Chat Here
Manusia Dalam Budhadharma
Poci Retak
Di sela-sela pepohonan, terlihat sebuah bangunan tua. Seekor burung hinggap dengan lincahnya di pucuk atap bangunan. Atapnya walaupun diselimuti lumut tebal, masih terlihat ukiran-ukiran indah di tepiannya, burung itu terbang turun, dan hinggap di jendela sebuah menara. Cahaya mentari menghujam dengan beraninya ke dalam ruangan itu melalui kisi-kisi rapuh. Di dalamnya ada sebuah lonceng raksasa yang didalamnya dipenuhi ukiran-ukiran syair, menandakan bahwa bangunan ini adalah sebuah vihara kuno. Tiba-tiba terdengar suara melengking seperti suara peluit. Burung biru kembali terbang dan hinggap disebuah pintu. Burung seakan tertegun ke dalam ruangan. Apa ada gerangan?
Sumber: http://www.bodhidharma.or.id/dharma-bodhi/70-poci-retak.html
Awal Dari Kebahagiaan
Lihat saja, dimana-mana terjadi perselisihan, pertengkaran, kesalahpahaman, kekhawatiran, kegelisahan dan ketakutan. Gejala-gejala ini sangat mudah kita temui. Sangat mudah kita dengar dan sangat mudah kita rasakan. Tak perlu jauh-jauh mendengarnya dari daerah sempit, ataupun ke Palangkaraya, bila kita mau jujur, justru hal-hal seperti disebutkan di atas ada pada diri kita sendiri, dan ini disebabkan karena adanya kemelekatan akan sang ”Ego” dan sang ”Aku” yang bercokol pada pikiran kita.
Memang terlahir seagai manusia, kita tidak bisa memungkiri sang ”Ego” dan sang ’Aku” ini tidak dapat kita lepaskan 100%. Dari perjalanan untuk menjadi manusia ditinjau dari ilmu biologi, bahwa berjuta-juta sel sperma berusaha bertemu dengan ovum (sel telur) untuk menjadi embrio, ternyata hanya satu atau dua yang bisa menjadi pemenang. Begitu juga sifat manusia, karena kemelekatannya, dia berjuang untuk mendapatkan apa yang dia inginkan tanpa memperdulikan penderitaan orang lain.
Sebagai seorang individu yang beragama, kita harus menyadari tidak semua aspek kehidupan dapat kiata raih dengan sukses, jika sudah berhasil di dalam satu bidang, tekunilah bidang tersebut sampai tuntas, jangan berpaling kebidang lain dan merampas apa yang seharusnya dimiliki oleh orang lain.
Keadaan dunia tidak akan selalu seperti yang kita harapkan, kekuatan alam seperti sinar matahari, hujan, angin dan sinar bulan berguna dan menyenangkan bagi banyak orang tetapi terkadang dapat menjadi gangguan bagi yang lain.
Dengan tidak merampas hak milik orang lain, permasalahan dan perselisihan tidak akan muncul. Ingat, kita harus membayar mahal akan kekacauan yang ada. Kalaupun ada perselisihan gunakan kesabaran dan pengendalian.
” Jika anda memiliki masalah yang besar, cobalah untuk menguranginya hingga menjadi masalah yang kecil. Jika anda mempunyai masalah yang kecil,cobalah untuk menguranginya menjadi tidak ada masalah”.
Dengan melakukan hal-hal tersebut maka masalah-masalah dapat kita tenggelamkan, niscaya kedamaian pun mudah kita ciptakan, mudah kita nikmati dan mudah kita temukan dimanapun kita berada.
” Orang yang penuh semangat, selalu sadar, bajik dan bijaksana dalam perbuatan, mampu mengendalikan diri, hidup sesuai dengan Dharma dan selalu waspada, maka kebahagiannya akan bertambah”.
(Appamada Vagga 4.24)
SANG BUDDHA SEBAGAI PEMBUAT PERDAMAIAN
Dikatakan bahwa orang-orang Sakya dan Koliya membendung air sungai Rohini diantara Kapilavatthu dan Koliya dan mengolah ladang-ladang di kedua tepi sungai itu. Pada bulan Jetthamula, hasil panen mulai menjadi layu, dan para buruh yang dipekerjakan oleh kedua kota itu berkumpul. Orang-orang Koliya berkata, ”Apabila air dialirkan untuk kedua belah sisi sungai, tidak akan mencukupi untuk kedua belah pihak. Karena hasil panen kami hanya akan masak dengan tanpa membagi air itu, biarlah kami memiliki air tersebut.” Tetapi orang-orang Sakya menjawab, ”Setelah lumbung kalian penuh, kami tidak mau menukarkan barang-barang berharga kami dan dengan keranjang dan tas-tas di tangan, pergi dari pintu ke pintu, mengemis dari kalian. Hasil panen kami hanya akan masak dengan tanpa membagi air itu, maka biarlah kami memiliki air tersebut.”
”Kami tidak akan menyerahkannya kepada kalian.”
”Dan kami pun tidak akan membiarkan kalian memilikinya.”
Pembicaraan semakin sengit, seorang memukul yang lain, pukulan dibalas, perkelahian pun pecah, dan ketika mereka berkelahi, mereka melontarkan caci maki terhadap asal-usul masing-masing. Para pekerja Koliya berkata, ”Bawalah anak-anak kalian dan kembalilah ke tempat asal kalian. Bagaimana kami dapat dicelakakan oleh gajah-gajah, kuda-kuda, perisai-perisai, dan senjata-senjata dari orang-orang yang seperti anjing dan serigala hidup sebagai suami istri dengan saudara-saudara perempuan mereka?”
Para pekerja Sakya, ”Kalian penderita kusta bawalah anak-anak kalian dan kembalilah ke tempat asal kalian. Bagaiman kami dapat dicelakakan oleh gajah-gajah, kuda-kuda, perisai-perisai, dan senjata-senjata dari orang-orang buangan melarat yang hidup di atas pohon seperti binatang.
”Kedua kelompok itu masing-masing pulang dan melaporkan pertikaian itu kepada para menteri yang bertugas yanmg selanjutnya melaporkan pada rajanya. Orang-orang Sakya mempersiapkan diri untuk bertempur sambil berkata,”Kami akan memperlihatkan kekuatan dan kemampuan dari orang-orang yang telah hidup sebagai suami istri dengan saudara-saudara perempuan mereka.” Orang-orang Koliya mempersiapkan diri untuk bertempur sambil berkata,”Kami akan memperlihatkan kekuatan dan kemampuan dari orang-orang yang tinggal di atas pohon.”
Ketika Sang Bhagava memandang ke dunia pada dini hari, Beliau melihat sanak saudaranya berkumpul dan duduk bersila, melayang di atas sungai Rohini. Ketika melihat Beliau, mereka membuang senjata dan bersujud kepada Beliau. Lalu Sang Bhagava berkata, ”Apa yang dipertengkarkan, Raja yang agung?”
”Kami tidak mengetahui apa-apa, Bhante!”
”Panglima angkatan bersenjata yang mengetahui.”
Ketika ditanya panglima mengemukakan bahwa Raja Muda mungkin mengetahuinya. Maka Sang Bhagava bertanya kepada mereka satu per satu dan tak seorang pun diantara mereka yang mengetahui penyebab pertikaian, sampai para buruh ditanyai, mereka menjawab, ”Kami bertikai mengenai air.”
Lalu Sang Bhagava berkata kepada raja, ”Berapakah nilai air, raja yang agung?”
”Sangat kecil, Bhante.”
”Berapakah nilai seorang serdadu?”
”Seorang serdadu Bhante, adalah tak ternilai harganya.”
Lalu Sang Bhagava berkata, ”tidaklah benar bahwa demi sedikit air, kalian harus membunuh para serdadu yang tak ternilai harganya.”
Mereka semua terdiam, ”Para raja yang agung, mengapa kalian bertindak demikian? Jika aku tak berada di sini hari ini, kalian akan menyebabkan sebuah sungai darah mengalir. Tindakan kalian tidak berfaedah. Kalian hidup dalam kebencian, menyerahkan diri pada lima jenis kebencian. Aku hidup dengan penuh cinta kasih. Kalian menderita karena nafsu. Aku hidup bebas dari penderitaan. Kalian hidup dengan mengejar lima jenis kesenangan indera. Aku hidup dengan kepuasan hati.”
Sumber: http://www.bodhidharma.or.id/renungan-bodhi/39-renungan-bodhi/135-awal-dari-kebahagian.html
Kakek Berusia Empat Tahun
Melihat pemuda yang penuh keheranan sang kakek berkata: “Oh pemuda, tahun ini saya benar-benar berusia empat tahun! mengapa? Karena sejak dahulu saya berjiwa egois dan tak pernah memikirkan orang lain. Saya tidak pernah tau apa itu kebajikan, hanya menikmati kesenagan diri sendiri dan tidak pernah membantu mereka yang menderita. Empat tahun yang lalu saya mengenal Buddhadharma, yang telah membuka mata saya sehingga mengerti arti kehidupan, serta makna dalam memberikan bantuan kepada orang lain. Buddhadharma telah membangunkan saya dari impian buruk dan menunjukan jalan yang terang, sehingga dalam masa sisa hidup ini saya dapat memberikan cinta kasih dan welas asih kepada orang lain, membagikan kegembiraan kepada semua umat manusia, memiliki kondisi yang baik bagi diri sendiri“.
Kehidupan yang bermakna tidak terletak pada panjang atau pendeknya umur, tetapi yang terpenting adalah bagaimana seseorang dapat menggunakan sisa waktu kehidupannya. Yen Hui, murid utama Nabi Kong Hu Cu, meskipun hanya berusia 30 tahun lebih, namun pandangan hidupnya yang baik selalu mendapat pujian dan penghargaan banyak orang hingga kini. Demikian pula Biksu Shen Chau,yang hanya hidup 30 tahun lebih di dunia ini, namun telah meninggalkan karya sastra tentang filsafat Madyamika yang memberikan sumbangan berharga dalam perkembangan filsafat Buddhis Mahayana.
Setelah melewati hampir seluruh umurnya kakek berusia empat tahun itu baru menemukan makna dan arti kehidupan yang benar, sedangkan kita yang berumur panjang, pernahkah merenungkan apa yang kita harapkan dan apa yang akan kita perbuat dalam kehidupan yang panjang itu? Di dalam Mahayana Sutra Alamkara dikatakan: “Sungguh sulit untuk dapat terlahir sebagai manusia, sungguh sulit untuk menumbuhkan keyakinan, sungguh sulit untuk merasa cukup dan puas atas harta yang diperoleh, dan lebih sulit lagi dapat memperoleh kesempatan untuk berbuat bajik!”.
Kakek yang byang berusia empat tahun tidak menyedihkan, walaupun terlambat namun masih bertemu dengan kebenaran, yang menyedihkan adalah bila kita sia-sia dalam hidup ini, bagaikan hidup dalam mimpi. (Sekolam Bunga Teratai 2)
Hati Manusia Ibarat Timbangan
(1 kg yang sebenarnya adalah 16 kati)
Pemilik toko yang tua itu sudah pernah beberapa kali membuatkan dacin kepada ahli timbangan itu, sangat mempercayai keahliannya, jadi timbangan baru setelah selesai dibuat hari itu juga dibawa ke dalam toko beras untuk dipergunakan.
Bodhidharma
Pengajaran secara langsung di luar Kitab Suci, Tiada tergantung pada kata harfiah atau tulisan, Langsung ditujukan pada jiwa manusia , Melihat ke dalam alam miliknya sendiri untuk pencapaian ke-Buddha-an.
T, Suwarto. 1995. Buddha Dharma Mahayana. Palembang: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia
Kisah Mattakundali
Kisah Cakkhupala Thera
Suatu hari, Cakkhupala Thera berkunjung ke Vihara Jetavana untuk melakukan penghormatan kepada Sang Buddha. Malamnya, saat melakukan meditasi jalan kaki, sang thera tanpa sengaja menginjak banyak serangga sehingga mati. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali serombongan bhikkhu yang mendengar kedatangan sang thera bermaksud mengujunginya. Di tengah jalan, di dekat tempat sang thera menginap mereka melihat banyak serangga yang mati.
"Iiih..., mengapa banyak serangga yang mati di sini?" seru seorang bhikkhu. "Aah, jangan jangan...", celetuk yang lain. "Jangan-jangan apa?" sergah beberapa bhikkhu. "Jangan-jangan ini perbuatan sang thera!" jawabnya. "Kok bisa begitu?" tanya yang lain lagi. "Begini, sebelum sang thera berdiam disini, tak ada kejadian seperti ini. Mungkin sang thera terganggu oleh serangga-serangga itu. Karena jengkelnya ia membunuhinya."
"Itu berarti ia melanggar vinaya, maka perlu kita laporkan kepada Sang Buddha!" seru beberapa bhikkhu. "Benar, mari kita laporkan kepada Sang Buddha, bahwa Cakkhupala Thera telah melanggar vinaya", timpal sebagian besar dari bhikkhu tersebut.
Alih-alih dari mengunjungi sang thera, para bhikkhu itu berubah haluan, berbondong-bondong menghadap Sang Buddha untuk melaporkan temuan mereka, bahwa "Cakkhupala Thera telah melanggar vinaya!"
Mendengar laporan para bhikkhu, Sang Buddha bertanya, "Para bhante, apakah kalian telah melihat sendiri pembunuhan itu?"
"Tidak bhante", jawab mereka serempak.
Sang Buddha kemudian menjawab, "Kalian tidak melihatnya, demikian pula Cakkhupala Thera juga tidak melihat serangga-serangga itu, karena matanya buta. Selain itu Cakkhupala Thera telah mencapai kesucian arahat. Ia telah tidak mempunyai kehendak untuk membunuh."
"Bagaimana seorang yang telah mencapai arahat tetapi matanya buta?" tanya beberapa bhikkhu.
Maka Sang Buddha menceritakan kisah di bawah ini:
Pada kehidupan lampau, Cakkhupala pernah terlahir sebagai seorang tabib yang handal. Suatu ketika datang seorang wanita miskin. "Tuan, tolong sembuhkanlah penyakit mata saya ini. Karena miskin, saya tak bisa membayar pertolongan tuan dengan uang. Tetapi, apabila sembuh, saya berjanji dengan anak-anak saya akan menjadi pembantu tuan", pinta wanita itu. Permintaan itu disanggupi oleh sang tabib.
Perlahan-lahan penyakit mata yang parah itu mulai sembuh. Sebaliknya, wanita itu menjadi ketakutan, apabila penyakit matanya sembuh, ia dan anak-anaknya akan terikat menjadi pembantu tabib itu. Dengan marah-marah ia berbohong kepada sang tabib, bahwa sakit matanya bukannya sembuh, malahan bertambah parah.
Setelah diperiksa dengan cermat, sang tabib tahu bahwa wanita miskin itu telah berbohong kepadanya. Tabib itu menjadi tersinggung dan marah, tetapi tidak diperlihatkan kepada wanita itu. "Oh, kalau begitu akan kuganti obatmu", demikian jawabnya. "Nantikan pembalasanku!" serunya dalam hati. Benar, akhirnya wanita itu menjadi buta total karena pembalasan sang tabib.
Sebagai akibat dari perbuatan jahatnya, tabib itu telah kehilangan penglihatannya pada banyak kehidupan selanjutnya.
Mengakhiri ceritanya, Sang Buddha kemudian membabarkan syair di bawah ini:
"Manopubbangama dhamma
manosettha manomaya
manasa ce padutthena
bhasati va karoti va
tato nam dukkhamanveti
cakkamva vahato padam."
Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu,
pikiran adalah pemimpin,
pikiran adalah pembentuk.
Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran jahat,
maka penderitaan akan mengikutinya,
bagaikan roda pedati mengikuti langkah kaki lembu yang menariknya.
Pada saat khotbah Dhamma itu berakhir, di antara para bhikkhu yang hadir ada yang terbuka mata batinnya dan mencapai tingkat kesucian arahat dengan mempunyai kemampuan batin analitis "Pandangan Terang" (pati-sambhida).
Perangkap Tikus
Renungan Kecil
Kapan ketika kita berhenti menerima? Ada 2 kondisi, yaitu: ketika kita telah tiada, atau ketika yang memberikan telah tiada. Orang hebat bukanlah hanya orang yang memiliki kelebihan atapun kemampuan, melainkan orang yang selama hidupnya berguna bagi orang lain. Orang inilah yang kita sebut hebat, dan orang ini akan terus dikenang dalam hati setiap orang akan kebaikannya dari generasi ke generasi.
Kita dari kecil dibiayai oleh orang tua, mereka yang menghidupi kita hingga kita dewasa nanti dan mempunyai kehidupan sendiri. Tapi yang biasa terjadi kita bisa dengan mudahnya membantu orang lain tetapi sungguh sulit ketika orang tua meminta kita untuk melakukan sesuatu. Cobalah direnungkan sejenak. Kita bisa hidup hingga kini karena orang tua, mereka telah banyak membantu kita dalm hidup ini. Mulai dari mengajari kita bicara, berjalan, meulis, membaca, dan menurunkan semua ilmu yang mereka miliki. Tapi seberapa banyak balas budi kita kepada mereka hingga kini?
Yang kita tahu hanyalah meminta dari orang tua dan jarang memberi kepada orang tua...
Apapun yang mereka berikan kepada kita, hargailah karena mereka tahu apa yang terbaik bagi kita...
Mereka melakukan semuanya atas dasar kasih sayang mereka kepada kita...
Dengarkanlah mereka baik-baik karena mereka tidak ingin terjadi hal yang buruk kepada kita...
Karena yang namanya hidup, tidak akan selamanya mereka ada untuk kita...
Di saat mereka telah tidak ada untuk kita, kita harus meminta kepada siapa?
Jadi, janganlah meremehkan pemberian orang tua, seburuk apapun yang mereka berikan, pemberian tersebut memiliki nilai yang tidak akan sama bagusnya dengan apa yang kita terima dari orang lain.
Selagi kita masih sempat membalas budi, lakukanlah dan jangan menunda-nunda...
1 kutipan yang sangat bermakna untuk kita semua;
"JIKA BUKAN KARENA KASIH SAYANG, KITA TIDAK AKAN SEPERTI SEKARANG"