Pendahuluan
Zaman sekarang yang ditandai oleh perubahaan pesat di dalam banyak bidang kehidupan disamping kemajuan juga mendatangkan kegelisahan. Dengan kemajuan komunikasi dan informasi dunia menjadi kecil, dan seturut dengan itu timbulah masalah kegelisahan yang menyangkut masalah moral. Banyak orang merasa tidak punya pegangan lagi tentang norma kehidupan. Bunuh diri egoistic dan anomic yang disebut Emile Durkhein dan melanda kehidupan manusia modern merupakan cirri dari kosongnya norma moral dan makna kebersamaan.
Kita dapat membedakan masalah moral yang menyangkut individu dengan masalah moral yang menyangkut hidup dan urusan orang banyak. Moral individu juga punya kaitan dengan orang lain, tetapi kaitan itu tidak sekuat pada moral social yang langsung menyangkut orang banyak. Moralitas mastubasi misalnya, tidak menyangkut banyak orang lain bila dibandingkan dengan moralitas system politik atau system ekonomi.
Dalam situasi perubahan dan kegelisahan yang serba tidak pasti ini, maka etika sangat dibutuhkan guna dapat menemukan patokan bertindak. Pada umumnya terdapat tiga system norma moral yang dijadikan patokan, yakni norma berdasarkan keyakinan akan kewajiban mutlak (deontologis); norma berdasarkan tujuan perbuatan (teleologis); atau norma berdasarkan hubungan-hubungan dengan orang lain(relasional).
Moral dan Etika buddhis
Moral erat kaitannya dengan etika. Moral menyangkut kebaikan. Orang yang tidak baik juga disebut sebagai orang yang tidak bermoral. Etika juga menyangkut tentang kebaikan, yakni sebagai kemampuan untuk menilai mana yang baik dan mana yang buruk. Dalam agama etika merupakan factor motivasi yang mendorong dan melandasi cita-cita dan amal perbuatan.
Dalam agama Buddha, moral dan etika sangat dititikberatkan, dan penegakkan moral merupakan perwujudan dari kebutuhan pengembangan diri dari manusia yang selalu berproses. Lebih dari sekedar melakukan upacara, Buddha menekankan untuk menegakan moral atau menjalankan sila, hidup bersusila “Saya tak akan menaruh kayu, Brahmana, untuk umpan api di altar. Hanya didalam diri, api saya nyalakan. Dengan api yang tidk putus-putus membakar ini, dan dengan diri yang selalu dikendalikan, saya jalani kehidupan mulia dan luhur. “ (Samyuttta Nikaya, 2320).
Dalam agama Buddha prilaku moral mengandung dua aspek, aspek negatif: hindarilah atau jangan berbuat kejahatan (papasanakaranam) dan aspek positif : kembangkanlah kebaikan (kusalaupasampada). Keduanya merupakan pasangan terhadap satu sama lain. Pengekangan diri terhadap pembunuhan, misalnya yang merupakan aspek positif dalam pelaksanaan cinta kasih terhadap semua makhluk
“Jangan berbuat jahat. Berbuatlah kebaikan. Sucikan hati dan pikiran.” Inilah inti ajaran para Buddha.
Didalam setiap kebaktian, umat Buddha setelah mengungkapkan keyakinan terhadap Triratna ; Buddha, Dharma dan Sangha, melanjutkan dengan membacakan paritha Pancasila, Lima Sila paling dasar dari kebajikan moral yang wajib dilaksanakan oleh umat Buddha, yaitu : jangan makan minuman yang memabukan dan yang melemahkan kesadaran.
Sila atau moralitas dalam agama Buddha juga terkandung didalam beruas delapan untuk menghentikan dukka, disamping meditasi meditasi dan panna, (kebijaksanaan), yaitu : ucapan benar (sammavacca), perbuatan benar (samma kammanta), dan mata pencaharian benar (sama Ajiva).
Sang Buddha menyebutkan tentang adanya sifat dasar yang melandasi perbuatan manusia, yaitu: merindukan kesenangan (sukhama), dan menghindari kesakitan (dukkhapatikula). Begitupun prilaku manusia bisa didasari oleh motif-motif laten yang terdapat didalam dirinya seperti : keinginan terhadap kelangsungan (bhawa-tanha), keinginan terhadap kenikmatan (kamatanha), atau keinginan akan kehancuran (vibhavatanha).
Terhadap adanya sifat-sifat dasar atau motif-motif alten tersebut, maka penegakkan moral dalam hidup bersusila sangat penting dan ditegaskan oleh Sang Buddha.
“Orang yang selalu mencari kesenangan tidak dapat mengendalikan indria-indrianya, malas dan lemah, ia pasti akan ditaklukan oleh mara, bagaikan pohon kayu yang lemah ditumbangkan oleh angin topan yang dahsyat.” (Dhammapada 7).
“Orang yang dapat mengendalikan indrianya bagaikan seorang kusir yang dapat mengendalikan kudanya, yang telah dapat menghilangkan kesombongannya dan hanya dengan ulet dapat membersihkan batinnya dari noda-noda. Orang seperti ini dicintai oleh para dewa.” (Dhammapada 94)
Sehubungan dengan tindakan-tindakan yang berkenan dengan relasi terhadap yang lain, Sang Buddha menyebutkan terdapatnya empat tipe orang, yaitu : pertama orang yang menyiksa dirinya seperti pertapa, kedua orang yang menyiksa orang lain seperti pemburu, ketiganya orang yang menyiksa dirinya maupun yang lain seperti dalam penyelenggaraan korban besar-besaran, dan keempat orang yang tidak menyiksa yang lain, seperti arahat atau orang suci.
Perbuatan manusia juga tidak dpat dilepaskan dari hubungan-hubungan dan sikapnya dengan orang lain. Dan inipun menentukan mutu kehidupannya.
“Orang yang mencari kebahagiaan dnegan menyakiti orang lain yang juga mendambakan kebahagiaan, maka orang itu tidak akan mendapatkan kebahagiaan setelah kematiannya. Orang yang mencari kebahagiaan dengan tidak menyakiti orang lain yang juga mendambakan kebahagiaan, maka ia akan mendapatkan kebahagiaan setelah matinya”. (Dhammapada 131).
Bersusila yang mandiri
Terhadap kehidupan bersusila, Sang Buddha menekankan agar kita hendaknya agar kita hendaknya dapat bersikap mandiri, otonom, sebagaimana yang diungkapkannya dengan istilah “Jadilah pulau bagi dirimu sendiri”. Moralitas atau hidup yang bersusila yang mandiri ini adalah dimana kita sendirilah yang dapat memutuskan secara kritis mana yang baik dan mana yang benar, yang dapat kita lakukan melalui kesadaran yang terdapat didalam diri kita.
“Kesadaran adalah jalan menuju kekekalan. Ketidaksadaran adalah jalan menuju kematian, mereka yang sadar tidak akan mati. Orang yang tidak sadar seolah-olah telah mati” (Dhammapada 21)
“Diri sendirilah yang membuat diri jadi jahat. Drii sendirilah yang membuat diri jadi ternoda. Diri sendirilah yang membuat kejahatan terjadi. Namun diri menjadi suci dari noda”. (Dhammapada 165).
Perbuatan manusia dalam agama Buddha juga diatur didalam hokum karma atau sebab-sebab akibat perbuatan. Dinyatakan bahwa perbuatan baik (kusala kamma) akan mendatangkan kebahagiaan dan perbuatan buruk (akusala kamma) akan menghasilkan penderitaan. Perbuatan (kamma) tersbut dapat melalui pikiran (man0), ucapan (vacci) maupun tindakan jasmani (kaya), dan berdaya akibat bila disertai dnegan cetana (niat atau akibat).
Perilaku (karma) seseorang juga ditentukan oleh factor-faktor seperti : rangsangan luar (kontak) misalnya ; situasi; motif yang disadari, misalnya keserakahan, kebencian; dan motif yang tidak disadari. Misalnya keinginan untuk hidup langgeng (jivitukama), keinginan untuk menghindari dari kematian maritukama), keingianan untuk menikmati kesenangan (sukhama), dan penghindaran dari kesakitan (dukkhapatikkula).
“Tidak diangkasa, ditengah lautan ataupun didalam gua-gua gunung; tidak dimanapun seseorang dapat menyembunyikan dirinya dari akibat perbuatan-perbuatan jahatnya.” (Dhammapada 127).
Terhadap perbuatan-perbuatan yang akan kita lakukan, dan bekerjanya hukum karma ini, Sang Buddha juga menganjurkan kita untuk memiliki Hiri dan Otapa atau memiliki rasa malu melakukan perbuatan buruk/salah dan rasa takut akibat dari perbuatan buruk/salah. Disamping berupaya menyadari dan waspada terhadap kecenderungan laten yang mendadari prilaku misalnya melalui hening meditasi.
Sikap Peduli Bodhisattva.
Dalam perkembangan sejarahnya, agama Buddha terpecah menjadi dua mashab besar. Diperkirakan sejak awal abad pertama masehi perpecahan itu memunculkan dua mashab besar : Theravada dan Mahayana. Meski bersumber kepada Buddha Dharma, kedua mashab dengan cirri-ciri masing-masing ajaran ini turut memberikan corak yang khas bagi perilaku penganutnya maupun perwujudannya dalam dunia social dan budaya.
Theravada lebih bersifat ortodoks, bertujuan mencapai cita-cita Arahat (menjadi orang suci) dengan berupaya melenyapkan sifat-sifat negatif yang merupakan belenggu (samyojanna) yang terdapat didalam diri seperti seperti : kepercayaan terhadapku, keraguan, keyakinan bahwa upacara dapat membebaskan, keinginan akan kesenangan indria, kemarahan, keinginan kelangsungan, keinginan pemusnahan, kesombongan, ketidak seimbangan, dan kegelapan batin.
Prinsip negasi-negasionis (melenyapkan yang negatif) ini menjadikan kaum Thjeravedin begitu patuh terhadap prinsip moral dalam sila, serta melakukan meditasi perbersihan batin.
Mahayana lebih bersifat liberal-prograsif, dengan mengembangkan cita-cita Boddhisattva: bertujuan menolong semua makhluk yang menderita dengan : bilamana masih ada setangkai daunpun yang menderita saya tidak akan memasukinya meskipun pintu nirvana itu sudah terbuka untuk saya. Terhadap peraturan-peraturan moral atau susila kaum Mahayana tidak melekat begitu saja namun lebih menitik beratkan kepada semangat atau maknanya. Dengan mengembangkan karuna (belas kasih) kepad segenap makhluk yang menderita, dan dengan tercapainya pemahaman sunyata (kekosongan) melalui prajna (kebijaksanaan trassenden) yang menjadikan dirinya tidak terikat lagi, kaum Mahayana mengembangkan paramita atau kesempurnaan kebajikan (sifat-sifat yang positif) seperti: kedermawanan, moralitas, kesabaran, tekad, mediasi dan kebijaksanaan.
Dengan mengembangkan sad atau enam paramita ini kaum Mahayana mengupayakan berbagai macam cara untuk dapat berbuat baik dan menolong makhluk yang masih menderita (upaya kausalya). Kaum Mahayana juga lebih memandang positif terhadap dirinya, karena di dalam dirinya terkandung bodhicitta (benih/kesadaran Buddha) yang perlu ditumbuh-kembangkan, dan juga menjadi suara hati bagi perilakunya.
Dalam mahjab Mahayana pula berkembang pemahaman terhadap konsep Paramatha-Stya dan Semmuti-Satya atau kebenaran mutlak dan kebenaran relatif. Kedua kebenaran ganda ni tidak dipisahkan satu sama lain. Begitu pula tentang Asankhata Dharma dan Sankhata Dharma atau realitas yang absolut dan realitas yang relatif.
Kebenaran dan realitas dan adanya. Dunia merupakan lading subur bagi penanaman paramita dalam berbagai bidang kehidupan, baik melalui bidang kehidupan, baik melalui pengembangan prajna yang merupakan sumber daya bagi munculnya mansuia-manusia pandai dan cerdas lagi bijaksana, maupun aktualitas karuna yang merupakan sumber daya bagi solidaritas, kepeduliaan terhadap sesama makhluk dan lingkungan.
Bahwa kehidupan dalam dunia yang bersyarat, terkondisi relatif ini merupakan kancah bagi terketemukannya dna berkembagnnya nilai-nilai hakiki, nilai-nilai mutlak yang terkandung dalam moral.
Melalui cita-cita Bodhisattva berdasarkan sunyata (kekosongan, ketidakterikatan) dan karuna (balas kasih), kita mengembangkan kebebasan dan tanggung jawab social, atau moral social seperti misalnya sikap peduli untuk berupaya untuk mengatasi ketidakadilan, kekerasan dan sebagainya.
Kaum Muda Yang Mandiri dan Peduli Etika Buddhis menegaskan untuk hidup bersusila yang mandiri dan peduli. Hidup bersusila ini perlu dibentuk dan ditumbuh-kembangkan, terutama bagi kaum muda yang sedang dalam proses pencaharian diri dan pembentukan idnetitas. Pembentukan pribadi bersusila yag mandiri dan peduli ini sangat penting bagi mahasiswa sebagai kaum muda yang disamping akrab dengan ilmu pengetahuan yang menyangkut teori dan fakta, juga bergumul dengan masalah nilai Kemampuan Mahasiswa untuk memadukan diantara teori, fakta dan nilai, tidak hanya memungkinkan menjadi ilmuwan yang cerdas namun juga menjadi pribadi bersusila yang mandiri dan peduli.
Ciri seorang ilmuwan adalah mampu memadukan antara teori dan nilai fakta. Sedangkan dengan menghubungkan antara teori dan nilai memungkinkan mahasiswa dapat bersikpa selalu budayawan; yang memperhatikan masalah nilai-nilai kehidupan dan menjaga kehidupan ini. Bila seorang mahasiswa mampu menghubungkan antara fakta dan nilai, maka ia telah berperan sebagai seorang agamawan yang secara kritis menilai terhadap apa yang ada dan sekaligus mampu memberi orientasi terhadap apa yang seharusnya atau yang sebenarnya.
Dengan berlandaskan pada sila, keyakinan terhadap hukum karma, , pemahaman terhadap parammaha-satya, sammutti-satya, maupun asankhata-dhamma, sankhata-dhamma, dan pemahaman kritis melalui sunyata serta sikap seorang Bodhisattva yang didasari karuna, maka diharapkan seorang mahasiswa yang bergumul dengan teori, fakta dan nilai, akan memungkinkan terwujudnya pribadi bersusila yang mandiri, otonom, dewasa, dengan bersikap altruis, peduli terhadap lingkungan-dunia, maupun bermoral social yang matang.
[Disajikan dalam “Pekan Orientasi 2 Keluarga Mahasiswa Buddhis Jakarta”, Bumi Tri-dharma, Cipendawa Puncak, 13 – 17 Agustus 1997. Dikutip dari Majalah Buddhis Indonesia Edisi ke 59 / 1997]
Kita dapat membedakan masalah moral yang menyangkut individu dengan masalah moral yang menyangkut hidup dan urusan orang banyak. Moral individu juga punya kaitan dengan orang lain, tetapi kaitan itu tidak sekuat pada moral social yang langsung menyangkut orang banyak. Moralitas mastubasi misalnya, tidak menyangkut banyak orang lain bila dibandingkan dengan moralitas system politik atau system ekonomi.
Dalam situasi perubahan dan kegelisahan yang serba tidak pasti ini, maka etika sangat dibutuhkan guna dapat menemukan patokan bertindak. Pada umumnya terdapat tiga system norma moral yang dijadikan patokan, yakni norma berdasarkan keyakinan akan kewajiban mutlak (deontologis); norma berdasarkan tujuan perbuatan (teleologis); atau norma berdasarkan hubungan-hubungan dengan orang lain(relasional).
Moral dan Etika buddhis
Moral erat kaitannya dengan etika. Moral menyangkut kebaikan. Orang yang tidak baik juga disebut sebagai orang yang tidak bermoral. Etika juga menyangkut tentang kebaikan, yakni sebagai kemampuan untuk menilai mana yang baik dan mana yang buruk. Dalam agama etika merupakan factor motivasi yang mendorong dan melandasi cita-cita dan amal perbuatan.
Dalam agama Buddha, moral dan etika sangat dititikberatkan, dan penegakkan moral merupakan perwujudan dari kebutuhan pengembangan diri dari manusia yang selalu berproses. Lebih dari sekedar melakukan upacara, Buddha menekankan untuk menegakan moral atau menjalankan sila, hidup bersusila “Saya tak akan menaruh kayu, Brahmana, untuk umpan api di altar. Hanya didalam diri, api saya nyalakan. Dengan api yang tidk putus-putus membakar ini, dan dengan diri yang selalu dikendalikan, saya jalani kehidupan mulia dan luhur. “ (Samyuttta Nikaya, 2320).
Dalam agama Buddha prilaku moral mengandung dua aspek, aspek negatif: hindarilah atau jangan berbuat kejahatan (papasanakaranam) dan aspek positif : kembangkanlah kebaikan (kusalaupasampada). Keduanya merupakan pasangan terhadap satu sama lain. Pengekangan diri terhadap pembunuhan, misalnya yang merupakan aspek positif dalam pelaksanaan cinta kasih terhadap semua makhluk
“Jangan berbuat jahat. Berbuatlah kebaikan. Sucikan hati dan pikiran.” Inilah inti ajaran para Buddha.
Didalam setiap kebaktian, umat Buddha setelah mengungkapkan keyakinan terhadap Triratna ; Buddha, Dharma dan Sangha, melanjutkan dengan membacakan paritha Pancasila, Lima Sila paling dasar dari kebajikan moral yang wajib dilaksanakan oleh umat Buddha, yaitu : jangan makan minuman yang memabukan dan yang melemahkan kesadaran.
Sila atau moralitas dalam agama Buddha juga terkandung didalam beruas delapan untuk menghentikan dukka, disamping meditasi meditasi dan panna, (kebijaksanaan), yaitu : ucapan benar (sammavacca), perbuatan benar (samma kammanta), dan mata pencaharian benar (sama Ajiva).
Sang Buddha menyebutkan tentang adanya sifat dasar yang melandasi perbuatan manusia, yaitu: merindukan kesenangan (sukhama), dan menghindari kesakitan (dukkhapatikula). Begitupun prilaku manusia bisa didasari oleh motif-motif laten yang terdapat didalam dirinya seperti : keinginan terhadap kelangsungan (bhawa-tanha), keinginan terhadap kenikmatan (kamatanha), atau keinginan akan kehancuran (vibhavatanha).
Terhadap adanya sifat-sifat dasar atau motif-motif alten tersebut, maka penegakkan moral dalam hidup bersusila sangat penting dan ditegaskan oleh Sang Buddha.
“Orang yang selalu mencari kesenangan tidak dapat mengendalikan indria-indrianya, malas dan lemah, ia pasti akan ditaklukan oleh mara, bagaikan pohon kayu yang lemah ditumbangkan oleh angin topan yang dahsyat.” (Dhammapada 7).
“Orang yang dapat mengendalikan indrianya bagaikan seorang kusir yang dapat mengendalikan kudanya, yang telah dapat menghilangkan kesombongannya dan hanya dengan ulet dapat membersihkan batinnya dari noda-noda. Orang seperti ini dicintai oleh para dewa.” (Dhammapada 94)
Sehubungan dengan tindakan-tindakan yang berkenan dengan relasi terhadap yang lain, Sang Buddha menyebutkan terdapatnya empat tipe orang, yaitu : pertama orang yang menyiksa dirinya seperti pertapa, kedua orang yang menyiksa orang lain seperti pemburu, ketiganya orang yang menyiksa dirinya maupun yang lain seperti dalam penyelenggaraan korban besar-besaran, dan keempat orang yang tidak menyiksa yang lain, seperti arahat atau orang suci.
Perbuatan manusia juga tidak dpat dilepaskan dari hubungan-hubungan dan sikapnya dengan orang lain. Dan inipun menentukan mutu kehidupannya.
“Orang yang mencari kebahagiaan dnegan menyakiti orang lain yang juga mendambakan kebahagiaan, maka orang itu tidak akan mendapatkan kebahagiaan setelah kematiannya. Orang yang mencari kebahagiaan dengan tidak menyakiti orang lain yang juga mendambakan kebahagiaan, maka ia akan mendapatkan kebahagiaan setelah matinya”. (Dhammapada 131).
Bersusila yang mandiri
Terhadap kehidupan bersusila, Sang Buddha menekankan agar kita hendaknya agar kita hendaknya dapat bersikap mandiri, otonom, sebagaimana yang diungkapkannya dengan istilah “Jadilah pulau bagi dirimu sendiri”. Moralitas atau hidup yang bersusila yang mandiri ini adalah dimana kita sendirilah yang dapat memutuskan secara kritis mana yang baik dan mana yang benar, yang dapat kita lakukan melalui kesadaran yang terdapat didalam diri kita.
“Kesadaran adalah jalan menuju kekekalan. Ketidaksadaran adalah jalan menuju kematian, mereka yang sadar tidak akan mati. Orang yang tidak sadar seolah-olah telah mati” (Dhammapada 21)
“Diri sendirilah yang membuat diri jadi jahat. Drii sendirilah yang membuat diri jadi ternoda. Diri sendirilah yang membuat kejahatan terjadi. Namun diri menjadi suci dari noda”. (Dhammapada 165).
Perbuatan manusia dalam agama Buddha juga diatur didalam hokum karma atau sebab-sebab akibat perbuatan. Dinyatakan bahwa perbuatan baik (kusala kamma) akan mendatangkan kebahagiaan dan perbuatan buruk (akusala kamma) akan menghasilkan penderitaan. Perbuatan (kamma) tersbut dapat melalui pikiran (man0), ucapan (vacci) maupun tindakan jasmani (kaya), dan berdaya akibat bila disertai dnegan cetana (niat atau akibat).
Perilaku (karma) seseorang juga ditentukan oleh factor-faktor seperti : rangsangan luar (kontak) misalnya ; situasi; motif yang disadari, misalnya keserakahan, kebencian; dan motif yang tidak disadari. Misalnya keinginan untuk hidup langgeng (jivitukama), keinginan untuk menghindari dari kematian maritukama), keingianan untuk menikmati kesenangan (sukhama), dan penghindaran dari kesakitan (dukkhapatikkula).
“Tidak diangkasa, ditengah lautan ataupun didalam gua-gua gunung; tidak dimanapun seseorang dapat menyembunyikan dirinya dari akibat perbuatan-perbuatan jahatnya.” (Dhammapada 127).
Terhadap perbuatan-perbuatan yang akan kita lakukan, dan bekerjanya hukum karma ini, Sang Buddha juga menganjurkan kita untuk memiliki Hiri dan Otapa atau memiliki rasa malu melakukan perbuatan buruk/salah dan rasa takut akibat dari perbuatan buruk/salah. Disamping berupaya menyadari dan waspada terhadap kecenderungan laten yang mendadari prilaku misalnya melalui hening meditasi.
Sikap Peduli Bodhisattva.
Dalam perkembangan sejarahnya, agama Buddha terpecah menjadi dua mashab besar. Diperkirakan sejak awal abad pertama masehi perpecahan itu memunculkan dua mashab besar : Theravada dan Mahayana. Meski bersumber kepada Buddha Dharma, kedua mashab dengan cirri-ciri masing-masing ajaran ini turut memberikan corak yang khas bagi perilaku penganutnya maupun perwujudannya dalam dunia social dan budaya.
Theravada lebih bersifat ortodoks, bertujuan mencapai cita-cita Arahat (menjadi orang suci) dengan berupaya melenyapkan sifat-sifat negatif yang merupakan belenggu (samyojanna) yang terdapat didalam diri seperti seperti : kepercayaan terhadapku, keraguan, keyakinan bahwa upacara dapat membebaskan, keinginan akan kesenangan indria, kemarahan, keinginan kelangsungan, keinginan pemusnahan, kesombongan, ketidak seimbangan, dan kegelapan batin.
Prinsip negasi-negasionis (melenyapkan yang negatif) ini menjadikan kaum Thjeravedin begitu patuh terhadap prinsip moral dalam sila, serta melakukan meditasi perbersihan batin.
Mahayana lebih bersifat liberal-prograsif, dengan mengembangkan cita-cita Boddhisattva: bertujuan menolong semua makhluk yang menderita dengan : bilamana masih ada setangkai daunpun yang menderita saya tidak akan memasukinya meskipun pintu nirvana itu sudah terbuka untuk saya. Terhadap peraturan-peraturan moral atau susila kaum Mahayana tidak melekat begitu saja namun lebih menitik beratkan kepada semangat atau maknanya. Dengan mengembangkan karuna (belas kasih) kepad segenap makhluk yang menderita, dan dengan tercapainya pemahaman sunyata (kekosongan) melalui prajna (kebijaksanaan trassenden) yang menjadikan dirinya tidak terikat lagi, kaum Mahayana mengembangkan paramita atau kesempurnaan kebajikan (sifat-sifat yang positif) seperti: kedermawanan, moralitas, kesabaran, tekad, mediasi dan kebijaksanaan.
Dengan mengembangkan sad atau enam paramita ini kaum Mahayana mengupayakan berbagai macam cara untuk dapat berbuat baik dan menolong makhluk yang masih menderita (upaya kausalya). Kaum Mahayana juga lebih memandang positif terhadap dirinya, karena di dalam dirinya terkandung bodhicitta (benih/kesadaran Buddha) yang perlu ditumbuh-kembangkan, dan juga menjadi suara hati bagi perilakunya.
Dalam mahjab Mahayana pula berkembang pemahaman terhadap konsep Paramatha-Stya dan Semmuti-Satya atau kebenaran mutlak dan kebenaran relatif. Kedua kebenaran ganda ni tidak dipisahkan satu sama lain. Begitu pula tentang Asankhata Dharma dan Sankhata Dharma atau realitas yang absolut dan realitas yang relatif.
Kebenaran dan realitas dan adanya. Dunia merupakan lading subur bagi penanaman paramita dalam berbagai bidang kehidupan, baik melalui bidang kehidupan, baik melalui pengembangan prajna yang merupakan sumber daya bagi munculnya mansuia-manusia pandai dan cerdas lagi bijaksana, maupun aktualitas karuna yang merupakan sumber daya bagi solidaritas, kepeduliaan terhadap sesama makhluk dan lingkungan.
Bahwa kehidupan dalam dunia yang bersyarat, terkondisi relatif ini merupakan kancah bagi terketemukannya dna berkembagnnya nilai-nilai hakiki, nilai-nilai mutlak yang terkandung dalam moral.
Melalui cita-cita Bodhisattva berdasarkan sunyata (kekosongan, ketidakterikatan) dan karuna (balas kasih), kita mengembangkan kebebasan dan tanggung jawab social, atau moral social seperti misalnya sikap peduli untuk berupaya untuk mengatasi ketidakadilan, kekerasan dan sebagainya.
Kaum Muda Yang Mandiri dan Peduli Etika Buddhis menegaskan untuk hidup bersusila yang mandiri dan peduli. Hidup bersusila ini perlu dibentuk dan ditumbuh-kembangkan, terutama bagi kaum muda yang sedang dalam proses pencaharian diri dan pembentukan idnetitas. Pembentukan pribadi bersusila yag mandiri dan peduli ini sangat penting bagi mahasiswa sebagai kaum muda yang disamping akrab dengan ilmu pengetahuan yang menyangkut teori dan fakta, juga bergumul dengan masalah nilai Kemampuan Mahasiswa untuk memadukan diantara teori, fakta dan nilai, tidak hanya memungkinkan menjadi ilmuwan yang cerdas namun juga menjadi pribadi bersusila yang mandiri dan peduli.
Ciri seorang ilmuwan adalah mampu memadukan antara teori dan nilai fakta. Sedangkan dengan menghubungkan antara teori dan nilai memungkinkan mahasiswa dapat bersikpa selalu budayawan; yang memperhatikan masalah nilai-nilai kehidupan dan menjaga kehidupan ini. Bila seorang mahasiswa mampu menghubungkan antara fakta dan nilai, maka ia telah berperan sebagai seorang agamawan yang secara kritis menilai terhadap apa yang ada dan sekaligus mampu memberi orientasi terhadap apa yang seharusnya atau yang sebenarnya.
Dengan berlandaskan pada sila, keyakinan terhadap hukum karma, , pemahaman terhadap parammaha-satya, sammutti-satya, maupun asankhata-dhamma, sankhata-dhamma, dan pemahaman kritis melalui sunyata serta sikap seorang Bodhisattva yang didasari karuna, maka diharapkan seorang mahasiswa yang bergumul dengan teori, fakta dan nilai, akan memungkinkan terwujudnya pribadi bersusila yang mandiri, otonom, dewasa, dengan bersikap altruis, peduli terhadap lingkungan-dunia, maupun bermoral social yang matang.
[Disajikan dalam “Pekan Orientasi 2 Keluarga Mahasiswa Buddhis Jakarta”, Bumi Tri-dharma, Cipendawa Puncak, 13 – 17 Agustus 1997. Dikutip dari Majalah Buddhis Indonesia Edisi ke 59 / 1997]
0 comments:
Post a Comment