Chat Here

Welcome to peoplewillfindtheway.blogspot.com... Feel free to explore and enjoy!

Siswa-Siswa Sang Buddha

YANG ARIYA SARIPUTTA

Terkemuka dalam Kebijaksanaan

Pada suatu pagi Sariputta melihat YA Assaji, salah seorang bhikkhu siswa pertama Sang Buddha sedang menerima dana makanan di Rajagaha. Ia sangat terkesan melihat penampilan YA Assaji yang damai dan agung. Ia berpikir bahwa pastilah bhikkhu itu telah mencapai arahat. Ketika YA Assaji selesai makan, ia mendekati dan memberi salam untuk kemudian bertanya siapakah guru beliau dan ajaran apakah yang diajarkan oleh gurunya itu. YA Assaji memberi tahukan bahwa gurunya adalah Sang Buddha Gotama dan bahwa beliau tidak dapat menerangkan ajaran tersebut secara panjang lebar karena belum lama menjadi bhikkhu tetapi dapat menjelaskan artinya secara singkat. Kemudian beliau mengucapkan syair berikut:

"Ye dhamma hetuppabhava,
Tesam hetum tathagato aha;
Tesañca yo nirodho ca
Evam vadi mahasamano"

"Semua benda timbul karena suatu sebab,
'Sebab' itu telah diberitahukan oleh Sang Tathagata;
Dan juga lenyapnya
Demikianlah yang diajarkan oleh
Sang Petapa Agung"

Mendengar syair tersebut, Sariputta memperoleh Mata Dhamma (Dhammacakkhu) dan menjadi seorang Sotapanna (orang yang mencapai tingkat kesucian pertama).

Sariputta terlahir di desa Upatissa dekat Rajagaha. Karena ia adalah anak tertua dari keluarga utama di desa itu, nama pribadinya menjadi Upatissa. Ayahnya adalah seorang Brahmana bernama Vanganta dan ibunya bernama Rupasari, oleh karena itulah ia dikenal pula sebagai Sariputta (putera dari Sari). Ia mempunyai tiga adik laki-laki dan tiga adik perempuan, yang kesemuanya di kemudian hari memasuki Sangha. Sejak kecil Sariputta sudah memperlihatkan kepandaian yang istimewa. Mula-mula ia belajar kepada ayahnya yang mempunyai pandangan yang bijaksana dalam pengetahuan-nya sebagai seorang Brahmana. Ia mempelajari Veda (Kitab Suci Agama Hindu). Pada usia delapan tahun ia mulai belajar dengan seorang guru, dan pada usia enam belas tahun ia sudah terkenal di daerah tempat tinggalnya.

Pada hari kelahirannya, terlahir pula seorang anak laki-laki di desa Kolita, sehingga anak itu disebut Kolita. Ayahnya adalah kepala desa dan ibunya adalah seorang Brahmana bernama Moggali sehingga anak itu disebut pula sebagai Moggallana. Upatissa dan Moggallana berteman sejak masa kanak-kanak mereka. Mereka bersama-sama pula menikmati kesenangan hidup. Sampai pada suatu ketika mereka menyadari bahwa pada akhirnya semua manusia akan mengalami kematian. Oleh karena itulah keduanya bersepakat, untuk meninggalkan hidup keduniawian untuk mencari jalan yang dapat membebaskan diri dari kematian.

Mereka kemudian pergi untuk berguru kepada seorang guru terkenal saat itu yang bernama Sañjaya. Karena kemampuannya yang luar biasa, Sariputta dan Moggallana segera diakui sebagai murid yang utama diantara murid-murid lainnya. Tetapi meskipun mereka telah menguasai semua ajaran yang diberikan oleh Sañjaya, mereka belum juga menemukan jalan pembebasan yang dicari. Mereka kemudian berjanji bahwa siapa di antara mereka yang kelak lebih dulu memperoleh Ajaran Sempurna akan memberitahukan hal itu kepada lainnya.

Maka segera setelah Sariputta bertemu dengan YA Assaji, beliau menemui Moggallana dan menyampaikan peristiwa yang dialaminya dan mengulangi syair yang diucapkan oleh YA Assaji. Seketika itu pula Moggallana memperoleh Mata Dhamma dan menjadi seorang Sotapanna. Kemudian mereka menyampaikan hal ini kepada Sañjaya. Namun Sañjaya menolak untuk pergi bersama mereka menemui Sang Buddha. Keduanya lalu pergi bersama dua ratus lima puluh murid Sañjaya ke Vihara Veluvana untuk menemui Sang Buddha. Mereka memohon penahbisan dan Sang Buddha menerima mereka ke dalam Sangha dengan kata-kata "Ehi Bhikkhu".

Tujuh hari setelah ditahbiskan, Moggallana mencapai tingkat Arahat (tingkat kesucian tertinggi) setelah mendapat petunjuk dari Sang Buddha. Lima belas hari setelah ditahbiskan, Sariputta berdiam bersama Sang Buddha di gua Sukarakhta di gunung Gijjhakuta (Puncak Burung Nasar) di kota Rajagaha. Seorang petapa Paribbajaka bernama Dighanakha dari keluarga Aggivesana pada suatu hari menghampiri Sang Buddha dan bertanya kepada Sang Buddha. Sang Buddha kemudian mengkhotbahkan Vedanapariggha kepada petapa tersebut. Mendengar sutta itu Sariputta pun menjadi seorang Arahat (orang yang mencapai kesucian tertinggi).

YA Sariputta dan YA Moggallana merupakan siswa-siswa yang mulia dan termashyur, merupakan Siswa Kepala (Aggisavaka) yang membantu Sang Buddha dalam menyampaikan Ajaran kepada dunia.

Dalam suatu pertemuan para bhikkhu Sang Buddha menyatakan bahwa YA Sariputta adalah siswa yang terkemuka dalam kebijaksanaan, dan YA Moggallana adalah yang terkemuka dalam kekuatan gaib. Dalam hal kebijaksanaan, YA Sariputta adalah yang kedua setelah Sang Buddha. Beliau sangat ahli dalam mengajarkan tentang sebab akibat, Empat Kesunyataan Mulia dan Jalan Utama Berunsur Delapan. Beliau amat pandai menguraikan dengan terinci intisari Ajaran Sang Buddha kepada orang lain. Sang Buddha pernah bersabda "Bila kamu meninggalkan kehidupan keduniawian dan menjadi bhikkhu, kamu harus seperti Sariputta dan Moggallana. Berusahalah untuk mendekati dan meminta mereka untuk mengajarimu".

Meskipun YA Sariputta dikenal sebagai Siswa Kepala, beliau tidak mementingkan diri sendiri. Beliau adalah seseorang yang tahu berterima kasih, rendah hati, penuh belas kasihan dan sabar. Beliau senang mengunjungi bhikkhu-bhikkhu lain yang sakit. Ketika bhikkhu-bhikkhu lain sedang melakukan pindapata, beliau mengelilingi seluruh bangunan vihara, menyapu tempat-tempat yang belum tersapu, mengisi saluran-saluran yang kosong dengan air, mengatur perabotan dan sebagainya. Khotbahnya, Sangiti Sutta dan Dasuttara Sutta adalah permulaan dari cita-citanya mengulangi Ajaran Sang Buddha untuk menjaga dan mempertahankan kemurniannya dan agar ajaran itu tetap terlindung. Apabila Sang Buddha adalah Dhammaraja (Raja dari Ajaran), maka YA Sariputta adalah Dhammasenapati (Panglima dari Ajaran).

Ketika Sang Buddha mengunjungi kerajaan Sakya, Rahula, putra-Nya meminta harta kepadanya. Untuk memberi harta yang agung kepada Rahula, Sang Buddha meminta YA Sariputta untuk menahbiskan Rahula. YA Sariputta menjadi Upajjhaya dari Rahula sedangkan YA Moggallana menjadi Acariya bagi Rahula. Ketika Sang Buddha mengkhotbahkan Abhidhamma kepada ibunya dan dewa-dewa di surga Tavatimsa, YA Moggallana tinggal bersama orang-orang yang menunggu kembalinya Sang Buddha. Sementara itu, setiap hari pertama Sang Buddha pergi ke danau Anottata untuk mandi dan istirahat siang, YA Sariputta mengunjungi Sang Buddha dan mempelajari semua yang telah dikhotbahkan. Setelah itu beliau mengajarkannya kepada lima ratus siswanya.

Pada saat Devadatta menimbulkan perpecahan di antara para bhikkhu dan membawa lima ratus bhikkhu yang baru ditahbiskan ke Gayasisa, Sang Buddha mengirim kedua Siswa Kepala untuk membawa mereka kembali. Mereka berhasil melaksanakan tugas tersebut dan kembali kepada Sang Buddha bersama kelima ratus bhikkhu itu.

Kurang lebih enam bulan sebelum Sang Buddha wafat, YA Sariputta merasa bahwa akhir hidupnya telah menjelang. Beliau memohon ijin kepada Sang Buddha untuk mencapai Parinibbana (wafat). Setelah diijinkan, YA Sariputta pulang ke desa Nalaka yang merupakan tempat kelahirannya. Para dewa dan Brahma mengunjunginya sehingga membuat ibunya takjub karena Brahma yang dipujanya ternyata menghormati putranya. Pada saat itulah YA Sariputta mengajarkan Dhamma kepada ibunya dan membuatnya yakin kepada Sang Tiratana. Kepada seorang bhikkhu yang ikut bersamanya beliau berkata, "Saya telah bersama-sama denganmu selama lebih dari empat puluh tahun. Kalau saya mempunyai kesalahan, maafkanlah saya." Itulah kata-katanya yang terakhir. Malam itu beliau merebahkan dirinya di tempat tidur dan dengan tenang mencapai Parinibbana (wafat). Relik beliau dibawa ke Savatthi dan Sang Buddha memerintahkan membuat cetiya untuk menyimpan relik tesebut.

Moggallâna Thera

Dikisahkan bahwa di Kolitagâma dekat Kota Râjagaha lahirlah
bayi laki-laki dari seorang brâhmaóî bernama Moggalî.
Ia dinamai Kolita –sesuai dengan nama tempat kelahirannya
, tetapi belakangan lebih dikenal dengan nama yang
merujuk pada ibunya, Moggallâna. Kelahirannya bertepatan
dengan kelahiran Upatissa (Sâriputta) yang kelak juga menjadi
Siswa Utama Buddha Gotama. Selama tujuh keturunan, keluarga
Sâriputta dan keluarga Moggallâna menjalin hubungan yang sangat erat.
Pada suatu hari, mereka berdua pergi menonton suatu pertunjukan,
dan dari sanalah mereka menyadari ketaklanggengan segala sesuatu.
Mereka kemudian menanggalkan keduniawian. Pada mulanya
mereka berguru kepada Sañjaya Velaööhaputta. Karena kurang begitu
puas dengan ajarannya, mereka kemudian berkelana di seluruh Jambudîpa
untuk mencari kebenaran hidup. Agar pencaharian ini lebih sangkil,
mereka memisahkan diri dengan janji untuk memberitahu yang lain
apabila telah berhasil menemukan ajaran yang memuaskan.
Ketika sedang mengembara di Râjagaha, Sâriputta berjumpa dengan
Assaji Thera. Beliau berhasil mencapai kesucian tingkat Sotâpatti
hanya dengan mendengarkan dua baris pertama dari sebait syair: “Segala
sesuatu muncul karena sebab. Sang Tathâgata mengungkapkan sebab
kemunculannya. Demikian pula sebab kepadamannya, diajarkan oleh
Pertapa Agung itu.” Beliau segera mencari Moggallâna, dan begitu
mengulangkan syair yang sama, kerabat kental beliau juga berhasil mencapai
tingkat kesucian yang sama. Setelah gagal mengajak mantan gurunya
–Sañjaya–, mereka berdua dengan diikuti oleh lima ratus siswa
Sañjaya kemudian pergi mengunjungi Buddha Gotama yang sedang bersemayam
di Veïuvana. Setelah ditahbiskan dan mendapat wejangan
langsung dari Beliau, mereka semua –kecuali Sâriputta dan Moggallâna–
meraih kesucian tertinggi, Arahatta. Moggallâna baru berhasil mencapainya
satu minggu kemudian, setelah menjalankan latihan meditasi yang
sangat melelahkan.
Di hadapan pasamuan bhikkhu dalam jumlah yang besar, Sang
Buddha menobatkan mereka berdua sebagai Siswa Utama (Aggasâvaka).

Apabila Sâriputta Thera terkenal karena kebijaksanaannya, Moggallâna
Thera terunggul karena kesaktian yang dimilikinya. Dipercayai bahwa
beliau mampu mengunjungi beberapa alam kehidupan lain di luar dunia
ini. Bukan hanya alam surga Tâvatiæsa kediaman Sakka –Raja Dewa–
yang pernah disinggahi, bahkan alam brahma yang jauh lebih tinggi pun
pernah dikunjungi. Beliau pernah membantu Buddha Gotama dalam menaklukkan
kecongkakan Brahmâ Baka. Dalam suatu pertemuan yang
khidmat di balai Sudhammâ, beliau berhasil mendesak Baka untuk mengakui
pandangan-pandangan lampaunya yang sesat. Beliau juga berjasa
besar dalam mengumpulkan kesaksian para penghuni surga maupun
neraka atas perbuatan-perbuatan yang menyebabkan mereka terlahirkan
di alam sana. Setelah pulang kembali ke bumi, beliau menceritakannya
kepada para siswanya. Di antara kebajikan-kebajikan yang membuahkan
pahala kelahiran kembali di alam-alam yang menyenangkan ialah mengikuti
ajaran Sang Buddha. Di lain pihak, beberapa penganut kepercayaan
lain terlahirkan kembali di alam-alam yang menyedihkan; menderita dan
tersiksa di sana karena akibat buruk dari pandangan sesat yang mereka
anut.

Pembeberan atas kesaksian-kesaksian tersebut, yang sesungguhnya
merupakan suatu kenyataan tak terbantah, membuat sejumlah
pemuka kepercayaan lain merasa tersinggung. Ada banyak di antara
pengikut mereka yang beralih masuk ke dalam Agama Buddha. Keuntungan
serta penghormatan yang sebelumnya mereka peroleh kini mulai
memudar dan menipis. Setelah mengadakan pertemuan rahasia, mereka
akhirnya memutuskan bersama untuk mengupah beberapa pembunuh
bayaran untuk menghabisi Moggallâna Thera. Karena ditawari dengan
bayaran yang sangat besar, para pembunuh tersebut menyanggupi perintah
pembunuhan ini.

Mereka kemudian mengepung tempat kediaman Moggallâna
Thera di Kâïasilâ. Beliau mengetahui niat jelek para pembunuh bayaran
ini. Dengan kesaktian yang dimiliki, beliau berhasil menghindar dari kepungan
mereka. Ini terjadi berkali-kali, namun dengan pelbagai cara beliau
selalu berhasil menghindar. Pada akhirnya, dengan kewaskitaan
beliau menyadari perbuatan jahatnya dalam kehidupan yang lampau,
yang telah masak dan siap untuk membuahkan akibat. Karena itu, beliau
tidak lagi berusaha menghindar. Para pembunuh itu segera menangkap
serta menggebuki Moggallâna Thera hingga remuk tulang-tulangnya.

Menyangka bahwa korbannya telah tewas, para pembunuh itu kemudian
melemparkan tubuh yang hancur remuk itu di balik semak-semak.5
Sesungguhnya, pada waktu itu Moggallâna Thera belum sampai pada
ajalnya. Didasari tujuan untuk menghadap Buddha Gotama yang sedang
bersemayam di Veïuvana, beliau menyatukan kembali tubuhnya yang telah
hancur remuk dengan mempergunakan kesaktian yang dimiliki. Setelah
memohon pamit dan memperoleh restu dari Sang Buddha, beliau
pergi ke suatu hutan di dekat Kâïasilâ dan mencapai Kemangkatan
Mutlak di sana.
Peristiwa tragis yang menimpa Moggallâna Thera kerap disalahcerap
oleh beberapa pembabar Dhamma pada dewasa ini. Mereka menjadi
tidak berani menyinggung serta membahas kesesatan yang dianut
oleh kepercayaan atau agama lain karena takut harus menanggung ‘nasib’
yang sama seperti beliau. Ini bukan hanya menjauhkan mereka dari misi
pembabaran Dhamma, tetapi juga menunjukkan bahwa mereka kurang
begitu memahami proses kerja Dalil Kamma. Kematian Moggallâna Thera
bukanlah disebabkan karena pembeberan kesesatan yang dianut oleh kepercayaan
atau agama lain. Pembeberan kesesatan adalah salah satu misi
pembabaran Dhamma. Tidaklah mungkin ini akan menimbulkan akibat
buruk (kusala-vipâka) berupa kematian. Tentu ada penyebab lain.
Sesungguhnya, Moggallâna Thera mengalami peristiwa yang
mengenaskan sebelum kemangkatannya karena akibat perbuatan jahat
yang pernah beliau lakukan dalam kehidupan lampau. Atas hasutan
istrinya, ia berencana untuk membunuh orangtuanya sendiri. Ketika
orangtuanya yang buta sedang berada di hutan yang lebat, ia mencoba
memisahkan diri dengan berdusta bahwa ada perampok yang akan
menyerang. Selanjutnya ia berpura-pura mengeluarkan suara seperti
layaknya seorang perampok. Menyangka diserang oleh perampok,
orangtua yang sangat mencintainya berteriak agar ia melarikan diri
sendirian, dan tidak perlu mengkhawatirkan bahaya yang sedang mereka
hadapi. Meskipun orangtuanya memperlihatkan kasih yang sedemikian
murni, yang lebih mengutamakan kehidupan anaknya melebihi
kehidupan mereka sendiri, ia belum juga insaf. Dengan sangat kejam, ia
memukuli mereka berdua hingga tewas. Atas kejahatan yang sangat berat
ini, ia menderita di alam neraka selama ribuan tahun. Karena akibat
kamma buruk ini masih bersisa, selama seratus kehidupan sebagai
manusia, ia mati terbunuh dengan tubuh hancur remuk.

YANG ARIYA ANANDA


Pembantu Tetap Sang Buddha dan Bendahara Dhamma


Pada suatu ketika dalam suatu pertemuan para bhikkhu di Rajagaha, Sang Buddha yang saat itu berusia lima puluh lima tahun menyinggung tentang perlunya ditunjuk seorang pembantu tetap untuk diriNya. Semua siswa utama seperti YA Sariputta dan YA Moggallana menawarkan diri untuk menjadi pembantu tetap namun semuanya ditolak oleh Sang Buddha. Para bhikkhu kemudian menganjurkan Ananda yang selama itu berdiam diri saja untuk memohon kepada Sang Buddha untuk dapat diterima sebagai pembantu tetap. Ananda mengatakan, "Kalau Sang Bhagava memang memerlukan Ananda sebagai Pembantu Tetap, Sang Bhagava boleh mengatakannya". Kemudian Sang Buddha berkata, "Ananda, jangan membiarkan orang lain menganjurkan engkau untuk memohon pekerjaan tersebut. Atas kemauan sendiri engkau dapat menjadi Pembantu Tetap Sang Buddha".

Baru setelah itulah Ananda menawarkan diri untuk menjadi Pembantu Tetap asal Sang Buddha berkenan meluluskan delapan permintaannya, yaitu menolak empat hal dan memenuhi empat hal. Empat hal yang diminta Ananda untuk ditolak adalah: apabila Sang Buddha menerima persembahan jubah, maka jubah itu tidak boleh diberikan kepada Ananda; apabila Sang Buddha menerima hadiah, hadiah itu tidak boleh diberikan kepada Ananda; Ananda tidak boleh diminta untuk tidur di kamar pribadi Sang Buddha yang harum baunya (Gandhakuti); apabila Sang Buddha menerima undangan pribadi, maka undangan itu tidak termasuk dirinya. Ananda mengatakan apabila Sang Buddha melakukan hal tersebut maka orang akan bercerita bahwa Ananda menjadi Pembantu Tetap karena ingin mendapat jubah bagus, makanan enak, tempat tinggal menyenangkan dan ikut serta kalau Sang Buddha mendapat undangan.

Empat hal yang diminta Ananda untuk dipenuhi adalah: apabila Ananda menerima undangan atas nama Sang Buddha maka Sang Buddha harus memenuhinya; apabila ada orang datang dari tempat jauh, agar Ananda dapat membawanya menghadap Sang Buddha; apabila Ananda merasa ada sesuatu yang meragukan ia diperbolehkan bertanya kepada Sang Buddha setiap waktu; apabila Ananda tidak hadir saat Sang Buddha berkhotbah, Sang Buddha bersedia mengulanginya kembali. Apabila hal tersebut tidak diperkenankan maka orang akan bertanya-tanya apa sebenarnya faedah dari pengabdian tersebut. Sang Buddha menyetujui permintaan tersebut dan sejak saat itu Ananda resmi menjadi Buddha-upatthaka (Pembantu Tetap Sang Buddha).

YA Ananda terlahir sebagai putera Sukkodana, saudara Suddhodana ayah Sang Buddha, oleh karenanya ia merupakan saudara sepupu pertama Sang Buddha. Hari kelahirannya bersamaan dengan hari kelahiran Sang Buddha, bersamaan pula dengan terlahirnya Puteri Yasodhara yang kemudian menjadi isteri Pangeran Siddhattha, Channa yang kemudian menjadi kusir Pangeran Siddhattha, Kaludayi yang kemudian mengundang Sang Buddha untuk berkunjung kembali ke Kapilavatthu, Kanthaka yang kemudian menjadi kuda Pangeran Siddhattha, seekor gajah istana, pohon Bodhi tempat Pangeran Siddhattha mencapai Penerangan Agung, Nidhikumbhi yaitu tempat harta pusaka.

Ananda memasuki Sangha bersama-sama dengan para bangsawan Sakya yaitu Mahanama, Bhaddhiya, Bhagu, Kambila, Devadatta dan tukang cukur mereka yang bernama Upali. Mereka menjumpai Sang Buddha di hutan mangga Anupiya dalam perjalanan ke Rajagaha. Di tempat itu mereka memohon kepada Sang Buddha untuk ditahbiskan menjadi bhikkhu. Dan dengan tujuan untuk mengurangi rasa kebanggaan mereka, mereka memohon kepada Sang Buddha untuk mentasbihkan Upali, tukang cukur mereka, terlebih dahulu.

Selama vassa berikutnya, Bhaddhiya mendapat tiga kemampuan dan menjadi Arahat. Anuruddha mendapatkan yang kedua dari kemampuan tersebut yaitu mata dewa yang dapat melihat timbul dan lenyapnya makhluk-makhluk. Sang Buddha menyatakan Anuruddha sebagai yang terkemuka di antara mereka yang memperoleh mata dewa (dibbacakkhu) dan Bhaddhiya sebagai yang terkemuka di antara mereka yang mengalami kelahiran agung. Ananda mendengar khotbah YA Punnamantaniputta dan menjadi seorang Sotapanna (seorang suci tingkat pertama).

Devadatta memperoleh kekuatan gaib yang dapat dicapai oleh manusia biasa. Di kemudian hari Devadatta mengembangkan pikiran jahat dan memusuhi Sang Buddha. Sedangkan Upali menjadi yang terkemuka di antara mereka yang mempelajari Vinaya (aturan kebhikkhuan).

Sebagai Pembantu Tetap Sang Buddha, Ananda melayani Sang Buddha selama dua puluh lima tahun, mengikuti Sang Buddha bagaikan bayanganNya, membawakan air dan tusuk gigi, mencuci kaki Sang Buddha, menyertai Sang Buddha ke mana saja, menyapu tempat kediaman Sang Buddha. Karena dekatnya hubungan dengan Sang Buddha, Ananda berkesempatan untuk mendengarkan semua Khotbah Sang Buddha. Karena mempunyai daya ingat yang luar biasa, Ananda dapat mengingat segala sesuatu yang diucapkan oleh Sang Buddha sehingga ia dikenal sebagai 'Bendahara Dhamma' (Dhamma Bhandagarika)

Pada suatu ketika di Jetavana dalam pertemuan para bhikkhu, Sang Buddha memuji Ananda dan menempatkannya sebagai bhikkhu yang utama dalam lima hal: kepandaian (Bahusacca), ingatan yang kuat (Sati), kelakuan baik (Gati), ketabahan (Dhiti), perhatian penuh dalam pelayanan (Upatthana).

Ketika Maha Pajapati Gotami, ibu tiri Sang Buddha, memohon kepada Sang Buddha untuk diijinkan memasuki Sangha, Anandalah yang sangat mendukung keinginan tersebut dan berhasil memohon kepada Sang Buddha untuk memperkenankan wanita memasuki Sangha. Inilah permulaan adanya Sangha Bhikkhuni dalam agama Buddha. Ananda pulalah, atas permintaan Sang Buddha, yang merancang jubah bhikkhu dengan pola menyerupai sawah di Magadha.

Meskipun mempunyai hubungan yang dekat dengan Sang Buddha, sampai pada saat Sang Buddha mencapai Parinibbana (wafat), Ananda belum juga mencapai tingkat Arahat (tingkat kesucian tertinggi). Ananda mencapai tingkat Arahat tiga bulan setelah wafatnya Sang Buddha yaitu pada Sidang Agung Pertarna di Gua Sattapanni, Rajagaha. Ketika itu YA Maha Kassapa mengusulkan untuk mengulang Dhamma dan Vinaya sehingga dapat diketahui Ajaran yang sesungguhnya. Para bhikkhu memintanya memilih anggota pertemuan dan beliau memilih 499 Arahat. Beliau diminta pula untuk memilih Ananda, karena meskipun belum mencapai Arahat, Ananda telah mempelajari Dhamma dan Vinaya dari Sang Buddha sendiri. Menyadari dirinya merupakan satu-satunya peserta pertemuan yang belum Arahat, sehari sebelum pertemuan dimulai Ananda melatih diri dengan sungguh-sungguh hingga larut malam.

Menjelang fajar, ia merasa mengantuk dan karenanya merebahkan diri. Pada saat kepala belum menyentuh bantal, belum lagi kakinya meninggalkan lantai, ia menyelami Enam Kemampuan Batin Luar Biasa (Abhiñña). Karena itulah beliau dikatakan sebagai satu-satunya siswa yang mencapai Arahat tanpa empat sikap tubuh (Iriyapatha).

Pada hari pertemuan, Ananda memasuki ruang pertemuan dan muncul di atas tempat duduk kosong yang telah disediakan untuknya. YA Upali dipilih untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan YA Maha Kassapa tentang Vinaya dan YA Ananda ditunjuk untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang Dhamma, yaitu tentang Sutta dan Abhidhamma. Oleh karena itulah tiap Sutta selalu dimulai dengan kata-katanya, "Evam me sutam" - 'Demikianlah telah kudengar'.

Ananda melewatkan tahun-tahun terakhirnya dengan mengajar, berkhotbah dan memberikan semangat kepada rekan-rekannya yang lebih muda. Beliau hidup sampai usia yang sangat lanjut yaitu seratus dua puluh tahun. Menjelang wafatnya, beliau pergi ke sungai Rohini yang terletak di perbatasan antara Kapilavatthu dan Koliya. Setelah berkhotbah kepada kedua pihak, beliau berjalan ke tengah sungai dan dari tubuhnya keluar api yang membakar badan jasmaninya. Sisa badan jasmaninya dibagi dua dan ditaruh dalam stupa di Kapilavatthu dan di Koliya.

SOPAKA
[Si Anak Buangan Yang Mencapai Arahat]

Nasib manusia itu tidak bisa diiyakan, dinilai atau tergantung karena pandangan dan anggapan orang saja. Seringkali anggapan banyak orang dan masyarakat itu keliru di dalam menilai keberadaan seseorang sebagaimana sukarnya banyak orang yang mampu mengakui bahwa anggapan tentang dirinya yang selalu benar tidaklah sepenuhnya demikian, begitu pula sama halnya dengan sukarnya menghapus anggapan di dalam memandang orang lain yang merasa selalu benar.

Orang yang baik dianggap buruk, orang yang jahat dianggap baik, dan bahkan orang yagn sesungguhnya masih hidup malah dinilai telah mati. Sopaka adalah seorang anak yang dinilai keliru oleh masyarakat, ia korban dari anggapan masyarakat atau banyak orang yang selalu merasa benar di dalam menilai orang lain. Banyak orang mengalami nasibnya karena penilaian orang lain.

Sopaka adalah anak yang lahir di kota Sravasti, dari seorang ibu yang amat miskin, memiliki sejarah hidup yang tragis meski kemudian akhirnya mencapai Arahat. Ketika masih berada dalam kandungan ibunya, dan ketika saat kelahirannya akan tiba ibunya mengalami koma. Dalam keadaan demikian, ibunya dikiri oleh saudara-saudaranya telah mati, dan segera ibunya itu dibawa ke pemakaman untuk dikremasikan, termasuk janin Sopaka di dalam rahim ibunya.

Namun, bila memang masih belum ditakdirkan demikian, kematian yang telah divonis oleh manusia itu tentu saja tidak berlaku. Menjelang ibunya dikremasi, justri bayi dalam kandangannya itu dapat diselamatkan oleh seorang makhluk halus yang memberikan halangan bagi nyalanya api kremasi dengan cara menurunkan hujan.

Maka, mereka yang hendak mengkremasi ibunya itu punjadi pada melarikan diri. Akhirnya bayi dalam kandangan ibu yang koma itu dapat lahir dengan selamat, berkat bantuan makhluk halus yang penolong, meski ibunya sendiri tak tertolong.

Makhluk halus penolong itu pun segera menggendong si bayi beruntung itu, dan membawanya kepada seorang penjaga. Bayi itu berada dalam asuhan sang penjaga dan penjagaan makhluk halus, memperoleh makanan yang sesuai sehingga dapat tumbuh dengan sehatnya. Si penjaga itu pun akhirnya mengangkat bayi itu menjadi anaknya, dibesarkannya bersama dengan anak laki-lakinya yang bernama Suppiya.

Karena bayi itu lahir dipemakaman, maka bayi itu pun diberi nama Sopa, yang artinya, "Si Anak Buangan? Sopaka tumbuh sehat bersama dengan Suppiya, Di suatu pagi ketika Hyang Guru Agung, Buddha Sakyamuni sedang menjalangkan kebiasaannya mencari-cari dengan mata kebijaksanaanNya siapa yang dapat menerima ajaranNya, Beliau melihat seorang anak sedang berjalan menuju ke kuburan. Anak itu adalah Sopaka yang waktu itu berusia tujuh tahun.

Didorong oleh kekuatan karma lampaunya, Sopaka kemudian mendekati Guru Sakyamuni Buddha dengan pikiran yang bahagia dan menghormatiNya. Hyang Buddha pun kemudian mengajari Sopaka Dharma. Begitu cerdasnya anak ini sehingga cepat tahu akan makna hidup sesungguhnya yan sesuai Buddhadharma, Sopaka pun akhirnya memutuskan diri untuk hidup meninggalkan keduniawian.

Meski sebagai anak yang dipungut, Sopak sangat berbakti kepada orang tua angkatnya. Untuk menjalani hidup kesucian dan menjadi siswa Hyang Buddha, ia meminta izin terlebih dahulu kepada ayahnya . Lebih dari itu, Sopaka juga membawa ayahnya memberi hormat kepada Hyang Buddha, dan kemudia memohon agar menerima anaknya.

Hyang Buddha menerima Sopaka menjadi siswanya. Berbagai ajaran Dharma diperoleh Sopaka dari Hyang Buddha, dan semua itu dicerapkan dengan kecerdasannya yang mengagumkan. Terdapat ajaran Buddha yang sangat meresap ke dalam diri Sopaka yakni ajaran tentang cinta kasih persaudaraan. Sopaka meresapi ajaran tersebut dan melatih serta mempratekkannya.

Sebagai seorang anak buangan, siswa Hyang Buddha ini kerap menjalani pelatihan dirinya dipekuburan. Dari kuburan kembali ke kuburan, dan karenanya aku tak mungkin lepas dari kuburan, begitu mungkin pikir Sopaka yang melatih dirinya dengan menetap di pekuburan. Justru dengan cara seperti itulah Sopaka akhirnya lebih cepat mencapai keberhasilan di dalam meditasi.

Kuburan adalah suatu simbol mengenai ketidakkekalan atau ketiadaan. Orang yang telah mati anitya akan dibawa ke kuburan untuk dimakamkan atau dikremasikan, orang itu kemudian dianggap telah tiada. Dengan dasar sejarah hidupnya yang telah dianggap tiada, Sopaka meyakini justru itulah modal terbesarnya untuk cepat meraih keberhasilan dalam mencapai tingkat kesucian.

Satu hal penting yang patut mendapatkan catatan dan diingat dari apa yang selalu Buddha ajarkan, adalah Hyang Buddha selalu mengajarkan sesuai dengan latar belakang orang yang diajarkan. Latar belakang dan sejarah kehidupan orang yang bersangkutan adalah modal besar bagi orang itu sendiri dalam meraih keberhasilan pelatihan diri. Sopaka yang lahir di pekuburan menjalani pelatihannya di pekuburan. Sopaka yang telah dianggap tiada sejak semula, justru menjalani hidup pelatihannya di tengah-tengah orang yang tiada. Dari tiada kembali kepada ketiadaan.

Melatih diri di pekuburan memungkinkan Sopaka cepat merealisasi makna kekosongan dan ketiadaan. Keterikatan terhadap keakuan sama sekali mudah dilenyapkan, sehingga dalam meditasi, Sopaka cepat meraih tingkatan jhana. Kemudian ketika tingkat jhana-jhana telah diperoleh, Sopaka mengembangkan pandangan terang dan akhirnya mencapai tingkat Arahat.

Kehadirannya yang secara dramatis dan tragis dengan lahir di kuburan dan dianggap tidakada ternyata membawa dirinya berujung kepada keberhasilan dalam jalan kesucian. Tak seberkas pun ada rasa benci terhadap peristiwa kelahirannya itu, kepada masyarakat yang menilai telah tiada, kepada orang-orang yang menganggap dirinya tidak ada. Ajaran Buddha mengenai cinta kasih persaudaraan yang diperkenalkan pertama kali kepadanya, sungguh membuat dirinya sama sekali tidak mendendam dan membenci akan masa lalunya.

Sopaka pun akhirnya dapat mengembangkan cinta kasih persaudaraan. Setelah berhasil mencapai tingkat Arahat, ia pun kembali mengajarkan kepada para bhiksu lainnya tentang makna ajaran cinta kasih persaudaraan. Cinta kasih persaudaraan yan tidak pernah membeda-bedakan siapa saja orang yang ada. Cinta kasih persaudaraan yang tidak diskriminatif diantara orang-orang yang bersahabat.

Untuk semua makhluk dengan tanpa membedakan dan tanpa batas cinta kasih itu harus ditujukan. Cinta kasih persaudaraan yang universal, mencakup seluruh dunia, seluruh alam semesta, semua makhluk, semua manusia dalam segala usia. Sopaka, si Anak Buangan itu menyadari dirinya, melatih dirinya, bahwa ia memang bukan apa-apa melainkan bagian dari kekosongan cinta kasih alam semesta, dan justru dengan meniadakan dirinya ia akhirnya berada dalam kemuliaan kesempurnaan Arahat.

(Dikutip dari Majalah Suara Bodhidharma)

Yang Ariya Rahula


Pada hari ketujuh setelah Sang Buddha kembali ke Kapilavatthu, Puteri Yasodhara mendandani Pangeran Rahula dengan pakaian yang bagus dan mengajaknya kejendela. Dari jendela itu mereka dapat melihat Sang Buddha sedang makan siang. Puteri Yasodara kemudian bertanya kepada Rahula, "Anakku, tahukah engkau siapa orang itu?" Rahulu menajwab, "Beliau adalah Sang Buddha, ibu". Yasodhara tak dapat menahan air matanya yang menitik keluar dan berkata, "Anakku, petapa yang kulitnya kuning keemasan dan tampak seperti Brahma dikelilingi oleh ribuan muridnya adalah ayahmu. Beliau punya banyak harta pusaka. Pergilah kepadanya dan mintalah harta pusaka untukmu". Pangeran Rahula yang masih kecil itu kemudian pergi mendekati Sang Buddha dan sambil memegang jari tangan Sang Buddha mengatakan apa yang dipesankan ibunya. Kemudian ia menambahkan "Ayah, bahkan bayangan ayah membuat hatiku senang".

Selesai makan Siang Sang Buddha meninggalkan istana. Rahula mengikut sambil terus merengek, "Ayah, berikanlah aku harta pusaka. Kelak aku akan menjadi raja, aku ingin memiliki harta pusaka. Ayah, berikanlah aku harta warisan". Tak ada orang yang mencoba menghalang-halangi dan Sang Buddha sendiri juga membiarkan Rahula berbuat demikian. Setibanya di taman, beliau berpikir, "Rahula minta warisan harta pusaka, tetapi semua harta dunia penuh dengan penderitaan. Lebih baik aku memberikan warisan berupa Tujuh Faktor Penerangan Agung yang aku peroleh dibawah pohon Bodhi. Dengan demikian ia akan mewaisi harta pusaka yang paling mulia.

Di Vihara, Sang Buddha meminta YA Sariputta untuk menabhiskan Rahula sebagai Samanera. Rahula dengan demikian merupakan samanera pertama. Mendengar Rahula telah ditabhiskan menjadi Samanera, Raja Suddhodana merasa sangat sedih. Oleh karena itu ia mohon kepada Sang Buddha agar seseorang yang akan ditabhiskan menjadi bhikkhu atau samanera agar dengan ijin orangtuannya. Sang Buddha menyetujui permohonan tersebut dan mulai saat itu tidak mentabhiskan bhikkhu atau samanera tanpa terlebih dahulu mendapat ijin dari orangtuannya.

Rahulu merupakan putera dari Pangeran Siddhatta dan Puteri Yasodhara. Ketika Pangeran Siddhatta mendengar berita bahwa istrinya telah melahirkan seorang putera, mukanya menjadi pucat. Pangerang mengangkat kepalanya menatap langit dan berkata, "Rahulajato, bandhanam jatam" (Satu belenggu telah terlahir, satu ikatan telah terlahir). Karena itulah maka bayi yang baru lahir itu diberi nama Rahula. Kelahiran Rahulu disambut dengan pesta besar yang meriah. Namun saat itu Pangeran Siddhatta telah bertekad untuk meninggalkan sitana untuk mencari jalan untuk membebaskan mansuai dari usia tua, sakit dan kematian.

Sesaat sebelum meninggalkan istana, Pangeran Siddhatta pergi ke kamar puteri Yasodhara untuk melihat isteri dan anaknya. Isterinya sedang tidur nyenyak dan memeluk bayinya. Tangannya menutup muka sang bayi sehingga muka bayi tidak dapat terlihat. Pangeran semula ingin menggeser tangan istrinya untuk dapat melihat muka puteranya itu, tetapi hal ini diurungkan karena takut hal itu menyebabkan Puteri Yasodhara terbangun dan rencananya untuk meninggalkan istana bisa gagal. Pangeran berkata dalam hati, "Biarlah hari ini aku tidak melihat wajah anakku, tetapi nanti setelah aku memperoleh apa yan kucari aku akan datang kemhali dan dengan puas dapat melihat wajah anak dan isteriku". S etelah itu Pangeran Siddhatta mengingalkan istana denga menunggang kuda Kanthaka diikuti oleh kusirnya Channa untuk berkelana mencari jalan kebahagiaan bagi umat manusia.

Kepergian Pangeran Sidhatta memberikan kesedihan yang mendalam bagi ayahnya, Raja Suddhodana terlebih pula isterinya, Puteri Yasodhara. Rahulu yang kehilangan ayahnya diasuh dan dididik dengan penuh kasih sayang dan tumbuh menjadi anak yang pandai dan baik budi. Puteri Yasodhara sendiri ketika mendengar bahwa Pangeran Sidhartta yang telah menjadi petapa memakai jubah kuning, ia pun memakai jubah kuning, seewaktu mendengar petapa Sidhattha hanya makan satu kali sehari, ia pun makan hanya satu hari sehari. Demikian pula mengikuti kehidupan petapa Sidhattha, Puteri Yasodhara tidak lagi tidur di dipan yang tinggi dan mewah, tidak lagi memakai untaian bunga dan wewangian.

Setelah ditabhiskan oleh YA Sariputta, Rahula kini harus mengikuti peraturan yang berlaku. Sebagai anak Rahula tidak dapat memanggil ayah atau selalu berdekatan degnan Sang Buddha. Ia mungkin merupakan kesedihan baginya karena ia tidak dapat memperlakukan ayahnya sebagai seorang ayah sehingga mendorongnya untuk melakukan kenakalan-kenakalan kecil. Contohnya, suatu kali ia menunjukkan arah yang salah kepada umat yang datang ke vihara dan bertanya dimana dapat bertemu dengan Sang Buddha. Hal ini terdengar oleh Sang Buddha yang segera menuju ke kuti Rahula.

Rahula merasa bahagia ketika melihat Ayahnya datang menghampirinya. sang Buddha lalu meminta Rahula untukmenyiapkan sebaskom air. Setelah Rahula membasuh kaki Sang Buddha, Sang Buddha bertanya, "Rahula, dapatkah kamu minum air ini?" Rahula menjawab, "Tidak, tadi air ini bersih, tetapi sekarang sesudah dipakai membasuh kaki, air menjadi terlalu kotor untuk diminum".



Sang Buddha lalu menyuruh Rahula membuang air itu dan kembali dengan baskom yang sudah kosong lalu Sang Buddha berkata, "Rahula, dapakah kamu menaruh masakan kedalam baskom ini?" Rahulua menjawah, "Tidak, saya tidak dapat menaruh makanan di baskom karena bekas tempat air kotor".

Mendengar jawaban Rahulu Sang Buddha berkata, "Seseorang yang mengetahui bahwa kebohongan adalah perbuatan buruk, tetapi berbohong terus menerus dengan menyakiti orang lain adalah seperti air yang kotor atau sebuah baskom yang sudah kotor. Kejahatan mulai dengan berbohong yang akan mengundang kejahatan lain pada dirinya sendiri. dan penderitaan yang disebabkan oleh kebohongan tidak akan dapat dielakkan oleh sipembuat kebohongan."

Dengan kata-kata yang disampaikan oleh sang Buddha, sejak itu Rahula dengan amat rajin mematuhi semua peraturan Sangha dan menjadi seorang bhikkhu yang terkemuka dalam melaksanakan perbuatan baik. Banyak orang memandang Rahula dengan penuh simpati, meskipun terlahir dan dididik sebagai Pangeran, ia dapat melepaskan semua hak-hak istimewanya dan pada usia demikian muda dapat menjalani kehidupan suci dengan begitu baik. Namun ada pula anggota Sangha yang memperlakukannya dengan tidak ramah, dan beberapa orang bhikkhu iri hati kepadanya. Menerima perlakuan yang tidak menyenangkan itu merupakan ujian berat baginya.

Pada suatu ketika, ketika YA Sariputta dan Rahula sedang berpindapata di Rajagaha, seorang perusuh melempar pasir ke mangkuk YA Sariputta, dan memukul Rahula. YA S ariputta mengingatkan Rahula, "Rahula, engkau adalah siswa Sang Buddha. Perlakuan apapun yang kamu terima, tidak boleh menyebabkan kemarahan masuk ke dalam hatimu. Kamu harus selalu berbelas kasihan kepada semua makhluk. Orang yang paling berani, orang yang mencari penerangan, membua kesombongan dan memiliki keteguhan hati untuk mengatasi kemarahan". Rahula tersenyum dan terus berjalan sampai menemui sebuah sungai dan membersihkan kotoran dari tubuhnya.

Rahula tidak pernah membenci nasehat yang diberikan kepadanya. Setiap bangun pagi ia mengambil segenggam pasir dan bertekad. "Semoga hari ini saya mendapat nasehat sebanyak pasir ini". Semangatnya dapat terlihat dari kenyataan bahwa ia melaksanakan latihan-latihan yang sangat sulit dan keras, dengan cara untuk tidak terbaring melainkan duduk dalam posisi meditasi untuk tidur selama masa dua belas tahun.

pada usia dua puluh tahun, Rahula ditabhiskan menjadi bhikkhu dengan pembimbing (upajjhaya) YA Saripputta dan guru penabhisan resmi YA Moggallana. Selama kurang lebih satu masa latihan musim hujan Rahula melatih diri dengan sungguh-sungguh. Ketika itu Sang Buddha yang mengetahui bahwa pikiran Rahula sudah matang, membawanya ke hutan Ananda, dan mengajarkan ajaran yang dikenal seabgai Nasihat kecil untuk Rahula (Cullarahulavada Sutta, Majjhima Nikaya). Rahula merasakan kegembiraan setelah mendengar sabda Sang Buddha dan hatinya terbebaskan dari kekotoranbatin (asava) dan beliau mencapai tingkat kesucian tertinggi yaitu arahat.

Pada suatu kali delapan tahun setelah mencapai tingkat Arahat, terdapat para bhikkhu yang datang memakai tempat tidur ya Rahula. Karena tidak menemukan tempat untuk istirahat, YA Rahula tidur diruang erbuka di depan tempat Sang Buddha. YA Rahula mencapai Parinibbana (wafat) setelah wafatnya Sang Buddha, diperkirakan pada usia lima puluh tahun. Dibangun sebuah stupa untuk menyimpan peninggalan beliau.

Kisah Sivali Thera


Putri Suppavasa, dari Kundakoliya sedang hamil selama tujuh tahun dan kemudian selama tujuh hari ia mengalami kesakitan pada saat melahirkan anaknya. Ia terus merenungkan sifat-sifat khusus Sang Buddha, Dhamma dan Sangha. Ia menyuruh suaminya pergi menemui Sang Buddha untuk memberikan penghormatan dengan membungkukkan badan demi kepentingannya dan untuk memberitahu Beliau tentang keadaannya.

Ketika diberitahu mengenai keadaan putri tersebut, Sang Buddha berkata, "Semoga Suppavasa bebas dari bahaya dan penderitaan; semoga ia melahirkan anak yang sehat dan mulia dengan selamat." Ketika kata-kata ini sedang diucapkan, Suppavasa melahirkan anak di rumahnya. Pada hari itu juga, segera setelah kelahiran anak tersebut, Sang Buddha beserta beberapa bhikkhu diundangan untuk datang ke rumahnya. Dana makanan diberikan di sana dan bayi yang baru saja lahir memberikan air sudah disaring kepada Sang Buddha dan para bhikkhu.

Untuk merayakan kelahiran bayi tersebut, orang tuanya mengundang Sang Buddha dan para bhikkhu ke rumah mereka untuk memberikan dana makanan selama tujuh hari.

Ketika anaknya tumbuh dewasa, ia diterima dalam pasamuan dan sebagai bhikkhu ia dikenal dengan nama Sivali. Ia mencapai tingkat kesucian arahat segera setelah kepalanya dicukur. Kemudian, ia menjadi terkenal sebagai seorang bhikkhu yang dengan mudah selalu menerima pemberian berjumlah besar. Sebagai bhikkhu penerima dana, ia tidak terbandingkan.

Pada suatu kesempatan, para bhikkhu bertanya kepada Sang Buddha, mengapa Sivali, dengan memiliki bekal menjadi seorang arahat, dilahirkan di dalam rahim ibunya selama tujuh tahun.

Kepada mereka Sang Buddha menjawab, "Para bhikkhu! Dalam salah satu kelahirannya yang terdahulu, Sivali adalah anak dari raja yang kehilangan kerajaannya karena direbut oleh raja lain. Dalam usahanya untuk memperoleh kembali kerajaan mereka, ia (Sivali) telah mengepung kota kerajaan atas nasihat ibunya. Sebagai akibat, orang-orang di dalam kota itu kehabisan makanan dan air selama tujuh hari. Karena perbuatan jahat itulah, maka Sivali terkurung dalam rahim ibunya selama tujuh tahun. Tetapi sekarang, Sivali telah sampai pada akhir dari semua dukkha/penderitaan; ia telah merealisasi nibbana."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 414 berikut :

Orang yang telah menyeberangi lautan kehidupan (samsara) yang kotor, berbahaya dan bersifat maya;
yang telah menyeberang dan mencapai 'Pantai Seberang' (nibbana);
yang selalu bersemadi, tenang, dan bebas dari keragu-raguan;
yang tidak terikat pada sesuatu apa pun dan telah mencapai nibbana,
maka ia Kusebut seorang 'brahmana' 

Sumber: http://bluelotus4happiness.blogspot.com/2009/12/siswa-siswa-sang-buddha.html

0 comments:

Post a Comment