Mãrãtireka mabhiyujjhita sabbarattim
Gorampanãlavaka makkhamathaddha yakkham
Khanti sudhanta vidhinã jitavã munindo
Tan tejasã bhavatu te jayamangalãni
Lebih dari Mara yang membuat onar sepanjang malam
Adalah Yakkha Alavaka yang menakutkan, bengis dan congkak
Raja para Bijaksana menaklukkannya, menjinakkan dengan kesabaran
Dengan kekuatan ini semoga engkau mendapat kemenangan sempurna.
Sudah menjadi kebiasaan Raja Alava, ketika sedang
mempersiapkan diri untuk menghadapi peperangan yang melelahkan,
ia selalu menghibur diri dengan pergi berburu ke hutan selama
tujuh hari tanpa henti. Pada saat itu, ketika sedang
mengepung binatang buruannya di sebuah hutan, raja
memerintahkan kepada para pengawalnya, untuk menjaga
agar tidak seekor binatang pun yang dapat meloloskan
diri. Namun seekor rusa dapat menerobos penghalang
yang berada di dekat raja. Raja mengejar rusa itu
seorang diri, sesudah mengejar rusa itu cukup jauh, akhirnya
ia dapat membunuh rusa itu. Ia memang tidak membutuhkan daging
rusa itu tetapi untuk menunjukkan kehebatannya di
hadapan para pengawalnya, ia memotong rusa itu
menjadi dua bagian. Lalu ia mengikatkannya pada
sepotong kayu. Raja lalu berjalan kembali ke tempat
ia telah meninggalkan para pengawalnya.
Dalam perjalanan kembali ke tempat para pengawal
yang menunggunya, raja tiba di bawah sebuah pohon
Banyan [2], di perempatan sebuah jalan. Karena ia amat lelah,
maka ia berhenti sejenak untuk beristirahat di bawah pohon
tersebut. Pohon Banyan ini adalah tempat kediaman
Yakkha Alavaka (raksasa) yang mempunyai kebiasaan
untuk membunuh orang-orang yang mendekati pohon
tersebut.
Yakkha Alavaka menangkap raja yang sedang berteduh
di bawah pohon itu. Raja amat ketakutan dan berjanji
apabila Yakkha Alavaka tidak membunuh dan melepaskannya, maka
ia akan mempersembahkan korban sebagai pengganti dirinya,
seorang manusia dan sepiring nasi setiap hari.
Tetapi Yakkha Alavaka menjawab :
“Kalau kamu kembali ke istana, kamu pasti akan melupakan janjimu ini. Saya hanya dapat menangkap orang-orang yang mendekati pohon ini, oleh karena itu saya tidak akan melepaskanmu.”
“Kalau kamu kembali ke istana, kamu pasti akan melupakan janjimu ini. Saya hanya dapat menangkap orang-orang yang mendekati pohon ini, oleh karena itu saya tidak akan melepaskanmu.”
Raja berkata dengan amat ketakutan, bahwa apabila
suatu hari ia ingkar janji, Yakkha Alavaka dapat
mendatangi istana untuk mengambil korbannya. Setelah menerima
janji dari raja ini, Yakkha Alavaka lalu melepaskan raja untuk
kembali pulang ke istana.
Setibanya di istana, raja memanggil walikota dan
menceritakan apa yang telah terjadi. Walikota bertanya
kepada raja; apakah ketika berjanji kepada Yakkha Alavaka, raja
menyebutkan kapan berakhirnya persembahan korban itu. Raja
mengatakan, ia tidak menyebutkannya. Walikota
menyesali karena raja telah melakukan suatu kesalahan
besar, namun ia berjanji untuk mengatasi bencana
ini, tanpa menyusahkan raja.
Kemudian walikota pergi ke penjara, dan berkata
bahwa narapidana yang telah dijatuhi hukuman mati
karena membunuh, akan dibebaskan apabila mereka membawa sepiring
nasi dan mempersembahkannya di bawah pohon Banyan. Para
pembunuh menyambut gembira usul ini, tetapi ketika
mereka mendekati pohon Banyan tersebut, mereka
ditangkap dan dibunuh oleh Yakkha Alavaka. Setelah
narapidana sudah habis, perintah ini dialihkan kepada
para pencuri dan merekapun dibunuh oleh Yakkha Alavaka, sehingga
penjara akhirnya kosong.
Lalu perintah ini diteruskan kepada orang yang
tidak bersalah, yang dituduh melakukan kesalahan yang tidak
mereka lalukan. Karena cara ini akhinya tidak berhasil, perintah
ini lalu dialihkan kepada orang-orang yang berusia
lanjut. Orang-orang tua ini diambil dari rumah lalu
dibawa ke pohon Banyan tersebut. Raja lalu
memberitahukan kepada walikota bahwa rakyat mengeluh
karena kakek nenek mereka diambil dari rumah mereka. Raja lalu
memerintahkan cara lain untuk memenuhi janjinya kepada Yakkha
Alvaka. Walikota lalu berkata apabila ia tidak
diijinkan untuk mengorbankan orang-orang berusia
lanjut, ia harus mengorbankan bayi-bayi. Ketika
penduduk mengetahui hal ini, sebagian dari mereka
terutama ibu-ibu yang mempunyai bayi ataupun yang sedang
hamil pindah ke negara lain.
Kejadian ini berlangsung selama dua belas tahun
lamanya. Sehingga tidak ada lagi anak kecil yang
tersisa, kecuali putera raja sendiri. Karena tidak ada
jalan lain, maka raja dengan terpaksa merelakan puteranya sendiri
untuk dipersembahkan kepada Yakkha Alavaka. Ratu dan
selir-selir raja menangis tersedu-sedu, ketika raja
memerintahkan agar membawa puteranya untuk
dipersembahkan kepada Yakkha Alavaka.
Di pagi hari yang sama, Sang Buddha ketika itu
sedang bersemayam di Vihara Jetavana. Beliau melihat dengan
Mata BuddhaNya, bahwa Pangeran Alava mempunyai karma baik, ia
dapat mencapai Tingkat Kesucian Anagami [3]. Demikian
pula Yakkha Alavaka, ia masih mempunyai karma baik
karena ia dapat mencapai Tingkat Kesucian Sotapanna
[4]. Kemudian Sang Buddha membawa mangkuk pindapatta
dan meninggalkan Vihata Jetavana menuju ke pintu
kediaman Yakkha Alavaka.
Penjaga pintu memperingatkan Sang Buddha, untuk
jangan mendekat karena berbahaya. Majikannya sangat kejam,
bahkan kepada orang tuanya sendiri dia tidak pernah menaruh
hormat. Sang Buddha berkata, bahwa tidak akan terjadi
apapun terhadap diriNya, asalkan Beliau diijinkan
untuk menetap semalam di tempat itu. Penjaga pintu
kemudian mengatakan bahwa majikannya akan mencabut
jantung siapapun yang datang mendekat dan akan
mengoyak tubuh korbannya menjadi dua bagian. Sang Buddha tetap
mendesak untuk tinggal di sana satu malam. Akhirnya penjaga
itu berkata ia akan meminta ijin dahulu kepada
majikannya di Hutan Himala.
Setelah penjaga itu pergi, Sang Buddha lalu
memasuki tempat tinggal Yakkha Alavaka dan duduk di
singgasana, tempat yang biasa diduduki oleh Yakkha Alavaka.
Para selir dari istana datang dan memberi hormatnya kepada Sang
Buddha. Sang Guru lalu membabarkan Dhamma kepada
mereka, mengajarkan untuk mengasihi semua mahluk dan
tidak menyakiti siapapun. Setelah mendengarkan Dhamma
mereka mengucapkan “Sadhu”.
Ketika gandrabbha atau pengawal memberitahukan
kepada Yakkha Alavaka bahwa Sang Buddha sedang berada
di tempat kediamannya, ia sangat marah dan berkata dengan
suara keras; bahwa Bhikkhu Gotama akan sangat menderita karena
telah memasuki tempat tinggalnya.
Ketika itu para Yakkha yaitu Satagira dan Hemavata
bersama para pengikutnya sedang dalam perjalanan menuju
ke suatu pertemuan. Para Yakkha ketika terbang di angkasa harus
menghindari jalur yang biasa dilewati para Dewa. Tempat
tinggal Yakkha Alavaka dikelilingi pagar besi dan di
atasnya dilindungi jala emas. Kedua Yakkha tersebut
harus melintasi tempat ini dari dekat, dan karena
para Yakkha tidak diperkenankan untuk mendekati Sang
Buddha (kecuali untuk memberi penghormatan kepada
Beliau), mereka tertangkap dan ketika ingin mencari penyebabnya,
mereka menemukan Sang Guru Agung sedang duduk di tahta
Yakkha Alavaka, keduanya lalu menghampiri dan
menghormati Beliau.
Setelah itu mereka pergi ke Hutan Himalaya. Pada
saat itu, mereka bertemu dengan Yakkha Alavaka dan
memberitahukan bahwa suatu kejadian yang menguntungkan telah
terjadi padanya. Karena Sang Buddha sedang berada di tempat
kediamannya, dan dia harus pergi untuk menyambut Beliau.
Mendengar hal ini, Yakkha Alavaka menjadi gelisah dan
bertanya :
“Siapakah Sang Buddha ini yang telah berani memasuki tempat tinggalku?”
“Siapakah Sang Buddha ini yang telah berani memasuki tempat tinggalku?”
Kedua Yakkha menjawab :
“Apakah kamu tidak mengenal Sang Buddha, Penguasa ke Tiga Alam [5]?”
“Apakah kamu tidak mengenal Sang Buddha, Penguasa ke Tiga Alam [5]?”
Yakkha Alavaka berkata bahwa siapapun Beliau, ia akan mengusirnya dari tempat kediamannya.
Kemudian kedua temannya itu berkata :
“Yakkha Alavaka, kamu hanyalah bagaikan seekor anak kerbau yang baru lahir di dekat seekor kerbau dewasa. Bagaikan gajah kecil di dekat raja pemimpin suku. Bagaikan seekor serigala tua di dekat seekor singa yang perkasa. Apa yang dapat kamu perbuat?”
“Yakkha Alavaka, kamu hanyalah bagaikan seekor anak kerbau yang baru lahir di dekat seekor kerbau dewasa. Bagaikan gajah kecil di dekat raja pemimpin suku. Bagaikan seekor serigala tua di dekat seekor singa yang perkasa. Apa yang dapat kamu perbuat?”
Yakkha Alavaka berdiri dari tempat duduknya dengan
penuh kemarahan, ia lalu menaruh kakinya di puncak Gunung
Ratgal, ia tampak seperti kobaran api dan berkata: “Sekarang
kita lihat, siapakan yang lebih kuat.”
Yakkha Alavaka dengan penuh kemarahan menendang
Gunung Kailasa, yang menimbulkan percikan api seperti besi panas
yang dipukul dengan palu. Sekali lagi ia berteriak dengan
kerasnya : “Saya adalah Yakkha Alavaka ………!” Dan
suaranya menggema ke seluruh Jambudwipa (India).
Tanpa menunda lagi, Yakkha Alavaka pergi ke tempat
kediamannya dan berusaha keras untuk mengusir Sang
Buddha. Ia menciptakan badai hebat yang didatangkan dari
empat penjuru, yang dapat menumbangkan pohon dan bukit karang
berukuran besar. Tetapi dengan kekuatan cinta kasih Sang
Buddha, semua itu tidak dapat melukai Beliau. Setelah
itu terjadi hujan lebat, hujan senjata, hujan pasir,
arang, abu dan kegelapan. Namun tidak ada satupun
yang dapat melukai Sang Buddha. Kemudian Yakkha
Alavaka mengubah wujudnya menjadi mahluk yang sangat
menyeramkan, namun Sang Buddha tidak menghentikannya dan membiarkan
Yakkha Alavaka melakukannya sepanjang malam, sehingga ia
menjadi amat lelah.
Kemudian ia melemparkan senjatanya yang amat
sakti, namun tidak berhasil juga. Ketika itu para
Dewa mulai berkumpul untuk menyaksikan pertandingan ini. Yakkha
Alavaka sangat heran menyaksikan senjata andalannya tidak
berdaya, dan mencari penyebabnya. Ia menemukan bahwa
semua itu adalah karena cinta kasih dan kasih sayang
Sang Buddha yang amat besar. Cinta kasih hanya dapat
ditaklukkan dengan cinta kasih, bukan dengan
kemarahan.
Kemudian Yakkha Alavaka meminta dengan lemah
lembut kepada Sang Buddha untuk meninggalkan tempat kediamannya
dan Sang Buddha yang telah mengetahui bahwa kemarahannya
telah ditaklukkan dengan kelembutan. Beliau berdiri
dan meninggalkan tempat tersebut. Melihat hal ini,
Yakkha Alavaka berpikir :
“Saya telah menentang Pertapa ini sepanjang malam dengan tanpa membawa hasil, dan sekarang hanya dengan satu kata Beliau meninggalkan tempat ini.”
“Saya telah menentang Pertapa ini sepanjang malam dengan tanpa membawa hasil, dan sekarang hanya dengan satu kata Beliau meninggalkan tempat ini.”
Melihat hal ini hatinya menjadi lembut. Namun
demikian ia berpikir, akan lebih baik lagi apabila ia mengetahui
apakah Sang Buddha pergi karena kemarahan atau
ketidakpatuhan, ia lalu memanggil Beliau :
“Yang Mulia, silakan masuk,” kata Yakkha Alavaka. Sang Buddha lalu masuk menghampirinya. Tiga kali hal tersebut diulangi, namun ketika Yakkha Alavaka berkata untuk yang keempat kalinya, supaya Sang Buddha meninggalkan kediamannya, Sang Buddha menolak dan menanyakan apa yang dapat Beliau lakukan untuknya.
“Yang Mulia, silakan masuk,” kata Yakkha Alavaka. Sang Buddha lalu masuk menghampirinya. Tiga kali hal tersebut diulangi, namun ketika Yakkha Alavaka berkata untuk yang keempat kalinya, supaya Sang Buddha meninggalkan kediamannya, Sang Buddha menolak dan menanyakan apa yang dapat Beliau lakukan untuknya.
“Baiklah Yang Mulia, saya akan mengajukan sebuah pertanyaan,” kata Yakkha Alavaka.
Sudah menjadi kebiasaan Yakkha Alavaka untuk
menangkap para pertapa dan bhikkhu yang datang ke tempat kediamannya
dan bertanya kepada mereka, jadi ia berpikir ia akan
melakukan hal yang sama terhadap Sang Buddha.
Lalu ia berkata :
“Apabila Anda tidak mau menjawab pertanyaan saya, saya akan mengacaukan pikiran Anda, atau membelah jantung Anda, atau memegang kedua kaki dan melemparkan Anda ke seberang Sungai Gangga.”
“Apabila Anda tidak mau menjawab pertanyaan saya, saya akan mengacaukan pikiran Anda, atau membelah jantung Anda, atau memegang kedua kaki dan melemparkan Anda ke seberang Sungai Gangga.”
Sang Buddha menjawab :
“Tidak saudara, Saya melihat tidak ada satupun mahluk di dunia ini maupun di alam dewa, di alam Brahma, para pertapa, brahmana, para dewa dan manusia yang dapat mengacaukan pikiran Saya, membelah jantung ataupun memegang ke dua kaki dan melemparkan Saya ke seberang Sungai Gangga. Tetapi saudara, tanyakanlah yang ingin kamu ketahui.”
“Tidak saudara, Saya melihat tidak ada satupun mahluk di dunia ini maupun di alam dewa, di alam Brahma, para pertapa, brahmana, para dewa dan manusia yang dapat mengacaukan pikiran Saya, membelah jantung ataupun memegang ke dua kaki dan melemparkan Saya ke seberang Sungai Gangga. Tetapi saudara, tanyakanlah yang ingin kamu ketahui.”
Yakkha Alavaka kemudian menanyakan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :
“Apakah milik manusia yang paling berharga?
Praktek apakah yang membawa kebahagiaan?
Apakah yang paling manis dari semua rasa?
Bagaimana cara yang terbaik dalam menjalani kehidupan ini?”
“Apakah milik manusia yang paling berharga?
Praktek apakah yang membawa kebahagiaan?
Apakah yang paling manis dari semua rasa?
Bagaimana cara yang terbaik dalam menjalani kehidupan ini?”
Sang Buddha menjawab:
“Keyakinan adalah milik manusia yang paling berharga.
Dhamma yang dipraktekkan dengan benar akan menghasilkan kebahagiaan.
Kebenaran adalah yang termanis dari semua rasa.
Kehidupan yang dijalani dengan pengertian adalah yang terbaik.”
“Keyakinan adalah milik manusia yang paling berharga.
Dhamma yang dipraktekkan dengan benar akan menghasilkan kebahagiaan.
Kebenaran adalah yang termanis dari semua rasa.
Kehidupan yang dijalani dengan pengertian adalah yang terbaik.”
Kemudian Yakkha Alavaka bertanya lagi :
“Bagaimanakah seseorang menyeberangi arus?
Bagaimanakah seseorang menyeberangi laut?
Bagaimanakah seseorang mengatasi penderitaan?
Bagaimanakah seseorang disucikan?”
“Bagaimanakah seseorang menyeberangi arus?
Bagaimanakah seseorang menyeberangi laut?
Bagaimanakah seseorang mengatasi penderitaan?
Bagaimanakah seseorang disucikan?”
Yang Maha Sempurna menjawab :
“Dengan keyakinan seseorang menyeberangi arus.
Dengan perhatian benar seseorang menyeberangi laut.
Dengan usaha seseorang mengatasi penderitaan.
Dengan kebijaksanaan seseorang disucikan.
“Dengan keyakinan seseorang menyeberangi arus.
Dengan perhatian benar seseorang menyeberangi laut.
Dengan usaha seseorang mengatasi penderitaan.
Dengan kebijaksanaan seseorang disucikan.
Yakkha Alavaka bertanya kembali :
“Bagaimanakah kebijaksanaan diperoleh?
Bagaimanakah kekayaan didapatkan?
Bagaimanakah ketenaran diperoleh?
Bagaimanakah mempererat persahabatan?
Ketika meninggalkan dunia ini menuju ke dunia lain, bagaimana agar orang tidak bersedih?”
“Bagaimanakah kebijaksanaan diperoleh?
Bagaimanakah kekayaan didapatkan?
Bagaimanakah ketenaran diperoleh?
Bagaimanakah mempererat persahabatan?
Ketika meninggalkan dunia ini menuju ke dunia lain, bagaimana agar orang tidak bersedih?”
Sang Guru Agung menjawab :
“Orang yang memiliki keyakinan, perhatian dan pandai memperoleh kebijaksanaan dengan mendengarkan Dhamma dari Para Suci, Yang membimbing ke Nibbana. Dia yang melaksanakan apa yang pantas dilaksanakan, tidak tergoyahkan dan giat berusaha, memperoleh kekayaan. Dengan kebenaran seseorang memperoleh ketenaran. Kedermawanan mempererat persahabatan. Perumah tangga setia yang memiliki keempat kebajikan ini : kejujuran, moral yang baik, semangat dan kedermawanan, tidak akan menderita setelah meninggal dunia. Tanyakanlah kepada para pertapa dan brahmana yang lain, apakah ada yang lebih hebat dari pada kejujuran, pengendalian diri, kedermawanan dan kesabaran.”
“Orang yang memiliki keyakinan, perhatian dan pandai memperoleh kebijaksanaan dengan mendengarkan Dhamma dari Para Suci, Yang membimbing ke Nibbana. Dia yang melaksanakan apa yang pantas dilaksanakan, tidak tergoyahkan dan giat berusaha, memperoleh kekayaan. Dengan kebenaran seseorang memperoleh ketenaran. Kedermawanan mempererat persahabatan. Perumah tangga setia yang memiliki keempat kebajikan ini : kejujuran, moral yang baik, semangat dan kedermawanan, tidak akan menderita setelah meninggal dunia. Tanyakanlah kepada para pertapa dan brahmana yang lain, apakah ada yang lebih hebat dari pada kejujuran, pengendalian diri, kedermawanan dan kesabaran.”
Setelah mengerti dengan baik maksud dari sabda Sang Buddha, Yakkha Alavaka berkata :
“Yang Mulia, bagaimana saya dapat bertanya kepada para pertapa dan brahmana yang lain? Hari ini saya telah mengetahui rahasia dari kebahagiaan saya di masa yang akan datang. Untuk kebaikan saya sendiri, Sang Tathagata telah datang ke Avali. Hari ini telah saya ketahui di mana timbunan jasa yang menghasilkan buah yang berlimpah. Dari desa ke desa, dari kota ke kota, saya akan mengembara memberikan penghormatan kepada yang Maha Sempurna dan kepada Dhamma Yang Mulia.”
“Yang Mulia, bagaimana saya dapat bertanya kepada para pertapa dan brahmana yang lain? Hari ini saya telah mengetahui rahasia dari kebahagiaan saya di masa yang akan datang. Untuk kebaikan saya sendiri, Sang Tathagata telah datang ke Avali. Hari ini telah saya ketahui di mana timbunan jasa yang menghasilkan buah yang berlimpah. Dari desa ke desa, dari kota ke kota, saya akan mengembara memberikan penghormatan kepada yang Maha Sempurna dan kepada Dhamma Yang Mulia.”
Pada saat Yakkha Alavaka mengucapkan hal ini,
Pangeran Alava sedang diantarkan ke tempat kediamannya. Ketika
para pengawal mendengarkan kata “Sadhu”, mereka mengetahui
bahwa kata ini tidak pernah diucapkan kecuali di hadapan
Sang Buddha, oleh karena itu mereka mendekat tanpa
rasa takut. Ketika memasuki tempat kediaman Yakkha
Alavaka, mereka melihat Yakkha Alavaka sedang
bernamaskara, menghormat kepada Sang Buddha. Para
pengawal mengatakan bahwa hari ini mereka datang untuk
membawa Pangeran Alava yang akan dipersembahkan sebagai korban
kepada Yakkha Alavaka, ia dapat memakan dagingnya dan
meminum darahnya atau melakukan apa saja yang
diinginkannya. Yakkha Alavaka merasa amat malu
mendengar pernyataan ini, ia lalu mempersembahkan
Pangeran kepada Sang Buddha.
Sang Guru Agung memberkati Pangeran Alava dan
menyerahkannya kembali kepada para pengawal yang menyambutnya
dengan sukacita. Sejak saat itu Pangeran Alava diberi nama
Hatthalavaka.
Penduduk desa amat ketakutan ketika melihat
Pangeran Alava dibawa pulang kembali ke istana. Ketika
mereka mendengar apa yang telah terjadi, mereka serentak berseru
:
“Sadhu, Sadhu, Sadhu.”
“Sadhu, Sadhu, Sadhu.”
Kemudian Sang Buddha meninggalkan tempat kediaman
Yakkha Alavaka, pergi ke desa untuk berpindapatta. Setelah Sang
Buddha selesai bersantap, Beliau duduk di bawah pohon. Raja
dan para penduduk berduyun-duyun menemui dan
memberikan hormatnya dengan bernamaskara. Sang Guru
Agung menjelaskan kepada mereka tentang Alava Sutta,
yang menyebabkan ribuan di antara mereka mencapai
Tingkat Kesucian.
Ketika Pangeran Alava dewasa, ayahnya
memberitahukan bahwa ia diselamatkan dari kematian oleh
Sang Buddha, maka ia harus pergi menemui, memberikan hormat
dan melayani Beliau. Pangeran melakukan apa yang dikatakan
oleh ayahnya dan bersama dengan lima ratus orang
pengikutnya mencapai tingkat kesucian.
Keterangan :
- Yakkha : Raksasa
- Pohon Banyan : Sejenis pohon beringin
- Anagami : Orang suci tingkat ketiga yang tidak akan terlahir kembali.
- Sotapanna : Prang suci tingkat pertama yang akan terlahir kembali tidak lebih dari tujuh kali.
- Tiga Alam :
- Alam Bahagia atau Alam Surga
- Alam Manusia
- Alam Menderita
0 comments:
Post a Comment