Chat Here

Welcome to peoplewillfindtheway.blogspot.com... Feel free to explore and enjoy!

Nilai Sebuah Kejujuran


"MINTALAH BON STRUK PEMBAYARAN TRANSAKSI ANDA DI KASIR KAMI. Tanpa bon struk, pembayaran belanja Anda dianggap gratis. Kami akan membayar 2 kali lipat transaksi Anda."
Tulisan tersebut terpasang di atas counter kasir dan di atas tempat cuci rambut sebuah jaringan salon terkemuka di Indonesia. Jaringan salon ini biasanya ada di mall atau junction terbaru. Tulisan di atas terasa sedikit berlebihan karena pemilik salon ini kelihatannya tidak bisa mengendalikan operasional salonnya, terutama dalam mengatur arus uang kas yang masuk. Jadi pemilik salon minta bantuan konsumen untuk melaporkan karyawannya yang melakukan kecurangan.

Bila ada orang asing yang mengerti Bahasa Indonesia membaca tulisan itu, pasti dia akan sedikit menggerutu. Konsumen yang membeli seharusnya memang berhak mendapatkan bon struk pembelian layanan tanpa diminta. Struk adalah hak konsumen sebagai tanda bukti pembelian yang sah. Mengapa konsumen harus meminta? Apakah kasirnya malas mencetak struk? Apakah printer struknya sering rusak? Atau gerai yang mau menghemat kertas (go-green) sehingga tidak mencetak struk bila tidak diminta?


Mahalnya Sebuah Kejujuran
Bagi konsumen yang mengerti, tulisan di atas sebenarnya berbicara tentang masalah kejujuran. Kejujuran siapa? Ya kejujuran kasir dalam melakukan transaksi. Maksudnya? Ada oknum kasir yang enggan memasukkan transaksi konsumen ke dalam mesin kasir sehingga transaksi ini tidak tercatat dalam sistem kasir. Dengan demikian pada tutup kasir nanti akan ada kelebihan uang kas di dalam laci atau di dalam kantong oknum kasir itu.
Kemana larinya uang ini? Tergantung kesepakatan antara oknum kasir tadi dan karyawan lain; misalnya dibagi rata sesama karyawan sehingga semua karyawan akan tutup mulut dan tidak melaporkan praktik curang oknum kasir itu pada atasan atau pemilik.

Gerai salon yang saya baru saja datangi termasuk gerai yang sepi meskipun ada di dalam sebual mall. Kabarnya, omset perharinya rata-rata cuma sampai 3 juta, tetapi masing-masing karyawan bisa membawa pulang ekstra 50 ribu (tidak termasuk tip) per harinya. Bila gerai salon tadi memiliki 10 karyawan maka rata-rata per hari ada 500 ribu rupiah yang beredar diluar kasir. Bila dikalikan 30 (hari kerja salon) akan menjadi 15 juta per bulan. Itu baru dari satu gerai salon yang sepi, bisa kita bayangkan jumlah uang yang hilang itu untuk ratusan cabangnya di seluruh Indonesia. Wah jumlah yang cukup besar juga ya?

Memilih Kasir Jujur
Pengalaman saya, sangatlah sulit untuk bisa merekrut kasir yang bisa jujur untuk waktu yang lama. Bilapun ada kasir yang jujur, awalnya saja biasanya jujur, lama-lama bila dia sudah mengetahui kelemahan sistem, tidak jarang hatinya jadi tergoda juga untuk berbuat curang. Fenomena orang kepercayaan juga begitu. Kadang-kadang justru orang kepercayaanlah yang banyak "meminjam" atau menghilangkan uang perusahaan. Karyawan ataupun kasir yang paling jujur adalah diri kita sendiri, bila kita adalah seorang pemilik bisnis yang mau menunggui gerai kita setiap hari.

Memasang Internet Kamera
Pemilik bisnis bisa memasang internet camera (CCTV) pada beberapa sudut gerainya, sehingga setiap gerak-gerik karyawan bisa dimonitor dan bila perlu diputar ulang untuk penyidikan. Bila karyawan tahu setiap gerakannya diawasi, tingkah laku karyawan niscaya akan berangsur berubah. Kelemahan dari solusi ini adalah adanya biaya investasi awal pembelian hardware dan biaya bulanan akses internet. Bila anda berpikir untuk menjalankan solusi ini secara off-line(gambar direkam di hard-disk lokal) jangan heran bila hardware Anda akan sering gagal atau bermasalah. Saat terjadi kasus kehilangan atau pencurian, sering camera CCTV pas sedang tidak bekerja alias rusak (atau sengaja dimatikan oleh si oknum karyawan).

Memakai Sistem Reward and Punishment
Sistim reward and punishment seperti memasang tulisan peringatan kepada konsumen untuk minta struk kasir bisa saja dilakukan dan terkesan cukup bijaksana untuk dilakukan. Akan tetapi cara ini juga cukup mudah disiasati oleh oknum kasir yang berpengalaman.

Sungguh diluar dugaan, saya pernah menemukan seorang oknum kasir yang saat hendak menghitung barang mengajukan pertanyaan, "Pak, mau dicetak struknya nggak?" Saya diam saja, kemudian dia melanjutkan sambil jarinya menunjuk sebuah stiker di mesin cash register: "Kalau tidak cetak struk hemat kertas, kan go-green pak." Wah berapa banyak konsumen yang bersimpati dan mengiyakan untuk tidak minta struk, dan berapa banyak konsumen yang sudah terperdaya dengan alasan oknum kasir seperti ini.

Pembayaran Non-Cash dengan EDC
Cara paling jitu untuk mengatasi masalah kejujuran kasir seperti di atas adalah dengan menggunakan teknologi mesinElectronic Data Capture (EDC) dari bank penerbit kartu debit atau kartu kredit. Jadi semua transaksi di gerai dilakukan secara non-cash melalui mesin EDC yang diarahkan masuk ke satu nomor rekening tertentu (yang tidak bisa diubah tanpa persetujuan pemilik rekening). Lebih praktis karena tidak ada risiko uang palsu, risiko salah hitung, risiko saat setor tunai, atau risiko uang hilang.

Untuk bisa memiliki fasilitas mesin EDC ini memang dikenai biaya 2% untuk pembayaran dengan kartu kredit dan 0% untuk pembayaran dengan kartu debit. Bila pembayaran pelanggan bisa berangsur-angsur diarahkan menjadi non-cashmemakai debit card; maka risiko kehilangan transaksi yang disebabkan oleh oknum kasir akan tidak lagi terjadi.
Untuk mendorong pelanggan membayar dengan debit card, Anda bisa memberikan diskon tambahan 1% khusus untuk pembayaran dengan debit card. Pelanggan yang membayar cash tidak mendapatkan diskon. Pertanyaannya hanya: "Beranikah Anda hanya menerima transaksi non-cash?"
Selamat mencoba.
_________
Drs. Mukti Wibawa, MBAInspirational Business Motivator & Marketing Consultant
mukti@consultant.com
http://www.andriewongso.com/artikel/artikel_tetap/3522/Nilai_Sebuah_Kejujuran/

Penebang Kayu yang Tidak Tahu Budi



Pada jaman dahulu, di suatu desa, ada seorang penebang kayu yang sangat miskin, sehingga dia hanya mempunyai sebuah kapak untuk bekerja dan menghidupi anak-anak dan istrinya. Dengan sangat sulit dia bisa memperoleh enam pence (sejenis mata uang) setiap hari. Dia dan istrinya harus bekerja membanting tulang dari subuh hingga larut malam agar mereka dapat hidup dengan tidak kehabisan makanan. Apabila mereka beristirahat, mereka tidak akan mendapatkan apa-apa.
“Apa yang harus saya lakukan?” katanya, suatu hari, “Saya sekarang sangat lelah, istri dan anakku tidak memiliki apa-apa untuk dimakan, dan saya sudah tidak sekuat dulu lagi memegang kapak ini, untuk memperoleh sekerat roti untuk keluargaku. Ah, begitu buruknya nasib bagi orang miskin, ketika mereka dilahirkan ke dunia ini.”
Sementara dia masih berkeluh-kesah, sebuah suara memanggilnya dengan penuh rasa iba: “Apa yang kamu keluhkan?”
“Bagaimana saya tidak suka mengeluh, apabila saya tidak memiliki makanan?” katanya. “Pulanglah ke rumahmu,” kata suara itu, “galilah tanah di sudut pekaranganmu, dan kamu akan menemukan harta karun di bawah sebuah dahan yang telah mati.
Ketika penebang kayu ini mendengar hal ini, dia langsung berlutut di tanah, dan berkata: “Tuan, siapakah nama tuan? siapakah tuan yang begitu baik hati?”
“Namaku Merlin,” kata suara itu.
“Ah! Tuan, Tuhan akan memberkahimu apabila kamu datang menolongku dan menyelamatkan keluargaku dari kemelaratan.”
“Pergilah cepat,” kata suara itu, “dan dalam satu tahun, kembalilah ke sini, dan berikanlah saya penjelasan tentang apa saja yang kamu lakukan dengan uang yang kamu temukan di sudut pekaranganmu.”
“Tuan, Saya akan mengunjungimu dalam satu tahun, atau setiap hari, apabila kamu memerintahkan saya.”
Lalu sang penebang kayu pulang ke rumahnya, menggali tanah pada sudut pekarangannya dan disana dia menemukan harta karun yang telah dijanjikan. Betapa gembiranya mereka sekeluarga karena telah lepas dari kemiskinan.
Karena tidak ingin tetangganya tahu mengapa mereka tiba-tiba menjadi kaya, dia masih pergi ke dalam hutan dengan membawa kapak, sehingga seolah-olah dia bekerja keras dan secara perlahan-lahan terangkat dari kemiskinan menjadi kemakmuran.
Pada akhir tahun, dia pergi ke dalam hutan untuk memenuhi janjinya. Dan suara itu berkata, “Jadi kamu akhirnya datang!” “Ya Tuan,” “Dan bagaimana kamu membelanjakan harta tersebut?” “Tuan, keluargaku sudah dapat makan makanan yang baik dan berpakaian yang bagus, dan kami selalu berterima kasih kepadamu setiap hari.”
“Keadaan kamu sekarang menjadi lebih baik kalau begitu, tapi katakan padaku, apakah masih ada hal yang kamu inginkan?” “Ah, ya, Tuan, saya ingin menjadi walikota di tempat saya.”
“Baiklah, dalam empat puluh hari kamu akan menjadi walikota.”
“Oh, beribu-ribu terima kasih, pelindungku yang baik.”
Pada tahun kedua, penebang kayu yang kaya datang ke hutan dengan baju baru yang sangat baik dan mengenakan atribut bahwa dia adalah walikota.
Bapak Merlin,” panggilnya, “datanglah dan berbicaralah padaku.”
“Saya di sini,” kata suara itu, “apa yang kamu harapkan?”
“Seorang pejabat tinggi baru saja meninggal kemarin, dan anak laki-laki saya, dengan bantuanmu, ingin menggantikannya, Saya meminta kebaikan hatimu.”
“Dalam empat puluh hari, hal yang kamu inginkan akan terwujud,” kata Merlin.
Begitu pula dalam empat puluh hari, anaknya menjadi pejabat tinggi, dan mereka masih juga belum puas.
Pada akhir tahun ketiga, penebang kayu tersebut mencari lagi Merlin di hutan, dan dengan suara yang merendahkan, dia berkata “Merlin, maukah kamu membantu saya?”
“Apa yang kamu kehendaki?” kata suara itu.
“Putriku berharap agar dapat menikah dengan seorang pejabat,” katanya. “Harapanmu akan terwujud,” balas Merlin, dan dalam empat puluh hari, anak perempuan penebang kayu itu menikah dengan seorang pejabat.
Dan begitulah akhirnya waktu terus berlalu, hingga pada akhir tahun keempat, istrinya yang bijaksana menyuruhnya kembali kesana untuk berterima kasih, tetapi penebang kayu itu menjawab:”Mengapa saya harus masuk kembali ke hutan itu untuk berbicara dengan mahluk yang tidak pernah saya lihat? Saya sekarang sangat kaya, mempunyai banyak teman, dan namaku sangat di hormati semua orang.”
“Pergilah sekali lagi,” kata istrinya, “Kamu harus memberi dia salam dan berterima kasih atas segala kebaikannya.”
Akhirnya penebang kayu itu dengan menunggangi kudanya, diikuti oleh dua orang pelayan, masuk ke dalam hutan dan mulai berteriak: “Merlot! Merlot! Saya tidak membutuhkan kamu lagi, karena sekarang saya cukup kaya.” Merlin membalasnya, “Sepertinya kamu lupa saat kamu masih miskin, tidak cukup makan, dengan hanya berbekal kapak, kamu dengan susah payah mendapatkan enam pence setiap hari! Saya saya memberikan kamu berkah pertama kali, kamu berlutut dengan kedua kakimu, dan memanggil saya ‘Tuan‘, setelah berkah kedua, kamu hanya memanggil saya ‘Bapak‘ dan setelah yang ketiga, kamu memanggilku dengan ‘Merlin‘ saja, sekarang dengan sombongnya kamu memanggilku ‘Merlot‘! kamu mungkin berpikir bahwa kamu sudah sangat kaya dan hidup dengan baik dan tidak memerlukan lagi saya, Mari kita lihat nanti, selama ini kamu tidak memiliki hati yang baik dan selalu bertindak bodoh, tetaplah menjadi bodoh, dan tetaplah menjadi miskin seperti saat pertama saya bertemu dengan kamu.” Penebang kayu itu tertawa terbahak-bahak, mengangkat bahunya dan tidak mempercayai apa yang dikatakan kepadanya.
Dia kembali ke rumahnya, tapi dengan cepat anaknya yang sekarang menjadi pejabat tinggi, meninggal, putrinya yang menjadi istri seorang pejabat juga menderita sakit keras dan akhirnya meninggal. Kesialan menimpanya terus menerus dan saat perang pecah, serdadu dari kedua belah pihak yang berperang, memasuki rumahnya, merampas minuman dan makanan yang ada di lumbungnya, membakar semua ladangnya, juga rumahnya, hingga dia tidak memiliki uang satu penny pun.
Ketika tiba masa untuk membayar pajak, dia tidak mempunyai uang di kantongnya, sehingga dia terpaksa menjual semua ladangnya. “Lihat,” kata penebang kayu yang tidak tahu berterimakasih itu, sambil menangis, “Saya telah kehilangan semua yang saya miliki, uang, ladang, kuda, anak-anakku! Mengapa saya tidak percaya kepada Merlin? hanya kematian yang belum menjemput saya, saya sudah tidak tahan dengan penderitaan ini.”
“Tidak begitu,” kata istrinya yang bijaksana, “Kita harus mulai bekerja keras kembali.” “Dengan apa?” kata penebang kayu, “Kita bahkan sudah tidak memiliki seekor keledaipun untuk bekerja!”
“Dengan apa yang Tuhan berikan kepada kita,” kata istrinya lagi.
Tuhan hanya memberikan mereka sebuah keranjang, yang dipinjam dari tetangganya. Dengan keranjang ini di punggungnya dan kapak di tangannya, dia akhirnya masuk ke hutan untuk bekerja menebang kayu, mencoba untuk mencari kayu untuk mendapatkan enam pence sehari.
Semenjak itu, dia tidak pernah mendengar suara Merlin lagi.
By Mrs. E. B. Maw
Sumber : http://pempeknyonya.com/pempek/2011/06/penebang-kayu-yang-tidak-tahu-budi/