengan memberi penjelasan yang menyeluruh dan terperinci mengenai dasar-dasar Ajaran Beliau, dan menunjukkan kekeliruan pandangan Saccaka. Untuk orang-orang tertentu, hanya seorang Samma Sambuddha yang dapat meyakinkan dan meluruskan pandangan mereka yang keliru, dan Saccaka adalah salah seorang di antaranya.

Setelah perdebatan berlangsung beberapa saat, Sang Buddha mengajukan sebuah pertanyaan kepada Saccaka, tetapi ia diam tidak menjawab. Untuk kedua kalinya Sang Buddha bertanya, Saccaka tetap diam. Kemudian Sang Buddha bertanya untuk ketiga kalinya, pada saat itu raja para dewa yaitu Dewa Sakka dengan memegang kapak di tangannya, berdiri melayang di udara, tepat di atas kepala Saccaka dan berkata :
“Saccaka, apabila kamu tidak mau menjawab pertanyaan Sang Tathagata yang telah diajukan untuk ketiga kalinya, maka Aku akan membelah kepalamu menjadi tujuh bagian.”
Hanya Sang Buddha dan Saccaka yang dapat melihat Dewa Sakka.

Akhirnya Saccaka mengakui bahwa Ajaran Sang Buddha benar, ia mengaku kalah. Keringat membasahi tubuhnya sehingga jubahnya basah kuyup. Melihat kejadian ini, Sang Buddha menunjukkan bahwa jubah Saccaka basah kuyup oleh keringat sedangkan Beliau sendiri tidak berkeringat sedikitpun. Merasa terkalahkan Saccaka tertunduk dan diam seribu bahasa.

Seorang pangeran Licchavi bernama Durmukha mengibaratkan Saccaka sebagai seekor kepiting yang semua kakinya telah patah. Saccaka mengakui kekalahannya. Kemudian ia bertanya lagi tentang Ajaran Sang Buddha yang lebih terperinci.

Ia lalu mengundang Sang Buddha berserta murid-muridNya untuk menerima dana makanan yang dipersembahkan di tempat kediamannya.

Pada kesempatan lain, Saccaka seorang diri mengunjungi Sang Buddha untuk mendengarkan uraian lebih lanjut tentang Dhamma Yang Mulia. Uraian Dhamma ini tercantum di dalam Maha Saccaka Sutta.

Sumber: samaggi-phala.or.id