Ukkhitta khagga matihattha sudãrunantam
Dhãvantiyo janapathan gulimãla vantam
Uddhibhisankhatamano jitavã munindo
Tan tejasã bhavatu te jayamangalãni
Sangat kejam dengan pedang terhunus dalam tangan yang kokoh kuat
Angulimala berlari mengejar sepanjang jalan tiga yojana dengan berkalung untaian jari
Raja Para Bijaksana menaklukkannya dengan kesaktian
Dengan kekuatan ini semoga engkau mendapat kemenangan sempurna.
Istri kepala penasehat (Purohita Brahmana) Raja
Pasenadi Kosala yang bernama Mantani, melahirkan
seorang anak laki-laki. Pada saat kelahirannya, semua senjata
di dalam kota berkilau mengeluarkan cahaya yang terang
benderang. Kejadian ini menyebabkan ayahnya bertanya
kepada ahli perbintangan, mereka meramalkan bahwa
anak tersebut di kemudian hari akan menjadi perampok.
Keesokan harinya, ketika ia mengunjungi istana, sang
ayah bertanya kepada Raja Pasenadi, apakah tadi malam Raja
dapat tidur nyenyak. Raja menjawab, tadi malam ia tidak dapat
tidur dengan nyenyak karena melihat semua senjata di
dalam gudang berkilauan. Hal ini menandakan adanya
bahaya yang akan menimpa Raja sendiri atau
kerajaannya. Brahmana tersebut lalu menyampaikan
kepada Raja, bahwa semalam istrinya telah melahirkan seorang
anak laki-laki. Pada saat kelahirannya, tidak hanya pedang
kerajaan, semua senjata yang ada di seluruh kota
berkilauan, yang menandakan bahwa anaknya kelak akan
menjadi perampok.
Brahmana tersebut bertanya kepada Raja, apakah
Raja menghendaki agar ia membunuh anaknya yang baru lahir itu.
Raja lalu bertanya, apakah anak tersebut kelak akan menjadi
kepala perampok ataukah menjadi perampok tunggal. Ia
menjawab bahwa anak tersebut akan menjadi perampok
tunggal.
Raja tidak terlalu khawatir, karena beliau
beranggapan bahwa kerajaannya tidak akan dapat dikacaukan hanya
oleh seorang perampok. Jadi beliau membiarkan anak tersebut
hidup dan tumbuh menjadi dewasa.
Anak itu diberi nama Ahimsaka, yang berarti tidak
melukai siapapun (=tanpa kekerasan). Anak itu diberi nama
demikian karena ia berasal dari keluarga yang tidak pernah dinodai
dengan kejahatan dan juga karena sifat anak itu
sendiri.
Ketika Ahimsaka dewasa, ia disekolahkan di Taxila,
suatu pusat pendidikan yang terkenal pada masa lampau.
Ahimsaka amat pandai, dapat melampaui murid-murid yang lain
dan menjadi murid yang paling menonjol, dan ia amat disayang
oleh gurunya.
Teman-temannya menjadi iri kepadanya. Mereka
berusaha mencari kesalahan agar Ahimsaka dapat dihukum.
Mereka tidak dapat mencela kemampuan maupun reputasi baik keluarga
Ahimsaka.
Mereka lalu memfitnah bahwa Ahimsaka telah
melakukan hal yang tidak pantas dengan istri gurunya. Mereka
lalu membagi kelompoknya menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama
memberitahukan kepada guru mereka tentang kesalahan
Ahimsaka, kelompok kedua dan ketiga membenarkan apa
yang dikatakan oleh kelompok yang pertama. Ketika
guru mereka tidak mempercayai apa yang mereka
katakan, mereka mengusulkan supaya guru mereka
membuktikannya sendiri.
Guru Ahimsaka kemudian melihat istrinya berbicara
dengan ramah kepada Ahimsaka, hal ini menambah kecurigaannya,
sehingga ia merencanakan untuk melenyapkan Ahimsaka. Sebagai
orang terpelajar, di dalam usahanya untuk melenyapkan
Ahimsaka, ia tidak melakukannya secara terbuka,
karena ia takut tidak ada lagi murid yang mau berguru
kepadanya.
Oleh karena itu ia berkata kepada Ahimsaka :
“Muridku, saya tidak sanggup lagi mengajarmu lebih lanjut, kecuali kamu dapat mengumpulkan seribu buah jari tangan kanan manusia sebagai biaya pendidikanmu.”
“Muridku, saya tidak sanggup lagi mengajarmu lebih lanjut, kecuali kamu dapat mengumpulkan seribu buah jari tangan kanan manusia sebagai biaya pendidikanmu.”
Guru Ahimsaka mengira bahwa Ahimsaka tidak akan
pernah berhasil melaksanakan keinginannya. Dan di dalam
usahanya untuk mengumpulkan jari manusia, ia pasti akan tertangkap
oleh pengawal raja.
Ahimsaka menjawab, bahwa di dalam keluarga mereka
tidak mempunyai kebiasaan untuk melakukan kejahatan
kepada orang lain. Berulang-ulang Ahimsaka memohon kepada gurunya,
agar ia dapat membayar biaya pendidikannya dengan cara
yang lain, tetapi gurunya tetap pada pendiriannya.
Apabila ia menolak melaksanakannya, ia akan mendapat
kutukan. Karena ia mempunyai keinginan yang kuat
untuk belajar dan tidak ada jalan lain lagi untuk
melanjutkan pendidikannya, ia lalu mempersenjatai dirinya
dan masuk ke hutan Jalini di Kosala, yang merupakan pertemuan
dari delapan jalan dan mulai membunuh siapapun yang lewat
di situ untuk mengumpulkan jari tangan manusia sesuai
dengan permintaan gurunya.
Jari yang terkumpul digantungnya pada sebuah
pohon. Namun karena jari-jari tersebut selalu dihancurkan
oleh burung gagak dan burung pemakan bangkai, ia lalu membuat
untaian jari untuk memastikan jumlah jari yang telah
dikumpulkannya. Sejak itu ia dikenal dengan nama
Angulimala (=Untaian Jari).
Rakyat lalu pergi ke Savatthi, menghadap Raja
untuk memberitahukan bahwa jumlah penduduk semakin berkurang,
karena kekejaman seorang perampok yang selalu membunuh penduduk
yang lewat di hutan itu. Mereka memohon supaya Raja
mengirim pasukan untuk menangkapnya. Raja mengabulkan
permohonan rakyat dan segera memerintahkan pasukan
kerajaan untuk menyelidiki perampok tersebut.
Brahmana yang merupakan ayah Ahimsaka, berkata
kepada istrinya bahwa ia amat khawatir kalau-kalau perampok
yang kejam itu adalah anak mereka sendiri, dan bertanya apa
yang harus mereka lakukan. Istrinya lalu berkata,
sebaiknya ia cepat-cepat pergi ke hutan, sebelum
pasukan kerajaan tiba, untuk menyadarkan anaknya.
Namun brahmana itu menolak untuk pergi. Istri
brahmana itu lalu memutuskan untuk masuk ke hutan
seorang diri. Dengan kecintaan seorang ibu terhadap anaknya
yang amat besar, ia meratap dan berseru agar anaknya mau
mengikuti tradisi keluarga, berhenti melakukan
pembunuhan dan berkata bahwa pasukan raja sedang
dalam perjalanan untuk menangkapnya.
Pada waktu yang sama, Sang Buddha yang sedang
bersemayam di Vihara Jetavana melihat dengan Mata Buddha (melalui
Maha Karuna Samapatti), bahwa dari kumpulan karma baik yang
dimiliki pada kehidupannya yang lampau, Angulimala
memiliki cukup banyak kebajikan untuk menjalani
kehidupan sebagai seorang bhikkhu dan mempunyai
kemampuan untuk mencapai Tingkat Kesucian Tertinggi
yaitu menjadi Arahat pada kehidupan ini juga. Sang
Buddha juga melihat bahwa ibu Angulimala dapat terbunuh apabila
Angulimala melihatnya, karena ia sudah amat ingin melengkapi
untaian jari yang diminta oleh gurunya.
Untuk mencegah hal ini, Sang Buddha lalu mengubah
wujudNya menjadi seorang bhikkhu dan segera memasuki
hutan. Para pengembala dan petani berusaha mencegah Sang Buddha
untuk masuk ke hutan seorang diri, karena empat puluh orang
yang pergi bersama-sama pun dapat dibunuh oleh
Angulimala. Meskipun mendapat peringatan, Sang Buddha
tetap melanjutkan perjalanNya dengan berdiam diri.
Untuk kedua dan ketiga kalinya mereka berusaha
mencegah Sang Guru masuk ke hutan tersebut, namun Sang Buddha
dengan berdiam diri tetap meneruskan perjalananNya masuk ke
dalam hutan.
Pada pagi hari itu, Angulimala telah mengumpulkan
sembilan ratus sembilan puluh sembilan buah jari dan telah merencanakan
bahwa siapapun yang ditemuinya pada hari itu harus
dibunuhnya. Tetapi ia mendapat kesulitan untuk
menemukan orang yang dapat dibunuhnya, karena
orang-orang selalu berjalan dalam rombongan yang
besar dan bersenjata lengkap.
Akhirnya ia melihat seorang bhikkhu seeang
berjalan seorang diri, tanpa membawa senjata. Ia berpikir
tentu amat mudah untuk membunuhnya. Angulimala lalu membawa
pedang, tameng, anak panah beserta busurnya mengikuti Sang
Buddha dari jarak yang dekat.
Sang Buddha menunjukkan kesaktianNya, sehingga
bagaimanapun Angulimala berusaha berlari sekuat tenaga, sedangkan
Sang Buddha berjalan dengan kecepatan biasa, ia tetap tidak
dapat menyusul Sang Buddha.
Angulimala lalu berpikir, “Saya telah mengejar
gajah, kuda, kijang dan dapat mengalahkan mereka, sekarang
meskipun saya sudah berlari sekuat tenaga, dan Bhikkhu ini
berjalan dengan kecepatan biasa saja, saya tetap
tidak dapat mendekatiNya.”
Dengan terengah-engah dan berkeringat, ia
berteriak meminta Sang Buddha untuk berhenti : “Tittha
(+Berhentilah) Samana!”
Sang Buddha menjawab : “Saya sudah berhenti! Hentikan dirimu sendiri!”
Angulimala keheranan akan jawaban Sang Buddha dan bertanya : “Apa maksudMu?”
Sang Buddha menjawab :
“Saya telah bertekad untuk melimpahkan kasih sayang kepada semua mahluk, sedangkan kamu tidak mempunyai belas kasih terhadap mahluk lain. Oleh karena itu Saya sudah berhenti, sedangkan kamu belum berhenti melakukan pembunuhan.”
“Saya telah bertekad untuk melimpahkan kasih sayang kepada semua mahluk, sedangkan kamu tidak mempunyai belas kasih terhadap mahluk lain. Oleh karena itu Saya sudah berhenti, sedangkan kamu belum berhenti melakukan pembunuhan.”
Karena tumpukan karma baik Angulimala yang amat
besar pada kehidupannya yang lampau, bahwa ia diberi
tahu oleh Buddha Padumuttara, bahwa ia akan menjadi seorang
Arahat. Sebagai seorang yang mempunyai kemampuan untuk menjadi
seorang Arahat, setalah mendengar apa yang dikatakan
oleh Sang Buddha, ia mengetahui bahwa pertapa mulia
ini adalah Buddha Gotama yang karena cinta kasihNya
yang amat besar datang untuk menolongnya.
Angulimala segera melemparkan untaian jari dan
senjatanya, lalu bernamaskara di kaki Sang Buddha dan memohon
untuk ditahbiskan menjadi seorang bhikkhu. Sambil mengangkat
tanganNya, Sang Buddha berkata :
“Ehi Bhikkhu (Mari, O Bhikkhu).”
“Ehi Bhikkhu (Mari, O Bhikkhu).”
Dengan demikian Angulimala dapat menerima delapan
kebutuhan pokok seorang bhikkhu pada saat yang bersamaan
dan langsung menerima Upasampada, tanpa terlebih dahulu menjadi
seorang samanera. Dengan disertai oleh Angulimala, Sang
Buddha kembali ke Vihara Jetavana.
Sementara itu Raja Pasenadi Kosala didesak untuk
menangkap perampok Angulimala. Sudah menjadi kebiasaannya
untuk menemui Sang Buddha apabila ada kejadian genting. Setalah
Raja Pasenadi Kosala bernamaskara, lalu duduk di salah
satu sisi, Sang Buddha bertanya :
“O, Raja, ada hal apakah yang membuat anda risau?
Apakah Raja Seniya Bimbisara dari Magadha menantang anda?
Apakah para Pangeran Licchavi dari Vesali?
Atau para bangsawan sainganmu?”
“O, Raja, ada hal apakah yang membuat anda risau?
Apakah Raja Seniya Bimbisara dari Magadha menantang anda?
Apakah para Pangeran Licchavi dari Vesali?
Atau para bangsawan sainganmu?”
Raja lalu menjelaskan masalah yang sedang
dihadapinya, ia mengakui tidak dapat menangkap Angulimala si
perampok yang haus darah itu. Sang Buddha lalu bertanya :
“Apa yang akan anda lakukan kalau perampok itu memakai jubah seorang bhikkhu?”
“Apa yang akan anda lakukan kalau perampok itu memakai jubah seorang bhikkhu?”
Raja menjawab :
“Yang Mulia, saya akan menghormatinya seperti saya menghormat kepada seorang bhikkhu.”
“Yang Mulia, saya akan menghormatinya seperti saya menghormat kepada seorang bhikkhu.”
Pada saat itu Bhikkhu Angulimala sedang duduk di dekat Sang Buddha. Beliau lalu berkata kepada raja :
“O, Raja, inilah Angulimala.”
“O, Raja, inilah Angulimala.”
Raja Pasenadi Kosala menjadi ketakutan, badannya
gemetar, rambutnya berdiri. Sang Buddha lalu menenangkannya
dan berkata bahwa ia tidak perlu takut lagi, karena Angulimala
telah menjadi seorang bhikkhu. Raja lalu mendekati
Bhikkhu Angulimala dan menanyakan tentang orang
tuanya, dan menawarkan untuk memenuhi semua
kebutuhannya. Pada saat itu Bhikkhu Angulimala telah menjalani
latihan hidup di hutan, berpindapatta, memakai jubah dari kain
perca yang terdiri dari tiga bagian. Oleh karena itu
ia menolak tawaran raja, karena ia sudah tidak
memerlukannya lagi. Kemudian Raja Pasenadi Kosala
memberi hormat kepada Bhikkhu Angulimala dan
menyatakan keheranannya kepada Sang Buddha akan perubahan
yang dialami oleh Bhikkhu Angulimala. Ia lalu pulang ke istana
dengan hati yang bahagia.
Pada suatu hari, ketika Bhikkhu Angulima sedang
berpindapatta di Savatthi, Beliau melihat seorang
wanita yang sangat kesakitan karena akan melahirkan. Beliau
melihat penderitaan wanita itu, tergerak hatinya, lalu berpikir
:
“Betapa menderitanya mahluk hidup, betapa menderitanya mahluk hidup!”
“Betapa menderitanya mahluk hidup, betapa menderitanya mahluk hidup!”
Beliau yang pernah membunuh sembilan ratus
sembilan puluh sembilan orang, sekarang merasa amat kasihan
melihat seorang wanita menderita kesakitan karena akan
melahirkan. Ketika Beliau selesai berpindapatta dan
makan pagi, Beliau pergi ke vihara menemui Sang
Buddha dan menyampaikan apa yang dilihatnya. Sang
Buddha lalu meminta Bhikkhu Angulimala pergi menemui wanita
itu dan berkata :
“Saudari, sejak saat saya dilahirkan dalam Keluarga Ariya, saya tidak sadar, dengan sengaja telah membunuh mahluk hidup. Berdasarkan kebenaran ini, semoga anda selamat dan semoga anak anda selamat.”
“Saudari, sejak saat saya dilahirkan dalam Keluarga Ariya, saya tidak sadar, dengan sengaja telah membunuh mahluk hidup. Berdasarkan kebenaran ini, semoga anda selamat dan semoga anak anda selamat.”
Beliau lalu pergi menemui wanita yang akan
melahirkan bayinya. Layar penyekat diletakkan melingkari sang
ibu, Bhikkhu Angulimala duduk dan mengulang Paritta yang
diajarkan Sang Buddha. Segera saja bayi tersebut
lahir dengan mudah dan selamat. (Kemanjuran Paritta
Angulimala Sutta ini masih terbukti hingga saat ini).
Tidak lama kemudian, Bhikkhu Angulimala mencapai Tingkat Kesucian Arahat.
Pada suatu hari, ketika Yang Mulia Angulimala
sedang berpindapatta di Savatthi, Beliau dilempari bongkahan
tanah, tongkat dan batu. Kepalanya terluka, bercucuran darah
dan mangkokNya pecah. Beliau pulang kembali ke vihara
dan mendekati Sang Buddha yang sedang duduk. Sang
Buddha yang melihat keadaanNya lalu menjelaskan,
bahwa semua kejadian ini adalah akibat dari perbuatan
burukNya, yang sesungguhnya dapat membuatNya menderita
di Alam Neraka selama ribuan tahun.
Sekarang Yang Mulia Angulimala hidup menyendiri,
menikmati Kebahagiaan dari Kebebasan, mengucapkan pernyataan-pernyataan
Kebijaksanaan, meninggal dunia dan mencapai Nibbana.
Para bhikkhu membicarakan tempat kelahiran kembali
dari Yang Mulia Angulimala, Sang Buddha memberitahu
mereka, bahwa Beliau telah mencapai Nibbana. Para bhikkhu keheranan,
bagaimana mungkin seseorang yang telah melakukan begitu
banyak pembunuhan dapat mencapai Nibbana. Sang Buddha
menjawab bahwa pada masa yang lampau, karena
bimbingan yang kurang baik, Angulimala telah
melakukan perbuatan-perbuatan buruk namun kemudian ketika
Beliau mendapat bimbingan yang baik, Beliau menjalani kehidupan
suci. Dengan demikian Beliau dapat mengatasi perbuatan
buruk dengan perbuatan baiknya. Setalah berkata
demikian, Sang Buddha mengucapkan syair :
“Mereka yang dapat mengatasi perbuatan buruk mereka dengan perbuatan baik, menyinari dunia ini, bagaikan bulan yang terbebas dari awan.” (Dhammapada 173).
Sumber: samaggi-phala.or.id
0 comments:
Post a Comment