Author: Nyanabhadra
Melakoni setiap momen kehidupan dengan penuh perhatian merupakan hobi para praktisi, melalui cara demikian dia menuai banyak kearifan, lakon kehidupan demikian bisa terwujud karena seseorang selalu meluangkan banyak waktu senggang untuk melihat ke dalam dirinya sendiri, menatap lebih dalam apa yang sedang terjadi dalam pikiran dan perasaan, menatap lebih teliti reaksi apa yang sedang dipancarkan oleh badan jasmani, kemudian juga melongok apa yang sedang terjadi di dunia sekeliling ini.
Melakoni setiap momen kehidupan dengan penuh perhatian merupakan hobi para praktisi, melalui cara demikian dia menuai banyak kearifan, lakon kehidupan demikian bisa terwujud karena seseorang selalu meluangkan banyak waktu senggang untuk melihat ke dalam dirinya sendiri, menatap lebih dalam apa yang sedang terjadi dalam pikiran dan perasaan, menatap lebih teliti reaksi apa yang sedang dipancarkan oleh badan jasmani, kemudian juga melongok apa yang sedang terjadi di dunia sekeliling ini.
Seandainya seseorang bisa secara kontinu hidup dalam ritme demikian tampaknya bisa memanen banyak kearifan, dia tidak perlu membaca buku terlalu banyak, dia tidak perlu menjadi orang pintar, dia tidak perlu menonton terlalu banyak, dia tidak perlu menghabiskan waktu untuk belanja, cukup memperhatikan dengan seksama apa yang sedang terjadi dalam tiga dimensi itu, dimensi pikiran, dimensi badan jasmani, dan dimensi lingkungan.
Seorang monastik juga demikian hendaknya, ia selalu menyediakan waktu untuk melirik tiga dimensi itu, rasanya inilah yang disebut “belajar dari kehidupan”, kalimat ini bukan sekedar pemanis bibir saja, namun betul-betul menjadi satu dengan aktivitas sehari-hari, ketika seseorang bernapas, ketika seseorang berjalan, ketika seseorang duduk, ketika seseorang makan, ketika seseorang minum, semua aktivitas ini sedang memberi nutrisi sehat kepada aspek mental dan fisik.
Saya sedang mengimajinasikan bagaimana kehidupan Guru saya, Buddha Sakyamuni sejak ribuan tahun lalu, ketika zaman India kuno, tiada parabola, tiada satelit, tiada email, tiada YM, tiada Facebook, tiada internet, dan tiada listrik!
Buddha Sakyamuni sejak kecil belajar banyak filsafat India kuno, beliau juga membaca dari banyak sumber spiritual aneka ragam, Buddha seolah-olah menjadi seorang manusia segala super, namun melalui kaca mata seorang monastik seperti saya, Buddha tak lain tak bukan hanyalah manusia biasa yang melakoni hidupnya seperti manusia lainnya, beliau makan dan minum tentu saja juga perlu ke kamar kecil, ketika cuaca panas atau hujan maka beliau perlu tempat untuk berteduh, ketika musim dingin maka beliau perlu jubah lebih tebal, dan ketika bagian punggung gatal maka beliau juga akan mengaruk dengan penuh cinta kasih.
Saya yakin bahwa Buddha menghabiskan momen sehari-hari dengan berbagi dharma kepada banyak orang, kemudian berbagi waktu untuk murid monastik agar mereka selalu maju dalam latihan, seandainya ada tamu datang berkunjung, Buddha akan meminta Bhante Ananda untuk menggelar tikar di luar sana di bawah rindang pohon untuk berbincang-bincang, dalam kondisi demikian Bhante Ananda akan berdiri di belakang dan menunggu perintah dari Buddha atau kadang-kadang mengipas perlahan-lahan dari belakang agar Buddha tidak kepanasan.
Kehidupan di zaman dahulu lebih sering berlatar belakang di hutan, rasanya pasti ada waktu-waktu ketika Buddha tidak terlalu sibuk, beliau mengajak Bhante Ananda untuk pergi ke Hutan untuk menikmati pemandangan dan beristirahat di sana.
Kebiasaan makan manusia zaman sekarang mungkin berbeda-beda, suatu ketika ada seorang teman saya bernama Mega datang dan bilang, “Saya biasanya mandi duluan Bhante sebelum makan”, lantas saya tanya kenapa? Mega bilang, “Biar tidak gemuk Bhante, karena kalau makan duluan terus baru mandi, air dingin itu bisa mempengaruhi pencernaan kurang lancar, kalau pencernaan kurang lancar berarti ada lemak yang tertimbun”, Saya merenung dan berpikir, tampaknya ada benar juga, saya sendiri kadang mandi duluan baru makan dan kadang sebaliknya.
Bagaimana dengan Guru saya? Rasanya beliau akan mandi duluan setelah itu baru makan siang, dan saya tidak tahu apakah zaman itu ada sikat gigi atau tidak, seingat saya ada bagian dari Winaya menyebutkan wajib berkumur-kumur setelah makan, sedangkan Winaya saya sekarang ini mewajibkan menyikat gigi setelah makan, di Winaya versi tradisional tidak ada kode etika seperti ini, namun monastik di Plum Village menambahkan kode etika ini sebagai respon terhadap perubahan zaman.
Wajar sekali kalau Buddha juga mengalami sakit, rasanya Bhante Ananda akan membatalkan janji temu ataupun tidak mengizinkan orang lain datang berkunjung ketika Buddha sedang sakit, beliau hanya berbaring istirahat tak melakukan apa pun untuk memulihkan kondisi fisik. Teringat ada seorang dokter tersohor zaman itu bernama Jivaka yang merupakan dokter khusus Buddha dan para murid-muridnya.
Ada kurun waktu lain ketika beliau ingin menyendiri tanpa diganggu oleh tamu, maka beliau akan memberitahu Bhante Ananda, atau kadang-kadang Buddha membersihkan sendiri kamarnya dan pergi ke hutan tanpa memberitahu kepada siapapun.
Zaman Buddha juga banyak orang sakit, tampaknya ada waktu-waktu luang bagi Buddha pergi berkunjung ke mereka yang sedang sakit, atau sekedar pergi melihat sana-sini untuk memastikan murid-murid monastiknya berlatih dengan baik, segala sesuatu dalam keadaan rapi dan teratur, atau kadang-kadang beliau pergi meditasi jalan di hutan sekaligus meregangkan kaki sebagai bentuk olah raga.
Buddha banyak memberikan ceramah, namun sekali-kali beliau memilih salah satu muridnya untuk memberikan ceramah, beliau duduk santai di belakang untuk mendengarkan ceramah dharma dari muridnya.
Saya tidak tahu berapa jam waktu yang diperlukan Buddha untuk tidur, setelah hampir 4 tahun menjadi monastik, saya merasa 6 jam tidur buat tubuh saya sudah sangat mencukupi, berapa jam untuk anda? Silakan cari tahu sendiri.
Saya berkunjung ke Thailand beberapa kali, suatu ketika saya berkunjung ke satu tempat yang ada rupang Buddha parinirvana demikian disebutkan disitu, Buddha dibuat sedemikian rupa oleh sang artis dalam wujud muda, padahal beliau saat itu seharusnya sudah berumur sekitar 80, seharusnya beliau berparas lebih tua untuk menujukkan naturalisme kehidupan, yakni lahir, tua, sakit, dan mati agar manusia juga bisa bersentuhan dengan kebenaran natural.
Kita terlalu banyak terpengaruhi oleh kisah-kisah yang menyebutkan Buddha adalah manusia yang memiliki segala kekuatan supernatural dan magis, namun bagi saya sebagai cicit buyut dari Buddha, beliau hanyalah sekedar manusia biasa apa adanya, manusia yang menarik perhatian dalam atmosfir kebaikan, cinta kasih, sabar, semangat, tekun, bersahaja, dan pancaran kedamaian. Pengertian mendalam inilah menjadikan beliau seorang manusia bebas!
Tinggal di Pusat meditasi Plum Village di Perancis setahun lebih membantu saya melihat Guru terdekat saya, Bhante Thich Nhat Hanh sebagai manifestasi Buddha, persis seperti yang saya ilustrasikan di atas, melihat Buddha lewat lakon hidup nyata seorang guru membantu saya melihat tembus ke ribuan tahun lalu seperti Buddha Sakyamuni hidup di abad modern serba teknologi ini. [Hongkong, 11 November 2010]
0 comments:
Post a Comment