Oleh Pandita D. Henry Basuki
Menurut para ahli sejarah, seseorang itu dapat dikatakan sebagai orang baik atau tidak, nanti kalau sudah mati. Pada saat hari kematiannya itulah akan menjadi cermin bagi seseorang dikatakan baik atau tidak sepanjang perjalanan hidupnya. Artinya perhatian dan penghormatan yang diberikan oleh sanak keluarga, kerabat jauh atau dekat, pengakuan dari warga masyarakat, serta penghargaan dari bangsa dan negara, terhadap seseorang pada hari kematiannya itulah dapat menjadi ukuran seberapa besar kebaikan yang dilakukan oleh orang yang bersangkutan. Semakin besar jasa kebajikannya, semakin besar pula perhatian, penghormatan, pengakuan dan penghargaan ditujukan kepadanya.
Lain dengan pendapat para ahli ilmu kemanusiaan. Para ahli ilmu kemanusiaan menyanggah pendapat ahli sejarah, bahwa seseorang dapat dinilai sebagai orang baik atau tidak nanti sesudah meninggal dunia, pernyataan itu tidak seluruhnya tepat, benar dan pasti. Sebab kalau kebaikan seseorang hanya dapat dilihat apabila nanti setelah ia meninggal dunia, kemudian bagaimana dengan seseorang yang masih hidup dan apa yang dapat untuk dinilai dalam perjalanan hidupnya sebagai orang baik atau tidak ?
Maka menurut para ahli ilmu kemanusiaan, seseorang dinilai sebagai orang baik atau jahat, dapat diamati melalui pola pikir, gaya hidup, dan kecenderungannya. Dalam bahasa seni hidup kemanusiaan, atau menurut bahasa tubuh dalam ilmu kejiwaan, sekurang-kurangnya terdapat tiga hal bisa dijadikan alat bantu untuk mengukur seseorang itu baik atau tidak. Rumusnya sebagai berikut, pertama miraga, kedua mirama, dan ketiga mirasa.
Lain dengan pendapat para ahli ilmu kemanusiaan. Para ahli ilmu kemanusiaan menyanggah pendapat ahli sejarah, bahwa seseorang dapat dinilai sebagai orang baik atau tidak nanti sesudah meninggal dunia, pernyataan itu tidak seluruhnya tepat, benar dan pasti. Sebab kalau kebaikan seseorang hanya dapat dilihat apabila nanti setelah ia meninggal dunia, kemudian bagaimana dengan seseorang yang masih hidup dan apa yang dapat untuk dinilai dalam perjalanan hidupnya sebagai orang baik atau tidak ?
Maka menurut para ahli ilmu kemanusiaan, seseorang dinilai sebagai orang baik atau jahat, dapat diamati melalui pola pikir, gaya hidup, dan kecenderungannya. Dalam bahasa seni hidup kemanusiaan, atau menurut bahasa tubuh dalam ilmu kejiwaan, sekurang-kurangnya terdapat tiga hal bisa dijadikan alat bantu untuk mengukur seseorang itu baik atau tidak. Rumusnya sebagai berikut, pertama miraga, kedua mirama, dan ketiga mirasa.
- Miraga, meliputi hal-hal yang bersifat fisik, jasmaniah. Artinya secara lahiriah dapat dilihat dengan mata terbuka secara nyata. Pendek kata bagaimana cara menata diri. Ini semua merupakan pantulan dari dalam lubuk hatinya.
- Mirama, adalah hal-hal yang mengandung unsur gerak. Artinya gerak gerik tubuh, maupun anggota badan jasmani. Dapat dilihat dari bagaimana seseorang cara berjalan, cara duduk, cara makan, cara tertawa, cara tidur. Singkatnya saja seluruh gerak gerik anggota tubuh menggambarkan watak dan kecenderungan perilaku seseorang.
- Mirasa, artinya jalan pikiran, termasuk cara bicara dan apa yang dibicarakannya. Dari cara bicara seseorang bisa dengan mudah diprakirakan termasuk golongan kaum terpelajar atau kaum kurang ajar. Adapun menurut bahasa Dhamma, mano kamma, vaci kamma, dan kaya kamma. Seseorang terpuji maupun tercela adalah berasal dari apa yang ia lakukan, ia ucapkan, dan apa yang ia pikirkan.
Pesan para ahli kemanusiaan, untuk menyimpulkan seseorang itu baik atau tidak, hendaknya dilihat dari semua sisi dengan teliti dan telaten. Sebab banyak kebaikan ditunjukkan oleh seseorang akan tetapi segera ternyata, kebaikannya itu untuk menutupi kejahatannya. Atau sebaliknya menurut ukuran dari satu sisi orang itu jelas-jelas culas jelek dan jahat, akan tetapi bila dilihat dari sisi lain ternyata positif, menunjukkan angka-angka besar bernilai kebaikan. Oleh karena itu menurut para ahli ilmu kemanusiaan, tiga aspek tersebut itu tadi merupakan cermin pribadi seseorang tanpa kecuali. Melalui tiga aspek itu pula dapat dinilai sejauh mana kebaikan maupun kejahatan seseorang dalam dirinya.
Sungguh obyektif pesan Dhamma, lihatlah segala sesuatu itu dari sisi yang berbeda sekalipun dengan jelas, dan lihatlah sesuatu itu apa adanya, jangan hanya dilihat apa nampaknya. Kata Buddha, segala sesuatu yang dilihat dari sisi yang berbeda dengan jelas, teliti dan telaten, akan menghasilkan sebuah kesimpulan spektakuler, bukan hanya merupakan sebuah keputusan sepihak dari satu sisi bersifat popular.
Cermin kepribadian dalam beragama
Ternyata banyak juga yang masih belum paham betul arti sesungguhnya apa yang dimaksud sebagai pemeluk agama atau pengikut agama. Sehingga membingungkan juga orang-orang yang nampaknya sudah beragama itu, tetapi pola pikir, gaya hidup dan perilakunya tidak mencerminkan sebagai umat beragama. Ada perbedaan cukup jelas bahwa meskipun sudah sebagai pemeluk agama belum tentu ia sebagai pengikut agama yang dianutnya. Yang dimaksud pengikut adalah mereka yang mendengar nasehat-nasehat, mengikuti petunjuk-petunjuk, serta meniru perilaku para pendiri agama yang dianutnya. Tetapi pemeluk, meskipun sudah memeluk, belum tentu mengikuti petunjuk-petunjuknya, meniru perilaku pendiri agamanya. Untuk itu, meskipun sebagai pemeluk, belum tentu sekaligus sebagai pengikut. Misalnya, Sang Buddha telah meninggalkan bentuk keakuan, atau kekuasaan. Sementara umat-umatnya malah sibuk mencari apa saja yang sudah ditinggalkan oleh Sang Buddha, ke-Aku-an dan kekuasaan.
Selain miraga, mirama, dan mirasa, bagaimana mengukur tinggi rendahnya kadar keimanan umat beragama. Terdapat tiga hal paling tidak bisa menjadi tolok ukur tinggi rendahnya kadar keimanan seseorang dalam beragama secara individu maupun sosial. Tiga hal dimaksud adalah, pertama menjadi umat beragama di tempat ibadah, kedua menjadi umat beragama di rumah, dan ketiga menjadi umat beragama di masyarakat. Pada umumnya belum semua umat beragama dapat mewujudkan tiga aspek hidup beragama di tempat ibadah, di rumah, dan di masyarakat, dengan penuh rasa tanggung jawab secara pribadi, ataupun terhadap keluarganya.
Ada saja seseorang dalam beragama hanya aktif di tempat ibadah, di rumah, atau di masyarakat. Sehingga tidak sedikit para pemuka agama yang amat menonjol di masyarakat akan tetapi keluarganya sendiri justru tidak terurus dengan baik secara agama. Anak pertama pemabuk, anak yang kedua penyabung ayam. Anak ketiga penjudi, sedangkan perilaku anak keempat dan seterusnya semua yang terlarang diterjang. Atau ada seseorang yang bukan main tekunnya ibadah di rumah, bahkan tidak pernah putus (barang satu menit) hubungannya dengan tuhannya, tetapi bertahun-tahun bicara dengan gaya bahasa tidak baku terhadap ayah dan ibu kandung sendiri, dan tidak saling tegur sapa dengan mertuanya yang memberi istri. Karena itu adalah umat beragama paling ideal terpuji kualitas tinggi, apabila bisa menerapkan ketiga cara beragama tersebut secara simultan dan pasti dalam hidup sehari-hari.
Dalam pandangan agama-agama, dan terutama menurut pandangan Buddhis terdapat empat tingkat pola dasar pendidikan moral yang amat berpengaruh pada pembentukan watak jiwa kepribadian seseorang dalam beragama. Empat hal tersebut adalah : etika, estetika, dogma, dan keempat doktrin.
Sungguh obyektif pesan Dhamma, lihatlah segala sesuatu itu dari sisi yang berbeda sekalipun dengan jelas, dan lihatlah sesuatu itu apa adanya, jangan hanya dilihat apa nampaknya. Kata Buddha, segala sesuatu yang dilihat dari sisi yang berbeda dengan jelas, teliti dan telaten, akan menghasilkan sebuah kesimpulan spektakuler, bukan hanya merupakan sebuah keputusan sepihak dari satu sisi bersifat popular.
Cermin kepribadian dalam beragama
Ternyata banyak juga yang masih belum paham betul arti sesungguhnya apa yang dimaksud sebagai pemeluk agama atau pengikut agama. Sehingga membingungkan juga orang-orang yang nampaknya sudah beragama itu, tetapi pola pikir, gaya hidup dan perilakunya tidak mencerminkan sebagai umat beragama. Ada perbedaan cukup jelas bahwa meskipun sudah sebagai pemeluk agama belum tentu ia sebagai pengikut agama yang dianutnya. Yang dimaksud pengikut adalah mereka yang mendengar nasehat-nasehat, mengikuti petunjuk-petunjuk, serta meniru perilaku para pendiri agama yang dianutnya. Tetapi pemeluk, meskipun sudah memeluk, belum tentu mengikuti petunjuk-petunjuknya, meniru perilaku pendiri agamanya. Untuk itu, meskipun sebagai pemeluk, belum tentu sekaligus sebagai pengikut. Misalnya, Sang Buddha telah meninggalkan bentuk keakuan, atau kekuasaan. Sementara umat-umatnya malah sibuk mencari apa saja yang sudah ditinggalkan oleh Sang Buddha, ke-Aku-an dan kekuasaan.
Selain miraga, mirama, dan mirasa, bagaimana mengukur tinggi rendahnya kadar keimanan umat beragama. Terdapat tiga hal paling tidak bisa menjadi tolok ukur tinggi rendahnya kadar keimanan seseorang dalam beragama secara individu maupun sosial. Tiga hal dimaksud adalah, pertama menjadi umat beragama di tempat ibadah, kedua menjadi umat beragama di rumah, dan ketiga menjadi umat beragama di masyarakat. Pada umumnya belum semua umat beragama dapat mewujudkan tiga aspek hidup beragama di tempat ibadah, di rumah, dan di masyarakat, dengan penuh rasa tanggung jawab secara pribadi, ataupun terhadap keluarganya.
Ada saja seseorang dalam beragama hanya aktif di tempat ibadah, di rumah, atau di masyarakat. Sehingga tidak sedikit para pemuka agama yang amat menonjol di masyarakat akan tetapi keluarganya sendiri justru tidak terurus dengan baik secara agama. Anak pertama pemabuk, anak yang kedua penyabung ayam. Anak ketiga penjudi, sedangkan perilaku anak keempat dan seterusnya semua yang terlarang diterjang. Atau ada seseorang yang bukan main tekunnya ibadah di rumah, bahkan tidak pernah putus (barang satu menit) hubungannya dengan tuhannya, tetapi bertahun-tahun bicara dengan gaya bahasa tidak baku terhadap ayah dan ibu kandung sendiri, dan tidak saling tegur sapa dengan mertuanya yang memberi istri. Karena itu adalah umat beragama paling ideal terpuji kualitas tinggi, apabila bisa menerapkan ketiga cara beragama tersebut secara simultan dan pasti dalam hidup sehari-hari.
Dalam pandangan agama-agama, dan terutama menurut pandangan Buddhis terdapat empat tingkat pola dasar pendidikan moral yang amat berpengaruh pada pembentukan watak jiwa kepribadian seseorang dalam beragama. Empat hal tersebut adalah : etika, estetika, dogma, dan keempat doktrin.
- Etika : adalah meliputi budi pekerti, sopan santun, tata krama dalam pergaulan.
- Estetika : meliputi aspek-aspek keindahan seni.
- Dogma : dimaksud di sini adalah cara menumbuhkan hakekat keyakinan melalui tahu, mengerti dan mengalami sendiri.
- Doktrin : di sini adalah hal-hal yang serba logika.
Dalam bahasa Dhamma, dana, sila, samadhi dan pañña. Dari dana, sila, samadhi yang utuh, sebagai wujud nyata dari kerelaan peduli, terhadap orang lain secara santun penuh cinta kasih dan kasih sayang. Memberi karena welas, dan tidak menuntut dibalas. Menjadi manusia yang penuh metta dan pañña seimbang.
Akan tetapi kaum intelek mengatakan agama Buddha anti dogma, yang harus diajarkan adalah hal-hal yang bersifat doktriner imajiner saja, dogma adalah fanatik sempit. Dari cara pandang itu, akibatnya, banyak umat Buddha yang serba logika, tapi lupa akan nilai-nilai etika. Lantaran kurang peduli dengan keindahan seni, pergi ibadah pakai baju mini. Padahal dari dogma yang berdasarkan tahu, mengerti, dan mengalami sendiri akan timbul dari keyakinan yang tidak mudah goyah secara kontekstual.
Kalau saja ketiga-tiganya dapat ditanamkan sejak dini kepada anak-anak didik, terhadap umat-umat beragama, dan kepada masyarakat luas. Pasti dapat diharapkan pertumbuhan anak-anak kelak tahu sopan santun, mengerti budi pekerti, bisa praktek tata krama. Perkembangan umat beragama akan menjadi mantap tidak mudah goyah, meyakini agama sendiri yang terbaik, tidak dengan menjelek-jelekkan agamanya orang lain. Perilaku masyarakat akan mencerminkan watak penuh kepedulian sosial yang merata, serta bisa melestarikan keindahan lingkungannya.
Akan tetapi kaum intelek mengatakan agama Buddha anti dogma, yang harus diajarkan adalah hal-hal yang bersifat doktriner imajiner saja, dogma adalah fanatik sempit. Dari cara pandang itu, akibatnya, banyak umat Buddha yang serba logika, tapi lupa akan nilai-nilai etika. Lantaran kurang peduli dengan keindahan seni, pergi ibadah pakai baju mini. Padahal dari dogma yang berdasarkan tahu, mengerti, dan mengalami sendiri akan timbul dari keyakinan yang tidak mudah goyah secara kontekstual.
Kalau saja ketiga-tiganya dapat ditanamkan sejak dini kepada anak-anak didik, terhadap umat-umat beragama, dan kepada masyarakat luas. Pasti dapat diharapkan pertumbuhan anak-anak kelak tahu sopan santun, mengerti budi pekerti, bisa praktek tata krama. Perkembangan umat beragama akan menjadi mantap tidak mudah goyah, meyakini agama sendiri yang terbaik, tidak dengan menjelek-jelekkan agamanya orang lain. Perilaku masyarakat akan mencerminkan watak penuh kepedulian sosial yang merata, serta bisa melestarikan keindahan lingkungannya.
Sumber: http://artikelbuddhis.blogspot.com
0 comments:
Post a Comment