Buddha berjalan dari kerajaan Sakya menuju Kosala bersama ribuan biksu, hampir semua biksu berasal dari keluarga bangsawan. Rombongan berhenti taman dekat desa Anupiya yang merupakan kampung halaman suku Malla. Bhante Sariputra, Kaludayi, Nanda, dan Samanera Rahula juga ikut dalam rombongan itu.
Setelah Buddha dan rombongan meninggalkan Kapilawastu bulan lalu, ada dua kakak beradik dari keluarga bangsawan bernama Mahanama dan Anuruddha juga ingin bergabung dalam komunitas sanggha biksu, keluarga bangsawan yang memiliki kekayaan berlimpah ruah, mereka punya tiga kapling tanah yang setara dengan desa, setiap kapling tanah itu merupakan tempat rehat untuk tiga musim berbeda, mereka berdua ingin mengikuti jejak beberapa temannya yang sudah menjadi murid Buddha, namun Mahanama sebagai kakak tertua merasa kurang baik apabila mereka berdua menjadi biksu, oleh karena itu dia mengizinkan adiknya pergi dan dia sendiri meneruskan tugas mengelola kekayaan keluarga.
Suatu hari, Anuruddha meminta izin kepada ibundanya, tak banyak bicara, ibundanya langsung protes, “Anakkku, engkau satu-satunya kebahagiaanku dalam hidup ini, coba bayangkan sekarang engkau pergi jadi biksu, bagaimana aku tidak sakit hati?”
Anuruddha dengan tenang membalas, “Ibunda, sudah sekian banyak putra bangsawan menjadi biksu, latihan mereka membuahkan begitu banyak kebahagiaan dan kedamaian bagi diri sendiri, keluarga, dan juga masyarakat.” Anuruddha sudah sering mendengar ceramah dari Buddha di Taman Nigrodha, sehingga ia bisa menjelaskan niat dan maksudnya dengan jelas, akhirnya ibundanya menyerah dan bilang, “Baiklah anakku, aku akan memberi izin kepadamu dengan satu syarat, kalau sohib karibmu, Baddhiya juga jadi biksu, maka engkau juga boleh jadi biksu”
Ibunya sudah yakin bahwa Baddhiya tidak mungkin pernah terbesit dalam pikirannya untuk menjadi biksu, juga karena Baddhiya bagian dari orang penting dalam jabatan kerajaan, memiliki tanggung jawab besar, reputasi tinggi, tentu saja tidak mungkin dia mau melepaskan semua prestisenya untuk hidup serba sederhana sebagai biksu.
Anuruddha tidak patah semangat, dia segera pergi bertemu dengan Baddhiya di daerah propinsi utara, karena Baddhiya menjabat sebagai gubernur di sana, tempat kediamannya begitu besar dan banyak tentara yang siap menerima komando, siang dan malam semua prajurit mengawasi dengan ketat, setiap hari selalu ada kunjungan dari pejabat penting dan utusan dari berbagai daerah dan propinsi.
Baddhiya menerima kedatangan Anuruddha sebagai tamu spesial.
Anuruddha bilang, “Aku ingin meninggalkan rumah untuk menjadi biksu di bawah bimbingan Buddha, tapi saya tidak bisa, satu-satu alasanya karena dirimu!”
Baddhiya ketawa terkekeh-kekeh, “Maksudmu? Aku tidak pernah mencegahmu untuk menjadi biksu. Tak ada alasan bagiku untuk mencegahmu, bila perlu aku menggunakan semua upaya untuk membantumu mengapai cita-cita itu”.
Anuruddha menjelaskan pokok persoalannya. Dia menyimpulkan dengan bilang “Kawanku, engkau barusan bilang akan menggunakan semua upaya membantuku mengapai cita-cita, satu-satunya cara adalah engkau juga ikut jadi biksu”
Baddhiya sedikit kikuk, sebenarnya dia juga tertarik dan sudah terinpirasi untuk berlatih dalam jalan menuju kesadaran, bahkan dia juga diam-diam ingin menjadi biksu juga namun tidak sekarang ini. Dia bilang “Tunggu 7 tahun lagi deh, tunggu tanggal mainnya, saya akan jadi biksu nanti”
“Menunggu 7 tahun terlalu lama kawanku, tak tahu apakah kita masih hidup di saat itu”
“Menunggu 7 tahun terlalu lama kawanku, tak tahu apakah kita masih hidup di saat itu”
Baddhiya ketawa lagi, “Hai kawanku, kenapa engkau begitu pesimis, okelah, bagaimana kalau 3 tahun, saya akan jadi biksu 3 tahun kemudian”
“Bahkan 3 tahun juga terlalu lama”
“Oke-oke, bagaimana kalau 7 bulan, saya harus membereskan semua urusan keluarga dan menyerahkan jabatan gubernur ke orang lain”
“Kenapa sih orang yang sudah siap meninggalkan rumah untuk jadi biksu perlu waktu segitu panjang untuk menyelesaikan urusannya? Seorang biksu bebas meninggalkan semuanya demi berlatih dalam jalan menunju kesadaran penuh dan pembebasan. Kalau engkau menunda dan terlalu banyak menghabiskan waktu, mungkin engkau akan berubah pikiran”
“Baiklah kawanku, saya janji, kasih saya waktu 7 hari, setelah itu saya akan segera bergabung denganmu”
Sungguh tak diduga, Anuruddha pulang dengan riang dan menyampaikan kabar ini kepada ibundanya, suatu hal yang tak pernah terbayangkan oleh ibundanya, sosok seperti Baddhiya yang punya status prestigius bisa dengan mudah meninggalkan jabatannya. Tiba-tiba ibundanya menyadari bahwa metode latihan menuju kesadaran penuh ini punya kekuatan luar biasa dan ia mulai bisa merelakan anaknya pergi menjadi biksu.
Anuruddha juga berhasil mengajak beberapa temannya untuk ikut bergabung juga, seperti Bhagu, Kimbila, Devadatta, dan Ananda, mereka merupakan pangeran kerajaan dari suku bangsawan. Pada hari yang sudah ditentukan mereka bertemu di istana Devadatta dan pergi bertemu Buddha. Mereka semua sudah dewasa kecuali Ananda yang masih berumur 18 tahun, namun Ananda sudah mendapat izin dari ayahndanya untuk mengikuti kakak kandungnya, Devadatta. Mereka naik kereta hingga desa kecil di perbatasan Kosala, mereka sudah dapat informasi bahwa Buddha sedang berada di daerah Anupiya.
Anuruddha mengusulkan untuk menanggalkan permata, kalung, dan semua perhiasan yang masih melekat di badan mereka sebelum menyeberang ke perbatasan. Semua perhiasan di bungkus dalam sepotong kain, mereka semua setuju untuk memberikan perhiasan itu kepada rakyat miskin. Mereka melihat ada sebuah salon cukur rambut sederhana dan ada seorang anak muda yang juga berumur sebaya dengan mereka. Tampang anak muda itu tidak begitu menarik dan berpakaian lusuh, Anuruddha masuk ke salon itu dan menanyakan namanya.
Anak muda itu menjawab “Nama saya Upali.”
Anuruddha bertanya kepada Upali rute jalan untuk menyeberangi perbatasan itu, Upali dengan senang hati menawarkan diri untuk menuntun mereka menuju perbatasan. Sebelum mereka berpisah, mereka menyerahkan bungkusan perhiasan itu kepada Upali. Anuruddha bilang, “Hai Upali, kami ingin ikut Buddha dan menjadi muridnya, berlatih sebagai seorang biksu, kami tak butuh perhiasan ini lagi, kami ingin memberikannya kepadamu, berbekal perhiasan ini engkau bisa hidup berkecukupan seumur hidupmu.”
Para pangeran itu mengucapkan selamat tinggal dan menyeberang dari perbatasan itu. Ketika tukang cukur muda itu membuka kain bungkusan itu, matanya bersinar terang dan takjub, dia yang berasal dari kasta rendah tak pernah memiliki harta sebanyak itu seumur hidup, jangankan perhiasan, emas satu ons atau cicin sepotong saja tidak pernah ia miliki, sekarang dia punya harta segunung itu penuh dengan perhiasan intan permata. seharusnya dia berbahagia, tapi dia malah panik, dia bungkus kembali kain itu dan peluk erat-erat, semua rasa nyamannya menguap seketika, dia tahu nantinya akan ada banyak orang yang ingin membunuhnya dan merampas intan permata ini.
Upali merenung, para pangeran yang menikmati harta karun berlimpah ruah saja melepaskan semua ini demi menjadi biksu, pasti mereka juga sudah sadar kalau harta karun dan ketenaran merupakan sumber beban dan mara bahaya, tiba-tiba Upali juga punya niat untuk melepaskan semua harta karun itu dan mengikuti jejak para pangeran untuk berjalan menuju kedamaian, pencerahan, dan pembebasan. Tanpa ragu-ragu ia menggantungkan bungkusan perhiasan itu di atas sebatang ranting dan membiarkan orang pertama lewat di situ untuk mengklaimnya, dia segera lari melewati perbatan untuk mengejar para pageran, dia akhirnya berhasil mengejar mereka.
Upali merenung, para pangeran yang menikmati harta karun berlimpah ruah saja melepaskan semua ini demi menjadi biksu, pasti mereka juga sudah sadar kalau harta karun dan ketenaran merupakan sumber beban dan mara bahaya
Para pangeran kaget melihat Upali, Devadatta bertanya, “Hei Upali, kenapa engkau mengejar kami? mana bungkusan perhiasan yang kami kasih kepadamu?”
Upali masih engos-engos bernapas dan menjelaskan bahwa dia sudah gantungkan bungkusan itu di ranting pohon dan membiarkan orang pertama lewat di situ untuk mengklaimnya. Upali bilang dia tidak merasa nyaman dengan begitu banyak kekayaan dan sekarang dia ingin bergabung menjadi biksu di bawah bimbingan Buddha juga.
Devadatta ketawa, “Engkau mau jadi biksu? tapi engkau seorang —”
Anuruddha segera memotong Devadatta, “Bagus! Bagus! Kami senang kalau engkau juga mau bergabung. Buddha mengajarkan bahwa komunitas biksu seperti sebuah samudra dan para biksu seperti sungai-sungai yang mengalir ke samudra dan menjadi satu. Walaupun kita lahir di kasta berbeda, namun seketika kita bergabung dalam komunitas ini, kita adalah kakak adik, tidak ada bedanya satu dengan lainnya”
Buddha mengajarkan bahwa komunitas biksu seperti sebuah samudra dan para biksu seperti sungai-sungai yang mengalir ke samudra dan menjadi satu
Baddhiya segera menyodorkan tangannya untuk memberi salam kepada Upali. Dia memperkenalkan dirinya sebagai mantan gubernur propinsi utara dari kerajaan Sakya. Dia juga memperkenalkan pangeran lain kepada Upali, mereka bertujuh melanjutkan perjalanan.
Mereka tiba di Anupiya pada hari berikutnya dan ada yang bilang bahwa Buddha menginap di hutan sekitar 2 Kilometer ke arah barat daya kota. Mereka berjalan ke sana dan bertemu dengan Buddha, Baddhiya sebagai perwakilan untuk memohon penahbisan, Buddha mengangguk setuju menerima permohonan mereka. Baddhiya bilang, “Kami ingin memohon agar Upali ditahbiskan terlebih dahulu sehingga dia bisa menjadi kakak senior kami dalam dharma, setelah itu kami akan bersujud dihadapannya untuk memotong semua kepalsuan dan keangkuhan yang masih ada dalam diri kami”
Buddha menahbiskan Upali terlebih dahulu, kemudian Ananda hanya menerima penahbisan samanera sebagai persiapan menerima penahbisan biksu ketika sudah berusia 20 tahun. Ananda adalah yang termuda setelah Rahula, Rahula senang sekali melihat Ananda.
Beberapa hari setelah penahbisan, Buddha dan rombongan menuju Vesali, di tengah perjalanan, mereka beristirahat tiga hari di Taman Mahawana, setelah itu mereka menghabiskan sepuluh hari baru tiba di Wihara Hutan Bambu di Rajagaha.
Bhante Kassapa, Moggalana, dan Kondanna bersama sekitar 600 biksu sangat senang bisa bertemu kembali dengan Buddha. Raja Bimbisara segera menuju Wihara Hutan Bambu untuk bertemu dengan Buddha seketika ia mendapat kabar Buddha telah kembali. Suasana wihara menjadi hangat dan riang. Retret musim hujan hampir tiba, Bhante Kondana dan Kassapa sudah mempersiapkan semua kebutuhan. Kali ini merupakan retret musim hujan ketiga bagi Buddha. Musim Hujan pertama Buddha tinggal di Taman Rusa dan yang kedua di Hutan Bambu.
Sebelum Baddhiya menjabat sebagai gubernur, ia juga telah banyak mencurahkan perhatian untuk mendalami spiritual, sekarang ini ia berada di bawah bimbingan Bhante Kassapa di Hutan Bambu, ia menaruh semua hati dan pikiran dalam latihan, meluangkan semua waktu untuk latihan meditasi. Ia lebih senang tidur di bawah pohon daripada tidur di dalam gubuk. Suatu malam ketika dalam meditasi duduk di bawah pohon ia merasakan kebahagiaan luar biasa, suatu kebahagiaan besar yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya, kemudian dia berseru, “Oh Bahagianya! Betapa bahagianya!”
Ada seorang biksu lain yang duduk dekat Baddhiya mendengar seruan itu, keesokan harinya biksu itu melaporkan kepada Buddha, “Guru, kemarin malam ketika dalam meditasi duduk saya tiba-tiba mendengar Bhante Baddhiya berseru ‘Oh kebahagiaan! Betapa bahagianya!’ Tampaknya dia kangen dengan kekayaan dan ketenaran yang telah ia tinggalkan itu. Saya merasa ini sebaiknya diberitahu kepada Guru.”
Buddha hanya mengangguk.
Setelah makan siang, Buddha memberikan ceramah dharma, selesai itu, Buddha memanggil Bhante Baddhiya untuk maju ke hadapan komunitas yang mana ada murid awam yang hadir di situ juga. Buddha bertanya, “Bhante Baddhiya, kemarin malam ketika dalam meditasi duduk, apakah engkau berseru ‘Oh kebahagiaan! Betapa bahagianya!”
Baddhiya merangkapkan kedua tangannya dan menjawab, “Betul Guru, kemarin malam ketika dalam meditasi duduk, saya menyerukan kata-kata itu!”
“Bolehkan engkau memberitahu kita alasannya?”
“Yang Mulia, sebelumnya saya bertugas sebagai gubernur, hidup dalam kemewahan dan kekuasaan, kemanapun saya pergi selalu dikawal oleh prajurit, siang dan malam istana selalu di kawal oleh tentara terlatih; walaupun demikian saya tidak pernah merasa aman. Saya terus-menerus merasakan takut dan cemas, sekarang ini saya bebas untuk jalan dan duduk damai di dalam hutan belantara, saya menyadari sepenuhnya tidak ada rasa takut dan cemas lagi melainkan saya merasa damai, ringan, dan riang, sungguh perasaan yang tidak pernah saya rasakan sebelumnya. Guru, menjalankan kehidupan sebagai biksu membawa begitu banyak kebahagiaan dan rasa syukur, saya tidak lagi punya rasa takut pada orang asing lagi dan tidak takut kehilangan apa pun, saya bahagia bagaikan rusa yang hidup bebas di dalam hutan.
Kemarin malam ketika dalam meditasi duduk, saya melihat hal ini demikian jelas sehingga saya menyerukan ‘Oh kebahagiaan! Betapa bahagianya!’ Saya mohon maaf kalau seruan itu menganggu Anda atau kakak biksu lainnya.”
Buddha menyanjung Baddhiya di hadapan seluruh komunitas. “Sungguh indah Baddhiya, engkau telah mengapai banyak kemajuan dalam latihan, merasa berkecukupan dan tidak melekat lagi. Kedamaian dan suka cita yang engkau rasakan itu sangat didambakan oleh para dewa juga.”
Pada retret musim dingin itu, Buddha juga menahbiskan seorang pria bernama Mahakassapa, seorang anak muda yang cerdas, ia berasal dari keluarga terkaya di Magadha, kekayaan ayah Mahakassapa melebihi harta menteri urusan keuangan kerajaan. Mahakassapa menikah dengan Bhadra Kapilani, mereka hidup sebagai suami istri selama 12 tahun, namun hati mereka selalu ingin menjalankan kehidupan spiritual.
Suatu pagi, Mahakassapa terbagung sebelum istrinya, tiba-tiba dia melihat ada ular berbisa menyusup di pergelangan tangan pakaian yang digantung di dekat ranjang. Mahakassapa tidak berani menganggu ular itu, dia menggendong Kapilani keluar dari kamar. Mahakassapa membangunkan istrinya dan menceritakan apa yang barusan terjadi. Mereka menyadari sepenuhnya bahwa hidup ini penuh dengan ketidakpastian, Kapilani mendorong Mahakassapa untuk segera mencari guru dan berlatih di jalan pembebasan tanpa menunda lagi. Mereka telah mendengar tentang Buddha, oleh karena itu dia pergi ke Hutan Bambu. Seketika ia bertemu dengan Buddha, dia langsung yakin bahwa inilah guru yang dia cari selama ini. Buddha dengan begitu mudah bisa melihat bahwa Mahakassapa adalah seorang anak muda yang memiliki pandangan mendalam, dan Buddha menahbiskan Mahakassapa.
Mahakassapa memberitahu Buddha bahwa istrinya juga ingin menjadi biksuni dan berlatih dalam jalan menuju pembebasan ini, Buddha membalas bahwa waktu masih belum matang untuk menerima wanita ke dalam komunitas, mohon dia bersabar dan menunggu.
Dari Old Path White Cloud, Bab 38, hal. 249 s.d. 255
Terjemahan bebas oleh Nyanabhadra [Chân Pháp Tử]