Manusia adalah mahkluk yang diberkahi dengan pikiran dan kesadarannya yang membedakan dari makhluk -makhluk lainnya, dan yang menyebabkan mendapat sebutan sebagai makhluk yang luhur. Keluruhan manusia ini yang tercemin bahwa dia selalu berusaha membawa dirinya mencapai nilai-nilainya yang luhur itu.
Manusia memiliki martabat yang luhur, karena mampu mengembangkan nilai-nilai luhur yang mencerminkan kemampuan dari kebebasanya untuk mengatasi segala kondisi, persyaratan, dukkha atau penderitaan yang menandai eksistensi hidupnya.
Fakta adanya penderitaan menunjukkan keluhuran martabat manusia. Karena keluhuran manusia tersebut merupakan momentum kemampuannya dalam mengatasi penderitaannya, sebagaimana yang dicerminkan manusia Sidharta yang akhirnya menjadi Buddha.
Masalah penderitaan inilah yang akhirnya mejadi tolak ajaran Sang Buddha atau Buddhadharma. Keterusikannya terhadap masalah penderitaan yang membuat Siddharta menempuh hidup religious dalam mencari obat bagi penawar pederitaan akhirnya juga manjadi tema pokok seluruh Buddhadharma. Buddhadharma ibarat obat penawar penyakit penderitaan eksistensi manusia, dan Buddha adalah dokternya, Dharma adalah resepnya dan Sangha adalah apotekernya.
Obat penawar itu adalah Dharma yang mengandung hukum kesunyataan dan yang diformalkan dalam kitab suci Tripitaka sebagai jalan untuk mengatasi penderitaan yang sudah melekat dalam hidup manusia, yang disampaikan oleh Buddha. Bersama dengan Sangha siswa-siswa yang telah membuktikan kebenaran Dharma. Maka Buddha, Dharma, dan Sangha adalah esensi keyakinan seorang umat Buddha yang selalu dijapakan melalui paritta perlindungan Tri Ratna.
PENDERITAAN DAN KELUHURAN MANUSIA
Penderitaan itu melekat dalam eksistensi manusia. Penderitaan yang menandai eksistensi manusia itu dijelaskan dalam tiga tingkatan yaitu Dukkha-Dukkha, Viparinama Dukkha, dan Sankhara Dukkha.
Dukkha-Dukkha adalah penderitaan da;am pengertian biasa, yaitu kelahiran, usia tua, penyakit dan kematian. Selain itu termasuk dalam dukkha ini adalah kesedihan, kesakitan, bercampur dengan yang tidak disuykai, berpisah dengan yang dicintai, maupun tidak memperoleh apa yang didambakan.
Dalam Viparinama-Dukkha, sekalipun itu perasaan kesenangan atau suatu kondisi kebahagiaan yang terjadi dalam kehidupan tetap saja tidak kekal, meengalami perubahan.
Sankhara-dukkha, merupakan penderitaan yang melekat dalam struktur manusia itu sendiri, jasmani dan rohani manisia.
SEBAB DAN AKHIR PENDERITAAN
Dukkha itu terjadi karena adanya anggapan bahwa manusia memiliki atta atau aku yang kekal. Anggapan tentang aku inilah yang menyababkan manusia mengalami penderitaan. Selain pandangan mengenai atta yang merupakan kekeliruan atau ketidaktauan (avijja), dukkha juga terjadi karena masih terdapatnya nafsu keinginan indrawi (tanha).
Manusia dan semua eksistensi kehidupan adalah jaringan hubungan yang saling terkait. Manusia sebagai baagian integral dari seluruh kosmos, dan oleh karena itu konteks untuk memahami sifat manusia adalah sifat ketergantungan dari seluruh semesta.
Dengan melenyapkan api keserakahan , kebencian dan kebodohan batin atau ilusi, itulah terletak akhir dari dukkha atau pencapaian Nibbana yang merupakan tujuan tertinggi manusia.
PEMBEBASAN DAN PENCERAHAN
Melalui jalan tengah menghanytar pertapa Siddharta mencapai pembebasan dan pencerahan. Jalan tengah menghantar pada tumbuhnya pandangan terang yang mengatasi pandangan salah mengenai dualism subyek dan obyek seperti : jiwa, dan materi, roh dan tubuh, ada dan tiada, realism dan nihilism.
Dalam pandangan Jalan Tengah tidak ada sesuatu pun yang tetap ada, semua “ menjadi”. Hidup adalah rentetan yang terjadi dari hal-hal yang “ menjadi” untuk sesata dan setelah itu segera tiada lagi. Hidup adalah arus yang terdiri dari hal-hal yang setiap saat terjadi dan tidak pernah berhenti, dan pemahaman ini merupakan cerminan dari pandangan terang.
KEKOSONGAN DAN WELAS ASIH
Suasana sunyata (kekosongan) dan welas asih ( karuna) itulah yang terjai dalam pengalaman kesadaran sempurna Siddharta menjadi Buddha, yang telah tersatukan dengan kesadaran semesta yang melahirkan cara pandang tunggal, yaitu memandang sebagai kesatuan universal. Kesatuan universal yang disebut sebagai sunyata itu adalah non-subtansialis, non – ego, anatta, tanpa inti yang kekal.
Para Buddha yang sejuk dan tersenyum kiranya mengisyaratkan kedalaman Sunyata dan kebahagiaan maha-sukkha Nirwana yang sukar untuk dilukiskan dan dikatakan itu, namun maknanya bag kita mungkin bisa terasakan dalam getaran dan gerakan ntuk terus mentransformasikan kesadaran dalam pencerahan sunyata yang mengandung dan mewujudkan welas asih atau karuna dalam kehidupan yang nyata.
0 comments:
Post a Comment