Saccam vihãya matisaccaka vãdaketum
Vãdãbhiropitamanam atiandabhutam
Paññãpadipa jalito jitavã munindo
Tan tejasã bhavatu te jayamangalãni
Saccaka, yang biasanya berkata menyimpang dari Kebenaran
Dengan pikiran buta, mengembangkan teorinya bagaikan bendera
Raja Para Bijaksana menaklukkannya dengan terangnya pelita kebijaksanaan
Dengan kekuatan ini semoga engkau mendapat kemenangan sempurna
Seorang pertapa yang mempunyai kemampuan untuk
mengingat lima ratus argumentasi dan perdebatan, tiba
di Vesali dan ia disambut dengan baik di tempat itu. Seorang
pertapa wanita yang mempunyai kemampuan yang sama juga datang
ke Vesali. Para pemimpin bangsa Licchavi lalu
mempertemukan keduanya dalam suatu perdebatan seru.
Ketika mereka terbukti sebanding sebagai pendebat,
tidak dapat saling mengalahkan, orang-orang Licchavi
lalu mendapatkan ide bahwa pasangan yang demikian
pasti akan menghasilkan anak-anak yang pandai. Mereka
lalu mengatur pernikahan di antara keduanya. Mereka mempunyai
empat orang anak perempuan dan seorang anak laki-laki.
Anak-anak perempuan itu bernama : Sacca, Lola,
Avavadaka dan Patacara, sedangkan anak laki-laki
diberi nama Saccaka. Kelima anak ini ketika mencapai
usia dewasa telah mempelajari seribu argumentasi dan
perdebatan, lima ratus dipelajari dari ibu mereka dan lima
ratus dari ayah mereka. Orang tua mereka mengajarkan kepada
anak-anak perempuannya demikian : “Bila ada pria yang dapat
membuktikan kekeliruan dari pendapatmu, maka engkau
harus menjadi istrinya, namun bila ia seorang
pertapa, engkau harus menjadi muridnya.”
Setelah beberapa waktu kemudian, orang tua mereka
meninggal dunia. Ketika orang tuanya telah meninggal
dunia, Saccaka tetap tinggal di tempat yang sama, mempelajari
pengetahuan dan tradisi bangsa Licchavi dan mengajar para
pangeran Licchavi. Ke empat orang saudara perempuan
Saccaka membawa sebuah cabang pohon apel, mengembara
sebagai pendebat dari kota ke kota dan pada akhirnya
tiba di Savatthi. Mereka lalu menanam cabang pohon
apel tersebut di depan gerbang kota dan berkata
kepada para pemuda yang berada di sana : “Bila ada seorang
pria, apakah dia orang biasa ataupun seorang pertapa yang dapat
menandingi kami di dalam mempertahankan suatu pendapat,
biarkan ia mengacak tumpukan tanah dan menginjak
cabang pohon ini.”
Setelah berkata demikian mereka memasuki kota untuk mengumpulkan dana makanan.
Ketika itu Yang Mulia Sariputta, setelah merapikan
dan membersihkan vihara, dan mengunjungi orang-orang sakit,
Beliau memasuki kota Savatthi untuk berpindapatta. Yang Mulia
Sariputta lalu melihat dan mendengar tentang cabang
pohon tersebut, Beliau lalu meminta para pemuda yang
ada di situ untuk mencabut cabang pohon dan
melemparkannya ke tanah. Beliau lalu berkata :
“Katakanlah kepada yang telah menanam cabang pohon ini, apabila mereka telah selesai bersantap untuk datang dan menemuiKu di ruangan di atas gerbang Vihara Jetavana.”
“Katakanlah kepada yang telah menanam cabang pohon ini, apabila mereka telah selesai bersantap untuk datang dan menemuiKu di ruangan di atas gerbang Vihara Jetavana.”
Yang Mulia Sariputta lalu memasuki kota dan
setelah selesai bersantap, Beliau duduk menunggu di ruangan
di atas gerbang Vihara Jetavana. Demikian pula dengan para
pertapa wanita itu, setelah mereka kembali dari
mengumpulkan dana makanan, mereka menemukan cabang
pohon yang mereka tanam telah tercabut dan tergeletak
di tanah. Mereka segera menanyakan siapa yang telah
berani melakukannya. Para pemuda di situ mengatakan bahwa
Yang Mulia Sariputtalah yang telah melakukannya, bila mereka
ingin berdebat, mereka ditunggu di ruangan di atas gerbang
vihara.
Para pertapa wanita itu lalu kembali ke kota,
diikuti dengan banyak penonton yang ingin menyaksikan perdebatan
itu. Mereka lalu menuju ke tempat di mana Yang Mulia
Sariputta menunggu. Mereka segera mengajukan seribu
macam pertanyaan kepada Yang Mulia Sariputta, dan
Beliau dapat menjawab semua pertanyaan itu dengan
baik, sampai akhirnya tidak ada lagi yang dapat mereka
tanyakan. Yang Mulia Sariputta bertanya, apa lagi yang akan
mereka utarakan, mereka menjawab : “Tidak ada lagi yang
akan kami tanyakan Yang Mulia.”
Yang Mulia Sariputta berkata : “Saya akan mengajukan satu pertanyaan kepada kalian.”
Tetapi mereka tidak dapat menjawab pertanyaan itu, akhirnya mereka mengaku kalah:
“Yang Mulia, kami mengaku kalah, Andalah pemenangnya.”
“Yang Mulia, kami mengaku kalah, Andalah pemenangnya.”
“Apa yang akan kalian lakukan sekarang?” tanya Yang Mulia Sariputta.
Mereka menjawab :
“Orang tua kami menasihatkan demikian : ‘Apabila kamu dikalahkan di dalam suatu perdebatan oleh orang biasa, maka kamu harus menjadi istrinya, tetapi apabila ia seorang pertapa, kamu harus menjadi muridnya.’ Oleh karena itu, kami mohon kepada Yang Mulia untuk membimbing kami memasuki kehidupan suci.”
“Orang tua kami menasihatkan demikian : ‘Apabila kamu dikalahkan di dalam suatu perdebatan oleh orang biasa, maka kamu harus menjadi istrinya, tetapi apabila ia seorang pertapa, kamu harus menjadi muridnya.’ Oleh karena itu, kami mohon kepada Yang Mulia untuk membimbing kami memasuki kehidupan suci.”
Yang Mulia Sariputta menyetujui dan mentahbiskan
mereka dalam Sangha Bhikkhuni yang bernama Uppalavana. Dan dalam
waktu yang singkat, mereka semua mencapai Tingkat Kesucian
Arahat.
Saudara laki-laki mereka, Saccaka belajar lebih
banyak dibandingkan saudara-saudara perempuannya. karena
selain ia belajar dari orang tuanya, ia juga belajar kepada
guru-guru yang lain. Saccaka menetap di Vesali menjadi guru
bagi para pangeran. Ia terkenal sebagi pendebat ulung,
yang tak terkalahkan dan ia ditakuti oleh
lawan-lawannya. Karena ia merasa semakin banyak ilmu
yang dipelajari, ia takut tubuhnya akan meledak,
karena itu ia memakai ikat pinggang besi. Kepada
semua orang ia memproklamirkan : “Tidak seorangpun yang
mempunyai ilmu yang melebihi diriku.”
Dan banyak orang yang menjadi pengikutnya.
Pada suatu hari, Saccaka bertemu dengan Yang Mulia
Assaji, yang sedang berpindapatta di kota Vesali. Ketika
melihat Beliau, ia berpikir alangkah baiknya kalau ia dapat
melakukan perdebatan dengan Sang Buddha. Ia telah sering
mendengar tentang Sang Buddha, tetapi ia ingin
mengetahui terlebih dahulu apa yang diajarkan oleh
Sang Guru Agung. Ia lalu menghampiri Yang Mulia
Assaji dan bertanya : “Yang Mulia, bagaimanakah
Bhikkhu Gotama mengajar murid-muridNya? Apakah Ajaran Beliau
yang paling mutakhir dan paling populer?”
Yang Mulia Assaji menjawab : “Yang Maha Suci
menerangkan : Bentuk (=Rupã) adalah tidak kekal
(=Aniccã); Kelompok perasaan (=Vedanã) adalah tidak
kekal; Pencerapan (=Saññã) adalah tidak kekal; Bentuk
batin yang berhubungan dengan keinginan (=Sankhãrã)
adalah tidak kekal; Kesadaran (=Viññãna) adalah tidak
kekal; dan Segala yang berwujud adalah tanpa jiwa /
inti (=Anattã).
Demikianlah Yang Maha Suci mengajarkan murid-muridNya
dan inilah Ajaran Beliau yang paling mutakhir dan paling populer.”
Ketika Saccaka mendengar pernyataan ini, ia
berkata : “Sebelumnya saya tidak pernah mendengar doktrin
seperti itu, saya akan menemui Bhikkhu Gotama dan meyakinkan
Beliau akan kesalahan besar ini.”
Sebelumnya Saccaka takut mengadakan perdebatan
dengan Sang Buddha karena ia belum mengetahui Ajaran Beliau,
tapi sekarang rasa takutnya telah lenyap dan dengan membual
tentang apa yang akan dicapainya, ia membujuk para
pangeran untuk menyertainya menemui Sang Buddha. Ia
berangkat ke Vihara Mahavana, dengan diiringi lima
ratus orang pangeran Licchavi.
Sang Buddha telah mengetahui Saccaka akan datang
menemuiNya, sekembali dari berpindapatta Beliau lalu
meminta para bhikkhu untuk menyiapkan tempat duduk di bawah
sebuah pohon di hutan yang berdekatan dengan vihara tersebut.
Ketika Saccaka datang, ia dipersilakan menuju ke tempat
tersebut. Para penduduk yang mendengar bahwa Saccaka
datang dengan disertai lima ratus orang pangeran,
untuk berdebat dengan Sang Buddha, berduyun-duyun
datang ke hutan itu untuk menyaksikan perdebatan seru
itu.
Setelah Saccaka memberikan salam hormat kepada
Sang Buddha, Saccaka meminta ijin untuk mulai mengajukan pertanyaan.
Sang Buddha berkata, ia dapat bertanya apa saja yang
ingin ditanyakannya. Saccaka lalu mengajukan
pertanyaan yang sama seperti yang ditanyakannya
kepada Yang Mulia Assaji. Sang Buddha menjawab pertanyaan itu
dengan memberi penjelasan yang menyeluruh dan terperinci
mengenai dasar-dasar Ajaran Beliau, dan menunjukkan
kekeliruan pandangan Saccaka. Untuk orang-orang
tertentu, hanya seorang Samma Sambuddha yang dapat
meyakinkan dan meluruskan pandangan mereka yang keliru,
dan Saccaka adalah salah seorang di antaranya.
Setelah perdebatan berlangsung beberapa saat, Sang
Buddha mengajukan sebuah pertanyaan kepada Saccaka, tetapi
ia diam tidak menjawab. Untuk kedua kalinya Sang Buddha bertanya,
Saccaka tetap diam. Kemudian Sang Buddha bertanya
untuk ketiga kalinya, pada saat itu raja para dewa
yaitu Dewa Sakka dengan memegang kapak di tangannya,
berdiri melayang di udara, tepat di atas kepala
Saccaka dan berkata :
“Saccaka, apabila kamu tidak mau menjawab pertanyaan Sang Tathagata yang telah diajukan untuk ketiga kalinya, maka Aku akan membelah kepalamu menjadi tujuh bagian.”
“Saccaka, apabila kamu tidak mau menjawab pertanyaan Sang Tathagata yang telah diajukan untuk ketiga kalinya, maka Aku akan membelah kepalamu menjadi tujuh bagian.”
Hanya Sang Buddha dan Saccaka yang dapat melihat Dewa Sakka.
Akhirnya Saccaka mengakui bahwa Ajaran Sang Buddha
benar, ia mengaku kalah. Keringat membasahi tubuhnya
sehingga jubahnya basah kuyup. Melihat kejadian ini, Sang Buddha
menunjukkan bahwa jubah Saccaka basah kuyup oleh keringat
sedangkan Beliau sendiri tidak berkeringat
sedikitpun. Merasa terkalahkan Saccaka tertunduk dan
diam seribu bahasa.
Seorang pangeran Licchavi bernama Durmukha
mengibaratkan Saccaka sebagai seekor kepiting yang semua kakinya
telah patah. Saccaka mengakui kekalahannya. Kemudian ia
bertanya lagi tentang Ajaran Sang Buddha yang lebih
terperinci.
Ia lalu mengundang Sang Buddha berserta murid-muridNya
untuk menerima dana makanan yang dipersembahkan di tempat
kediamannya.
Pada kesempatan lain, Saccaka seorang diri
mengunjungi Sang Buddha untuk mendengarkan uraian
lebih lanjut tentang Dhamma Yang Mulia. Uraian Dhamma ini tercantum
di dalam Maha Saccaka Sutta.
Sumber: samaggi-phala.or.id
0 comments:
Post a Comment