Apabila Anda membaca artikel di media massa mengenai gaya hidup orang Jepang (terutama anak mudanya), mungkin yang sering diulas adalah tendensi gaya hidup yang hedonis, glamor, atau gambaran mengenai generasi yang kehilangan semangat/ daya juang. Akan tetapi, hal ini tidaklah sepenuhnya benar. Walaupun “gelembung ekonomi” di era 1980-an sempat menciptakan kemakmuran dan gaya hidup yang mewah di Jepang, akan tetapi semangat dasar kepedulian sosial orang Jepang, menurut pendapat penulis, belumlah habis terkikis.
(Artikel berseri: Memetik hal positif dan nilai pembelajaran dari Negeri Sakura)
(Oleh: Willy Yanto Wijaya)
Beberapa waktu yang lalu, penulis sempat ikut bergabung bersama sukarelawan yang membantu menjual mentimun dan beberapa produk pertanian dari Provinsi Fukushima. Seperti yang kita ketahui, insiden reaktor nuklir di Fukushima yang disebabkan oleh terjangan tsunami dan gempa, menyebabkan kekhawatiran publik mengenai keamanan produk pangan yang dihasilkan di daerah tersebut. Pemerintah Jepang sendiri, beberapa saat setelah insiden nuklir, telah mengambil langkah cepat melakukan pengecekan radiasi, dan melarang penjualan beberapa produk seperti bayam dan susu sapi yang mengandung level kontaminasi melebihi ambang batas yang ditetapkan. Karena Provinsi Fukushima sendiri cukup luas, tentu saja tidak semua produk pertanian yang dihasilkan dari daerah tersebut pastilah berbahaya.
Anyway, walaupun mentimun mini yang kami jual (menurut penulis) harganya cukup mahal dan berasal dari Fukushima, akan tetapi ternyata masih banyak pembeli yang bersimpati untuk membeli. Mungkin mereka bersimpati melihat kami anak-anak muda tanpa mengenal lelah terus menerus menawarkan mentimun tersebut, padahal kami tidak digaji untuk hal itu, dan dengan membeli mentimun tersebut mereka merasa sudah ikut membantu meringankan beban hidup petani di Fukushima yang sedikit banyak terkena imbas dari image bahaya radiasi nuklir.
Selain aktivitas volunteer (sukarelawan), di Jepang sendiri, di berbagai tempat, secara berkala sering ada yang namanya Flea Market. Flea Market ini biasanya diadakan oleh komunitas lokal, dan mereka menjual barang-barang mereka yang tidak dibutuhkan lagi (tetapi masih berkualitas bagus/ layak), misalkan pakaian, boneka, mainan anak, piring, dlsb. Seringkali kita bisa mendapatkan barang bagus dengan harga yang sangat murah. Aktivitas Flea Market ini tentunya bukan untuk mencari laba (untung), tetapi lebih kepada pemikiran bahwa daripada dibuang dan menambah beban ke ekosistem bumi, kalau masih bisa bermanfaat untuk orang lain, tentunya akan menjadi nilai tambah baik bagi kelestarian lingkungan dan juga aspek ekonomis kedua belah pihak (pembeli dan penjual).
Aspek menarik dari nilai-nilai berbasis komunitas orang Jepang juga adalah mengenai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Jepang (wah mirip Pancasila sila ke-5 nih) dan pemerataan kekayaan. Penulis sempat heran ketika membaca daftar milyuner dunia majalah Forbes, sangat sedikit sekali orang Jepang yang nongol. Padahal menurut logika, secara Jepang adalah negara dengan PDB kedua terbesar di dunia (sebelum disalip oleh Cina), dan populasi hanya setengah dari Indonesia, tentunya banyak milyuner kaya di Jepang. Akan tetapi, ternyata total kekayaan 10 orang terkaya di Jepang lebih kurang hampir setara dengan total kekayaan 10 orang terkaya di Indonesia!
Prinsip keadilan sosial ini ternyata tidak hanya buat orang Jepang saja, tetapi juga bagi warga negara asing yang tinggal di Jepang. Beberapa teman penulis orang Indonesia yang tinggal di Jepang dan memiliki keluarga, mereka juga mendapatkan tunjangan anak dan juga ada subsidi ketika persalinan (melahirkan), sehingga biaya melahirkan menjadi gratis dan malah ada surplus uang (padahal teman penulis ada yang statusnya masih mahasiswa – sehingga tidak membayar pajak – tapi tetap dapat tunjangan sosial tersebut). Bagaimana kalau di Indonesia? Tidak menjadi “sapi perah” saja sudah merupakan hal yang patut disyukuri oleh warga negara asing yang ada di Indonesia.
Mengapa Jepang bisa seperti itu, kita tidak? Salah satu faktor penting adalah sistem. Sistem yang dilandasi oleh pertimbangan dan kebijaksanaan, dan tentunya juga moralitas dan landasan etika. Sistem yang menghargai nilai-nilai universal, dan tidak diskriminatif (terhadap kelompok, agama, atau suku bangsa tertentu – bandingkan dengan beberapa negara yang menerapkan pajak yang lebih tinggi kepada pemeluk agama minoritas dengan dalih sebagai bentuk perlindungan (dalih yang cukup konyol menurut penulis, karena bukankah pemeluk agama minoritas juga adalah warga negara sah dan resmi negara tersebut), ataupun negara yang memberikan kesempatan yang timpang berdasarkan etnis/ suku). Dengan sistem yang baik, dan moralitas yang baik, tentunya seluruh elemen dari sebuah negara akan merasa menjadi bagian yang sama, merasa dihargai dan diperlakukan sama, dan sebagai kelanjutannya akan memiliki rasa cinta, sense of belonging, dan semangat untuk berkontribusi memajukan negara. Landasan dan nilai-nilai kebijaksanaan seperti itulah yang masih harus banyak kita pelajari dan terapkan di Indonesia.
0 comments:
Post a Comment