Rasa takut adalah mencari-cari kesalahan dengan masa depan. Jika saja
kita selalu ingat bahwa masa depan itu tak pasti, kita tak akan pernah
mencoba meramalkan apa yang bisa salah. Rasa takut berakhir saat ini
juga.
Suatu hari, ketika saya masih kecil, saya begitu takut kalau harus
pergi ke dokter gigi. Meskipun saya sudah bikin janji untuk bertemu
dengan dokter gigi, tetap saja saya tak ingin pergi. Saya khawatir
sendiri dengan tololnya. Saat tiba di tempat praktik dokter gigi, saya
diberi tahu bahwa dokter giginya berhalangan. Saya belajar betapa
sia-sianya rasa takut itu.
Rasa takut terlarut dalam ketidakpastian masa depan. Namun jika kita
tidak memakai kebijaksanaan kita, kitalah yang akan dilarutkan oleh rasa
takut. Ada seorang samanera cilik yang hampir terlarut oleh rasa takut,
namanya Si Belalang Kecil, seorang tokoh dari film seri kuno di
televisi yang berjudul Kung Fu. Saya dulu gemar sekali menonton film
seri ini pada tahun terakhir sebagai guru sekolah, sebelum saya menjadi
bhikkhu.
Suatu
hari, gurunya yang buta mengajak Si Belalang Kecil ke ruangan di
belakang biara, yang biasanya terkunci. Di dalam ruangan itu terdapat
kolam selebar enam meter, dengan sebuah papan sempit sebagai jembatan
yang menghubungkan sisi satu dengan sisi seberangnya. Sang guru
memperingati Si Belalang Kecil untuk tidak dekat-dekat dengan pinggir
kolam, karena kolam itu bukan berisi air, melainkan berisi larutan asam
yang sangat pekat.
“Tujuh hari lagi,” Si Belalang diberi tahu, “kamu akan diuji. Kamu
harus berjalan menyeberangi kolam asam ini dengan menjaga keseimbangan
di atas papan kayu yang sempit itu. Tapi hati-hati! Kamu lihat kan
tulang-belulang di dasar kolam itu?”
Si Belalang melongok was-was melalui pinggir kolam, dan melihat banyak tulang-belulang di dasar kolam itu.
“Itu dulunya tulang samanera muda seperti kamu.”
Sang guru lantas mengajak Si Belalang keluar dari ruangan yang
mengerikan itu, menuju halaman biara yang diterangi sinar mentari. Di
sana, beberapa bhikkhu senior telah memasang papan kayu dengan ukuran
hampir sama dengan yang ada di kolam asam, hanya yang ini ditaruh di
atas tanah dengan disangga oleh tumpukan dua batu bata. Selama tujuh
hari berikutnya Si Belalang Kecil dibebaskan dari tugas-tugasnya untuk
berlatih keseimbangan di atas papan itu.
Itu mudah. Dalam beberapa hari saja dia dapat berjalan dengan
keseimbangan sempurna, dengan mata tertutup sekalipun, menyeberangi
papan di halaman biara. Dan tibalah harinya ujian.
Si Belalang dibawa gurunya menuju ruangan dengan kolarn asam itu.
Tulang-belulang para samanera yang jatuh tampak putih berkilauan dari
dasar kolam. Si Belalang naik ke ujung papan dan menoleh ke arah
gurunya. “Jalan!” perintah sang guru.
Papan di atas kolam asam itu ternyata lebih sempit dari papan di
halaman kuil. Si Belalang mulai melangkah, tetapi langkahnya goyah; dia
mulai bergoyang-goyang. Bahkan belum setengah jalan, dia semakin
terhuyung-huyung. Kelihatannya dia akan segera tercebur ke larutan asam.
Tiba-tiba film itu terpotong oleh iklan.
Saya harus bersabar dari iklan sialan itu, rasanya lama sekali mengkhawatirkan nasib Si Belalang Kecil yang malang itu.
Nah, pariwara selesai, kita kembali ke kolam asam, tampak Si Belalang
mulai kehilangan rasa percaya dirinya. Saya melihat dia melangkah
dengan gemetar, lalu oleng…, dia jatuh!
Guru tua yang buta tertawa terbahak-bahak ketika mendengar suara Si
Belalang tercebur ke kolam. Itu bukan asam, itu cuma air.
Tulang-belulang tua itu telah ditaruh di dalam kolam sebagai “tipuan
khusus”. Mereka telah mengakali Si Belalang Kecil, termasuk saya juga
jadi korban akal-akalan.
“Apa yang membuatmu jatuh?” tanya sang guru dengan serius. “Rasa takutlah yang menjatuhkanmu, Belalang Kecil, hanya rasa takut.”
Sumber : http://pempeknyonya.com/pempek/2011/09/apakah-rasa-takut-itu/
0 comments:
Post a Comment