"Oleh diri sendiri kejahatan dilakukan, oleh diri sendiri pula seseorang ternoda. Oleh diri sendiri kejahatan tidak dilakukan, oleh diri sendiri pula seseorang menjadi suci. Suci atau tidak suci tergantung pada diri sendiri; tak seorang pun dapat menyucikan orang lain."
(Sutta Pitaka, Khuddaka Nikaya: Dhammapada, 165)
Bagaimana umat berdoa selama ini? Ada yang ke vihara/kelenteng dan meminta berkah pada patung dewa-dewi. Ada yang berdoa di hadapan langit untuk memohon berkah Tuhan dan dewa-dewi. Ada yang di depan altar dan membaca doa/paritta/mantra/keng lalu disalurkan bagi kebahagiaan makhluk lain dengan harapan jasa baik dari perbuatan tersebut melimpahkan kebahagiaan dan membebaskan orang tersebut dari penderitaan. Ada lagi yang curhat dalam hati dengan Tuhan/dewa-dewi di ruangan kamar. Agama lain pun memiliki cara berdoa sendiri yang apabila kita tidak mengerti seringkali kita menertawakan cara orang berdoa yang berbeda-beda. Tetapi sangat disayangkan jika ada orang dari agama tertentu merendahkan cara berdoa umat dari agama lain dan menganggap cara mereka sendiri adalah yang paling benar!
Mereka yang menganggap caranya berdoa adalah yang paling benar dan merendahkan cara berdoa orang lain adalah orang yang benar-benar rendah! Mungkin agamanya sendiri telah mengajarkan untuk merendahkan penganut agama lain, atau mungkin karena cara berpikirnya sendiri yang picik dan fanatik. Apa pun alasannya, seharusnya seseorang tidak merendahkan cara berdoa agama lain atas dasar toleransi dan keterbukaan atas perbedaan!
Bagi seorang Buddhis, cara berdoa yang benar bukanlah dengan meminta dan memohon pada dewa-dewi meskipun hal itu tidak dilarang. Sang Buddha sangat memaklumi cara umat awam yang masih terikat kehidupan duniawi. Setiap manusia mengharapkan kesejahteraan bagi dirinya sendiri dan kebahagiaan keluarganya. Setiap orang mendambakan kehidupan yang bahagia. Tidaklah salah jika mereka berdoa bagi kebahagiaannya dengan memohon para dewa untuk melindungi dan melimpahkan kebahagiaan bagi keluarganya.
Tetapi perlu diingat bahwa para dewa-dewi adalah makhluk yang hidup dalam kebahagiaan surgawi. Mereka memang dapat membantu manusia, seperti halnya manusia yang saling tolong-menolong, tetapi masih dalam batasan-batasan tertentu, dan semuanya kembali kepada apakah kita memiliki simpanan karma baik yang memungkinkan kita untuk ditolong oleh para dewa tersebut, seperti halnya dokter yang bisa mengobati penyakit kita selama ada obat dan selama penyakit kita masih dapat disembuhkan, serta disiplin kita sendiri untuk memenuhi anjuran dokter.
Dalam berdoa, kita tidak perlu bertele-tele atau panjang-panjang. Tuhan yang Maha Tahu dan Maha Kuasa, jikalau Ia memang ada, maka Ia sudah mengetahui sejak semula apa yang paling kita harapkan karena sifat Ke-MahaTahu-anNya, dan Ia berkuasa atas doa-doa kita karena sifat ke-MahaKuasa-anNya. Berdoalah jika hal itu dapat lebih menenangkan diri kita atas masalah-masalah yang kita hadapi. Katakan kepada Tuhan bahwa kita percaya bahwa Dia sudah mengetahui apa yang paling kita harapkan, sehingga kita tidak perlu curhat panjang-lebar, buang-buang waktu, kecuali kita percaya bahwa Tuhan tidak tahu kebutuhan kita sebelum kita menceritakannya. Oh, Tuhan, Kau tahu yang kumau!
Sekalipun kita tidak percaya keberadaan Tuhan, hal itu tidaklah terlalu bermasalah. Bahkan seorang Buddhis dituntut untuk menjadi mandiri. Seorang Buddhis yang sudah lebih jauh pemahamannya tentang hukum karma sangat yakin bahwa segalanya tergantung kepada diri sendiri. Tidak ada kekuatan eksternal yang mampu menghalangi proses kerja hukum ini bahkan seorang Buddha sekalipun tidak memiliki kuasa untuk mengatur hukum kehidupan ini. Setiap manusia harus bertanggung jawab sepenuhnya kepada diri sendiri atas segala yang dikerjakannya. Karena dia sendiri yang berbuat, dia sendiri pula yang harus bertanggung-jawab. Dalam konteks ini, Tuhan ada atau tidak mengawasi kita, seseorang tetap harus berbuat yang baik dan menghindari yang jahat karena adanya hukum moral yang bekerja di alam semesta ini yang berlaku universal. Seperti halnya setiap orang hendaknya mematuhi peraturan bukan karena ada polisi tetapi karena ada hukum yang mengatur setiap pelanggaran.
Sang Buddha mengajarkan kita untuk bermeditasi dengan instropeksi ke dalam diri, mengalahkan keinginan-keinginan kita sendiri yang disebabkan oleh keakuan. Jika kita sudah dapat sampai tahap ini, berdoa tidaklah penting lagi karena kita menyadari bahwa segala penderitaan sesungguhnya berasal dari dalam diri sendiri dan oleh karena itu harus dibasmi dari akar-akarnya, yakni dari dalam diri sendiri, bukan dengan memohon perlindungan eksternal. Tidak seorang pun dapat menyelamatkan yang lain, bahkan seorang dewa brahma sekalipun tidak dapat membebaskan kita dari penderitaan samsara (arus kelahiran kembali)! Hanya oleh diri sendirilah pembebasan mutlak nibbana dapat dicapai melalui usaha yang gigih seperti yang telah dicapai oleh Sang Buddha! (bd)
(Sutta Pitaka, Khuddaka Nikaya: Dhammapada, 165)
Bagaimana umat berdoa selama ini? Ada yang ke vihara/kelenteng dan meminta berkah pada patung dewa-dewi. Ada yang berdoa di hadapan langit untuk memohon berkah Tuhan dan dewa-dewi. Ada yang di depan altar dan membaca doa/paritta/mantra/keng lalu disalurkan bagi kebahagiaan makhluk lain dengan harapan jasa baik dari perbuatan tersebut melimpahkan kebahagiaan dan membebaskan orang tersebut dari penderitaan. Ada lagi yang curhat dalam hati dengan Tuhan/dewa-dewi di ruangan kamar. Agama lain pun memiliki cara berdoa sendiri yang apabila kita tidak mengerti seringkali kita menertawakan cara orang berdoa yang berbeda-beda. Tetapi sangat disayangkan jika ada orang dari agama tertentu merendahkan cara berdoa umat dari agama lain dan menganggap cara mereka sendiri adalah yang paling benar!
Mereka yang menganggap caranya berdoa adalah yang paling benar dan merendahkan cara berdoa orang lain adalah orang yang benar-benar rendah! Mungkin agamanya sendiri telah mengajarkan untuk merendahkan penganut agama lain, atau mungkin karena cara berpikirnya sendiri yang picik dan fanatik. Apa pun alasannya, seharusnya seseorang tidak merendahkan cara berdoa agama lain atas dasar toleransi dan keterbukaan atas perbedaan!
Bagi seorang Buddhis, cara berdoa yang benar bukanlah dengan meminta dan memohon pada dewa-dewi meskipun hal itu tidak dilarang. Sang Buddha sangat memaklumi cara umat awam yang masih terikat kehidupan duniawi. Setiap manusia mengharapkan kesejahteraan bagi dirinya sendiri dan kebahagiaan keluarganya. Setiap orang mendambakan kehidupan yang bahagia. Tidaklah salah jika mereka berdoa bagi kebahagiaannya dengan memohon para dewa untuk melindungi dan melimpahkan kebahagiaan bagi keluarganya.
Tetapi perlu diingat bahwa para dewa-dewi adalah makhluk yang hidup dalam kebahagiaan surgawi. Mereka memang dapat membantu manusia, seperti halnya manusia yang saling tolong-menolong, tetapi masih dalam batasan-batasan tertentu, dan semuanya kembali kepada apakah kita memiliki simpanan karma baik yang memungkinkan kita untuk ditolong oleh para dewa tersebut, seperti halnya dokter yang bisa mengobati penyakit kita selama ada obat dan selama penyakit kita masih dapat disembuhkan, serta disiplin kita sendiri untuk memenuhi anjuran dokter.
Dalam berdoa, kita tidak perlu bertele-tele atau panjang-panjang. Tuhan yang Maha Tahu dan Maha Kuasa, jikalau Ia memang ada, maka Ia sudah mengetahui sejak semula apa yang paling kita harapkan karena sifat Ke-MahaTahu-anNya, dan Ia berkuasa atas doa-doa kita karena sifat ke-MahaKuasa-anNya. Berdoalah jika hal itu dapat lebih menenangkan diri kita atas masalah-masalah yang kita hadapi. Katakan kepada Tuhan bahwa kita percaya bahwa Dia sudah mengetahui apa yang paling kita harapkan, sehingga kita tidak perlu curhat panjang-lebar, buang-buang waktu, kecuali kita percaya bahwa Tuhan tidak tahu kebutuhan kita sebelum kita menceritakannya. Oh, Tuhan, Kau tahu yang kumau!
Sekalipun kita tidak percaya keberadaan Tuhan, hal itu tidaklah terlalu bermasalah. Bahkan seorang Buddhis dituntut untuk menjadi mandiri. Seorang Buddhis yang sudah lebih jauh pemahamannya tentang hukum karma sangat yakin bahwa segalanya tergantung kepada diri sendiri. Tidak ada kekuatan eksternal yang mampu menghalangi proses kerja hukum ini bahkan seorang Buddha sekalipun tidak memiliki kuasa untuk mengatur hukum kehidupan ini. Setiap manusia harus bertanggung jawab sepenuhnya kepada diri sendiri atas segala yang dikerjakannya. Karena dia sendiri yang berbuat, dia sendiri pula yang harus bertanggung-jawab. Dalam konteks ini, Tuhan ada atau tidak mengawasi kita, seseorang tetap harus berbuat yang baik dan menghindari yang jahat karena adanya hukum moral yang bekerja di alam semesta ini yang berlaku universal. Seperti halnya setiap orang hendaknya mematuhi peraturan bukan karena ada polisi tetapi karena ada hukum yang mengatur setiap pelanggaran.
Sang Buddha mengajarkan kita untuk bermeditasi dengan instropeksi ke dalam diri, mengalahkan keinginan-keinginan kita sendiri yang disebabkan oleh keakuan. Jika kita sudah dapat sampai tahap ini, berdoa tidaklah penting lagi karena kita menyadari bahwa segala penderitaan sesungguhnya berasal dari dalam diri sendiri dan oleh karena itu harus dibasmi dari akar-akarnya, yakni dari dalam diri sendiri, bukan dengan memohon perlindungan eksternal. Tidak seorang pun dapat menyelamatkan yang lain, bahkan seorang dewa brahma sekalipun tidak dapat membebaskan kita dari penderitaan samsara (arus kelahiran kembali)! Hanya oleh diri sendirilah pembebasan mutlak nibbana dapat dicapai melalui usaha yang gigih seperti yang telah dicapai oleh Sang Buddha! (bd)
Sumber: http://bluelotus4happiness.blogspot.com/2009/12/bagaimana-berdoa-yang-benar.html
0 comments:
Post a Comment