Chat Here

Welcome to peoplewillfindtheway.blogspot.com... Feel free to explore and enjoy!

Xu Yuehua, Tanpa Kaki Merawat 130 Anak Yatim Piatu

Xu Yuehua, seorang wanita tanpa kaki yang mendedikasikan hidupnya untuk merawat sebuah yatim piatu di China, sungguh perkerjaan yang luar biasa. Dulunya Xu Yuehua adalah seorang gadis kecil yang normal seperti teman-temannya. Sampai pada suatu saat, waktu mengumpulkan batubara di rel kereta api. dan sebuah kecelakaan kereta api membuat Xu kehilangan kedua kakinya pada usia 13 tahun. Tidak ada kaki di usia yang sangat muda mungkin bagai dunia telah berakhir bagi Xu yuenhua. Apalagi Xu Yuehua saat itu adalah yatim piatu. Tidak semua orang bisa menghadapi kenyataan hidup ini.


Xu Yuehua dengan sabar mengurus anak yatim piatu


Disaat dimasa frustasi, Xu Yuehua segera sadar untuk menjadikan hidup dan tubuhnya berguna untuk sesama selama dia diberi kesempatan hidup di dunia. Ia telah merasakan waktu kecil sebagai yatim piatu dulu, dan dengan mengandalkan dua kursi kayu pendek untuk menyangga tubuhnya dan untuk berjalan, Xu melanjutkan hidupnya dengan tujuan dan semangat yang mulia, yaitu mengasuh dan membesarkan anak-anak yatim piatu.

Di Xiangtan Social Welfare House yang membantunya melalui masa-masa sulit ini Xu menemukan panggilannya. Saat ini, Xu telah menjalani 37 tahun merawat anak-anak yatim piatu di lembaga kemanusiaan ini. Dengan keterbatasannya, sudah 130 anak yang dibesarkan Xu. Memang tidak mudah untuk berpindah dari ranjang yang satu ke ranjang lain menggunakan bangku pendek. Belum lagi saat harus menyusui, meredakan tangisan bayi yang rewel dan mengajak mereka bermain. Namun wanita yang disebut ‘The Stool Mama’ ini melakukan semua hal dengan sebaik-baiknya.

Dengan melakukan yang terbaik, satu per satu kekhawatiran dalam kehidupan Xu Yuehua seakan dijawab oleh Yang Maha Kuasa. Pada tahun 1987, Xu menikah dengan Lai Ziyuan, seorang petani sayur di panti asuhan yang sama dan melahirkan anak laki-laki, Lai Mingzhi, tiga tahun kemudian. Xu mengaku sangat bahagia dengan hidup dan pengabdiannya.

Dalam benaknya, cacat fisik bukanlah menjadi batasan ataupun halangan seseorang untuk melakukan sesuatu dan berbagi demi mengurusi orang lain. Bahkan dengan kerendahannya hatinya yang sangat tulus, perempuan tersebut mengatakan, dirinya bukanlah orang hebat. Apa yang dilakukannya semata-mata hanya untuk memberikan kasih sayang seorang ibu. Untuk anak-anak yang nasibnya kurang beruntung, karena telah kehilangan orang tua.

Ia telah merasakan kehilangan kedua orangtuanya sejak masih kecil. Mulai saat itulah, dirinya dirawat di Rumah Yatim Piatu Xiantan. Dengan menggunakan kursi kecil untuk menggantikan kedua kakinya tersebut, Xu mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Seperti memberi makan, mencuci, mengganti selimut, bahkan kadang membuatkan sepatu untuk 130 anak yatim asuhannya.



Xu Yuehua sedang berbincang dengan Sheng Li anak yatim pertama yang dibesarkan olehnya

Mengasuh dengan Sepenuh Hati
Seperti dikutip dari Orange.co.uk, Rabu (22/12), Sheng Li, salah seorang anak asuh Xu Yueahua menuturkan, bahwa Xu merupakan pahlawan di mata anak-anak penghuni rumah panti asuhan Xiantan. “Tanpa Ibu Besar (panggilan untuk Xu Yuehua), mungkin saya sudah meninggal sejak lama. Suara kursi kecil yang menjadi tanda datangnya Ibu Besar merupakan suara yang terindah yang pernah saya dengar hingga saat ini,” ungkap Sheng Li.Meski telah memiliki keluarga sendiri Xu tetap merawat anak-anak di panti asuhan di tempat dirinya dulu dibesarkan. “Saya bukanlah orang hebat. Saya hanya melakukan apa yang seharusnya saya lakukan, yaitu memberikan kasih sayang seorang ibu untuk anak-anak malang itu,” ucap Xu merendah. 


Sebuah pelajaran yang sangat berharga, bahwa kebahagiaan selalu ada dalam setiap orang yang selalu berpikir positif, berpikir maju dan tidak berkubang dalam penderitaannya


Sumber : http://forum.kompas.com/internasional/46461-xu-yuehua-tanpa-kaki-merawat-130-anak-yatim-piatu.html

Anak 6 Tahun Jualan Limun Demi Selamatkan Ayahnya

Suatu kali Drew Cox, 6 tahun, menggelar meja di depan halaman rumahnya yang berumput dan tak berpagar di Gladewater, Texas, Amerika Serikat. Di situlah ia berjualan limun dalam gelas di atas meja dengan selembar karton bertulisan "Please Help My Dad". Ia menjual limun 25 cent segelasnya.

Semula tetangganya tak begitu memperhatikannya. Namun setelah ada tetangganya yang menghampirinya dan membaca karton itu, si tetangga kontan tersentuh hatinya. Drew, anak pasangan Randy Cox dan Tonya Cooley Cox, berjualan limun dan makanan kecil untuk mengumpulkan uang yang akan diberikan pada orangtuanya untuk menebus obat-obatan bagi sang ayah, Randy Cox, 30 tahun.

Randy memang didiagnosa terkena penyakit seminoma, sejenis kanker yang langka. Untuk penyembuhannya ia harus menjalani terapi dengan biaya yang lumayan besar. Randy harus menjalani empat siklus terapi. Seminggu pertama ia harus datang ke tempat pengobatannya dan menjalani terapi selama enam jam setiap hari selama seminggu. Setelah itu berhenti selama dua minggu. Kemudian terapi lagi seminggu dan berhenti dua minggu. Dan seterusnya.

"Saya sedih. Saya ingin ayah bisa kembali sehat," kata Drew memberi alasan kenapa berjualan limun seperti dikutip KLTV, Texas. "Saya melakukan ini (berjualan) karena ingin menolongnya dengan mengumpulkan uang untuk menebus obat," katanya lagi.

Randy mengaku sedih melihat apa yang dilakukan anak pertama dari tiga anaknya itu. "Itu ungkapan kasih sayangnya pada saya," katanya.


drewLalu kabar pun tersebar. Para tetangganya datang ke halaman rumah Randy untuk membeli limun Drew. Bahkan orang-orang di kawasan yang berada di luar kompleks rumahnya pun berdatangan. Dalam sehari itu jalanan di depan rumah Randy penuh oleh mobil-mobil yang diparkir. Sejumlah orang, baik anak-anak maupun orang dewasa ramai-ramai membantu Drew untuk melayani pembeli lain. Dan tentu saja mereka membayar tak seharga seperti yang ditawarkan Drew, 25 cent segelas. Hari itu Drew bisa mengumpulkan pendapatan sampai US$10.000.

Tak hanya itu, orangtua teman sekolah Drew ada juga yang menggagas penggalangan dana lewat Facebook. Dan dalam waktu yang tak terlalu lama sudah terkumpul US$3.500. "Kita tahu bahwa cinta bisa datang dari seorang anak kecil. Sangat mengagumkan," kata seorang penyumbang. (foto: KLRV.com)


Sumber : http://m.andriewongso.com/artikel/aw_corner/5172/Anak_6_Tahun_Jualan_Limun_Demi_Selamatkan_Ayahnya/

Kisah Nyata - Semangkuk Nasi Putih

Pada sebuah senja dua puluh tahun yang lalu ada seorang pemuda yang kelihatannya seperti seorang mahasiswa berjalan mondar mandir di depan sebuah rumah makan cepat saji di kota metropolitan, menunggu sampai tamu di restoran sudah agak sepi. Dengan sifat yang segan dan malu-malu dia masuk ke dalam restoran tersebut.

"Tolong sajikan saya semangkuk nasi putih." Dengan kepala menunduk pemuda ini berkata kepada pemilik rumah makan. Sepasang suami istri muda pemilik rumah makan, memperhatikan pemuda ini hanya meminta semangkuk nasi putih dan tidak memesan lauk apapun, lalu menghidangkan semangkuk penuh nasi putih untuknya.

Ketika pemuda ini menerima nasi putih dan sedang membayar berkata dengan pelan, "Dapatkah Ibu menyiram sedikit kuah sayur di atas nasi saya?"

Istri pemilik rumah berkata sambil tersenyum, "Ambil saja apa yang engkau suka, tidak perlu bayar!"

Sebelum habis makan, pemuda ini berpikir: "Kuah sayur gratis." Lalu ia memesan semangkuk lagi nasi putih. "Semangkuk tidak cukup anak muda? Kali ini saya akan berikan lebih banyak lagi nasinya." Dengan tersenyum ramah pemilik rumah makan berkata kepada pemuda ini.

"Bukan, saya akan membawanya pulang. Besok saya akan membawa nasi itu ke kampus sebagai makan siang saya!"

Mendengar perkataan pemuda ini, pemilik rumah makan berpikir pemuda ini tentu dari keluarga miskin di luar kota. Demi menuntut ilmu ia datang ke kota dan mencari uang sendiri untuk kuliah. Kesulitan dalam keuangan, itu sudah pasti ia alami.

Berpikir sampai di situ pemilik rumah makan lalu menaruh sepotong daging dan sebutir telur disembunyikan di bawah nasi. Kemudian ia membungkus nasi tersebut, sepintas terlihat hanya sebungkus nasi putih saja, dan memberikannya kepada pemuda ini.

Melihat perbuatannya, istrinya mengetahui suaminya sedang membantu pemuda ini. Hanya dia tidak mengerti, kenapa daging dan telur disembunyikan di bawah nasi? Suaminya kemudian berbisik kepadanya, "Jika pemuda ini melihat kita menaruh lauk di nasinya dia tentu akan merasa bahwa kita bersedekah kepadanya. Harga dirinya pasti akan tersinggung. Lain kali dia tidak akan datang lagi. Jika dia makan ke tempat lain dan hanya membeli semangkuk nasi putih, mana ada gizi untuk bersekolah?"

"Engkau sungguh baik hati. Sudah menolong orang, masih juga engkau menjaga harga dirinya."
"Jika saya tidak baik, apakah engkau akan menjadi istriku?"

Sepasang suami istri muda ini merasa gembira dapat membantu orang lain.
"Terima kasih, saya sudah selesai makan." Pemuda ini pamit kepada mereka. Ketika dia mengambil bungkusan nasinya, dia membalikkan badan, melihat dengan pandangan mata berterima kasih kepada mereka.

"Besok singgah lagi ya! Engkau harus tetap bersemangat!" kata sang suami sambil melambaikan tangan. Dengan perkataannya itu ia bermaksud mengundang pemuda ini agar jangan segan-segan datang lagi besok.

Sepasang mata pemuda ini berkaca-kaca terharu. Mulai saat itu setiap sore pemuda ini singgah ke rumah makan mereka. Sama seperti biasa setiap hari ia hanya memesan semangkuk nasi putih dan membawa pulang sebungkus untuk bekal keesokan hari.

Sudah pasti nasi yang dibawa pulang setiap hari terdapat lauk berbeda yang tersembunyi setiap hari sampai pemuda ini tamat kuliah. Selama 20 tahun pemuda ini tidak pernah muncul lagi.

Pada suatu hari, ketika suami isteri ini sudah berumur 50 tahun lebih, pemerintah melayangkan sebuah pengumuman bahwa rumah makan mereka harus digusur. Tiba-tiba mereka akan kehilangan mata pencaharian. Dan mengingat anak mereka yang disekolahkan di luar negeri yang perlu biaya setiap bulan membuat suami istri ini berpelukan menangis dengan panik.

Pada saat ini masuklah seorang pemuda yang memakai pakaian bermerek, kelihatannya seperti seorang Direktur dari kantor bonafide.

"Apa kabar? Saya adalah Wakil Direktur dari sebuah perusahaan. Saya diperintah oleh direktur kami mengundang kalian membuka kantin di perusahaan kami. Perusahaan kami telah menyediakan semuanya. Kalian hanya perlu membawa koki dan keahlian kalian ke sana. Keuntungannya akan dibagi dua dengan perusahaan."

"Siapakah direktur di perusahaan kamu? Mengapa begitu baik terhadap kami? Saya tidak ingat mengenal seorang yang begitu mulia!" sepasang suami istri ini berkata dengan terheran-heran.

"Kalian adalah penolong dan kawan baik Direktur kami. Direktur kami paling suka makan telur dan dendeng buatan kalian. Hanya itu yang saya tahu, yang lain dapat kalian ketahui setelah kalian bertemu dengannya."

Akhirnya, pemuda yang biasa memakan semangkuk nasi putih ini muncul. Setelah bersusah payah selama 20 tahun akhirnya pemuda ini dapat membangun kerajaaan bisnisnya dan sekarang menjadi seorang Presiden Direktur yang sukses. Dia merasa kesuksesan pada saat ini adalah berkat bantuan sepasang suami istri ini. Jika mereka tidak membantunya, dia tidak mungkin akan dapat menyelesaikan kuliahnya dan menjadi sesukses sekarang.

Setelah berbincang-bincang, suami istri ini pamit hendak meninggalkan kantornya. Pemuda ini berdiri dari kursi Direkturnya dan dengan membungkuk dalam-dalam ia berkata kepada mereka, "Bersemangat ya! Di kemudian hari perusahaan tergantung kepada kalian. Sampai bertemu besok!"

Kebaikan hati dan balas budi selamanya dalam kehidupan manusia adalah suatu perbuatan indah dan yang paling mengharukan. Terharu? Ayo, jangan sungkan untuk berbuat baik hari ini... You never know what will happen tommorow.

SUMBER : http://sparepartsalatberat.blogspot.com/2012/03/semangkok-nasi-putih.html

Bagaimana Untuk menangani hinaan dan mempertahankan Cinta Kasih


Anda tidak perlu menjadi. seorang buddhis untuk menghargai logika dan keindahan kutipan cerita di bawah ini..
*Sang Buddha menjelaskan bagaimana untuk menangani hinaan dan mempertahankan cinta kasih..

Suatu hari sang Buddha berjalan melintasi sebuah desa. Seorang pemuda kasar yang sangat marah muncul dan mulai menghinanya
*"Anda tidak berhak mengajari orang lain..!!!" Dia berteriak. " Kamu sama bodohnya dengan orang lain. Kamu bukanlah apa apa selain munafik.

**Buddha tidak marah dengan hinaan ini. Sebaliknya, Beliau bertanya kepada sang pemuda. "Katakanlah padaku jika kamu membeli hadiah untuk seseorang, dan seseorang itu tidak mengambilnya, Siapakah pemilik hadiah itu?
*Sang Pemuda terkejut diberi pertanyaan yang aneh. Kemudian dia menjawab " Hadiah itu akan menjadi milik saya karena saya yang membeli hadiah itu"

*Sang Buddha tersenyum dan berkata: "Hal itu benar, dan sama saja dengan kemarahan. Jika kamu menjadi marah dengan ku dan saya tidak merasa terhina, maka kemarahan itu akan kembali padamu. Anda kemudian menjadi satu2nya yang tidak bahagia, bukan saya. Semua yang anda lakukan akan menyakiti diri anda sendiri."

*"Jika anda ingin berhenti menyakiti diri sendiri maka anda harus menyingkirkan kemarahan dan ubahlah menjadi cinta kasih. Ketika kamu membenci orang lain, diri andalah yang akan menjadi tidak bahagia. Tetapi ketika anda mencintai orang lain, semua orang menjadi bahagia..

Sumber : http://kisahmotivasihidup.blogspot.com/2012/02/bagaimana-untuk-menangani-hinaan-dan.html#

Manfaat Melakukan Pelimpahan jasa


Manfaat Pelimpahan Jasa. Apakah temen-temen tahu? Ternyata pelimpahan jasa dalam tradisi agama Buddha banyak manfaatnya lho, mau tahu apa saja manfaat pelimpahan jasa?

Di dalam tradisi kita sebagai umat Buddha, memperingati upacara kematian atau memperingati saat-saat kematian orang yang kita sayangi, saat-saat wafat orang yang kita cintai sesungguhnya telah dimulai sejak jaman Sang Buddha. Tentu saja bukan hanya dengan mengirim makanan, mengirim pakaian kepada orang tua atau almarhum.
Ada beberapa hal yang memang diajarkan oleh Sang Buddha dalam upacara peringatan kematian seperti hari ini. Ada dua cerita yang berkembang dalam masyarakat Buddhis. Cerita yang pertama telah sering kita dengar yaitu cerita seorang murid Sang Buddha yang paling sakti, yang paling hebat, bernama Bhante Moggalana. Dalam bahasa Mandarin, cerita ini dikenal sebagai Mu Lien Ciu Mu (Y.M. Moggalana menolong ibunya). Cerita inilah yang paling dikenal masyarakat luas. Padahal cerita itu tidak terdapat dalam Tripitaka. Menurut cerita ini, pada waktu sedang bermeditasi, Bhante Moggalana mempergunakan kemampuan batinnya untuk melihat alam-alam lain selain alam manusia. Memang bagi kita yang sudah biasa melatih meditasi, sebetulnya melihat alam lain bukanlah sesuatu hal yang luar biasa. Melihat alam surga, melihat alam neraka bukanlah sesuatu yang sulit. Surga 26 tingkat pun bisa dilihat satu demi satu. Tidak ada masalah. Pada waktu itu Bhante Moggalana melihat surga, tempat para dewa dan dewi yang lebih dikenal orang dengan istilah ‘malaikat’. Selain itu, beliau juga melihat ke alam-alam menderita, alam setan, setan raksasa yang kita sebut Asura, setan kelaparan atau alam peta dan juga alam neraka. Bhante Moggalana dengan prihatin melihat alam-alam menderita yang sangat menyedihkan ini. Di salah satu alam setan kelaparan, Bhante Moggalana melihat ibunya terlahir di situ. Di sana, terlihat ibunya dalam keadaan kurus kering dan telanjang bulat. Bhante Moggalana merasa sangat kasihan sekali kepada ibunya. Beliau berusaha menolong ibunya. Beliau mencoba memberikan makanan dan minuman kepada ibunya. Namun, segala pemberian beliau bukannya menolong ibunya; pemberiannya justru menambah penderitaan ibunya. Karena kebingungan atas kegagalannya menolong sang ibu, Bhante Moggalana menghadap Sang Buddha. Bhante Moggalana bertanya kepada Sang Buddha tentang sebab musabab kegagalan usaha pertolongannya kepada ibunya. Sang Buddha menjelaskan bahwa bila akan menolong makhluk di alam menderita hendaknya orang melakukannya dengan cara pelimpahan jasa. Pelimpahan jasa adalah melakukan suatu perbuatan baik atas nama orang yang telah meninggal yang akan ditolong.
Oleh karena itu, Bhante Moggalana kemudian disarankan oleh Sang Buddha untuk memberikan persembahan jubah dan makanan kepada pada bhikkhu Sangha atas nama ibunya. Nasehat Sang Buddha ini diikuti oleh Bhante Moggalana. Beberapa waktu kemudian Bhante Moggalana mengundang para bhikkhu, mempersembahkan dana makan, mempersembahkan jubah, kemudian melakukan pelimpahan jasa atas nama ibunya. Setelah melaksanakan upacara pelimpahan jasa, Bhante Moggalana bermeditasi lagi. Dengan mata batinnya beliau mencari ibunya di alam peta. Ketika bertemu, keadaan ibunya jauh berbeda. Ibunya kini kelihatan segar, sehat, awet muda, pakaiannya bagus, rapi dan bersih. Melihat hal itu, Bhante Moggalana berbahagia. Berdasarkan cerita itulah orang mengenal upacara pelimpahan jasa. Upacara pelimpahan jasa ini juga sering dihubungkan dengan tradisi mendoakan para makhluk menderita yang dilaksanakan setiap tanggal 15 di bulan 7 menurut penanggalan Imlek. Itulah cerita tradisi.

Bila cerita di atas adalah merupakan cerita yang berkembang dalam tradisi masyarakat tertentu, maka ada cerita lain yang memang terdapat dalam kitab suci Tri Pitaka. Kitab Suci Tri Pitaka memberikan cerita dengan versi lain tentang upacara pelimpahan jasa. Cerita ini berhubungan dengan raja Bimbisara. Raja Bimbisara suatu ketika mengundang Sang Buddha dan seluruh bhikkhu ke istana. Raja dalam kesempatan itu mempersembahkan dana makan serta jubah. Setelah berdana, raja merasakan kebahagiaan. Para bhikkhu pun lalu pulang ke vihara bersama dengan Sang Buddha. Raja Bimbisara sangat berbahagia pada hati itu, karena dia punya kesempatan mengundang Sang Buddha ke istana. Akan tetapi pada malam harinya raja memperoleh banyak gangguan dari para makhluk tak tampak. Ia banyak mendengar jeritan dan tangisan dari makhluk tak tampak. Raja akhirnya tidak dapat tidur semalaman. Pada pagi keesokan harinya raja Bimbisara segera pergi ke vihara, bertemu dengan Sang Buddha. Sang raja bertanya kepada Sang Buddha tentang gangguan yang dialaminya, padahal ia baru saja melakukan perbuatan baik.

Sang Buddha menerangkan bahwa para makhluk yang mengganggu itu sebenarnya adalah sanak keluarga raja sendiri dari banyak kehidupan yang lalu. Namun, karena mereka telah melakukan kesalahan, mereka kemudian terlahir di alam menderita, alam setan kelaparan. Oleh karena itu, Sang Buddha kemudian menyarankan kepada raja agar ia sekali lagi mengundang para bhikkhu ke istana. Bila para bhikkhu telah sampai di istana, raja hendaknya mempersembahkan dana makanan dan jubah atas nama para makhluk menderita yang pernah menjadi saudaranya itu. Keesokan harinya, raja Bimbisara mengundang para bhikkhu dan Sang Buddha untuk menerima persembahan dana makan dan jubah. Kemudian jasa kebaikannya dilimpahkan kepada mereka. Para makhluk menderita itu merasakan pula kebahagiaan yang luar biasa. Kebahagiaan inilah yang menyebabkan mereka mati dari alam menderita dan terlahir kembali di alam bahagia.

Dalam kesempatan itulah Sang Buddha membabarkan Tirokuddha Sutta. Sang Buddha bersabda bahwa di dinding-dinding, di gerbang-gerbang, di persimpangan-persimpangan jalan banyak keluarga kita yang terlahir di alam menderita menunggu kebaikan hati kita. Mereka menanti pelimpahan jasa kita dengan penuh kesedihan. Ketika sanak keluarganya berpesta pora dan menikmati kebahagiaan, tidak ada satu pun di antara mereka yang diingat. Padahal di sana tidak ada perdagangan, tidak ada warung dan restoran. Lalu bagaimana caranya kita menolong mereka? Kita bisa menolong mereka dengan melakukan kebaikan, dan melimpahkan jasanya kepada mereka.

Dalam masyarakat, pelimpahan jasa kadang-kadang dihubungkan dengan tradisi melakukan upacara tertentu pada bulan tujuh menurut penanggalan Imlek. Padahal menurut agama Buddha sebetulnya pelimpahan jasa tidak harus menunggu bulan tujuh. Sebab, belum tentu pada bulan tujuh nanti kita masih tetap hidup! Kalau kita juga ikut meninggal, justru malahan kitalah yang menerima pelimpahan jasa! Sebetulnya pelimpahan jasa bisa dilaksanakan setiap saat, bahkan setiap malam pun kita bisa merenung. ‘Semoga dengan semua kebaikan yang telah saya lakukan sampai malam hari ini, almarhum papa dan mama memperoleh kebahagiaan sesuai dengan kondisi karmanya saat ini.’ Kenapa dipilih ‘bulan tujuh’, ini tentu ada sebabnya. Dasar pemilihan ini dari kebiasaan Tiongkok. Bulan tujuh adalah bulan pergantian musim. Kita pun dapat melihat di Indonesia kalau pada Bulan Tujuh udara sangatlah dingin, bulan menggigil! Oleh karena itu, dalam bulan ini cukup banyak orang yang sakit. Karena banyaknya orang sakit maka para orang tua jaman dahulu menganggapnya sebagai banyaknya gangguan setan. Setan yang mengganggu berasal dari neraka yang, katanya, sedang ‘dibuka’. Oleh sebab itu, para leluhur kita dahulu kemudian melakukan upacara tertentu agar tidak memperoleh bencana karena gangguan para setan tadi. Itulah, secara singkat, awal munculnya tradisi upacara di bulan tujuh tanggal lima belas. Secara Agama Buddha, sekali lagi, pelimpahan jasa dapat dilakukan setiap saat, tanpa harus menunggu bulan-bulan tertentu.

Apakah pelimpahan jasa itu masih bermanfaat bila dilakukan di jaman sekarang ini? Masih! Ada kisah nyata. Ada seorang samanera yang ibunya meninggal dunia. Karena dia Buddhis, dia mengerti bagaimana caranya berbuat baik. Dia mengundang seorang bhikkhu dengan satu samanera yang lain lagi untuk membacakan Paritta. Setelah selesai dia mempersembahkan dana. Di sini ada baiknya disebutkan jumlahnya karena jumlahnya ini berhubungan dengan cerita ini. Mereka masing-masing mendapatkan selembar amplop yang berisi Rp. 5000,00. Beberapa hari kemudian samanera yang mengadakan pelimpahan jasa itu menceritakan bahwa ibunya telah mendatanginya lewat mimpi. Dalam mimpi, ibunya mengatakan kini ia telah mempunyai uang. Ibunya, dalam mimpi, menunjukkan uang dua lembar @ Rp. 5000,00!

Ada cerita yang lain lagi. Ada seorang ibu yang sudah lama menjadi janda. Suatu malam suaminya datang dalam mimpi dan meminta selembar baju. Setelah bangun, sang istri kemudian pergi ke pasar untuk membeli kain yang seukuran suaminya, juga yang warna dan motifnya yang disenangi suaminya. Si istri kemudian meletakkan semuanya itu di meja penghormatan yang ada foto almarhum di atasnya. Dia kemudian membaca Paritta. Selesai ber-Paritta dia mengatakan: ‘Niat saya hari ini mau berdana, atas nama suami saya, semoga dengan kekuatan kebaikan ini suami saya memperoleh kebahagiaan sesuai dengan kondisi karmanya saat ini.’ Sesudah selesai, kainnya ini tidak dibakar, tetapi didanakan kepada salah seorang pengurus Vihara atas nama almarhum suaminya. Seminggu kemudian ibu ini mimpi lagi suaminya datang. Suaminya puas dengan pemberian bajunya, hanya saja ia mengeluh kalau ukuran bajunya tidak sesuai, kekecilan. Ibu ini terbangun, kemudian merenungkan arti mimpinya. Dia teringat bahwa ketika membeli kain ukurannya sama dengan ukuran suaminya, padahal orang yang menerima dana badannya lebih besar daripada suaminya. Pantas kekecilan! Keesokan harinya, istri yang setia ini pergi ke pasar lagi untuk membeli kain kekurangannya, dan dia berikan kepada penjaga vihara itu. Penjaga vihara itu justru heran atas pengertian si ibu. Ia baru saja akan menghubungi si ibu karena kainnya memang kurang ukurannya.

Dari cerita ini jelas kelihatan bahwa sebetulnya pelimpahan jasa secara Buddhis itu dapat diterima oleh para makhluk yang kita kirimi. Hanya saja, syaratnya makhluk itu harus terlahir di alam Paradatupajivika Peta. Kalau dia tidak terlahir di alam itu, kalau dia terlahir di salah satu dari 26 alam surga, atau terlahir di alam neraka, maka makhluk ini tidak bisa menerima pelimpahan jasa kita. Kalau demikian, apakah manfaat bagi kita membacakan Paritta untuk makhluk yang tidak terlahir di alam peta tersebut? Apabila orang yang meninggal itu tidak terlahir di alam Peta tersebut, minimal selama kita membacakan Paritta seperti hari ini, selama itu pula pikiran, ucapan serta perbuatan kita dipupuk untuk sesuatu yang baik, mendoakan agar almarhum berbahagia. Kenal atau pun tidak kenal kepadanya kita tetap mendoakan semoga almarhum berbahagia. Maka selama setengah jam itu, pikiran, ucapan dan perbuatan kita telah melaksanakan kebaikan. Bayangkan kalau pagi setengah jam, malam setengah jam lagi, berarti hari ini kita punya satu jam yang berisi pikiran, ucapan, dan perbuatan kita baik. Kalau tiap pagi dan malam kita bisa membaca Paritta setengah jam, maka dalam satu bulan kita dapat mengumpulkan sekitar 30 jam untuk berpikir dan berbuat yang baik. Luar biasa, begitu besar kesempatan melakukan perbuatan baik. Hanya dengan membaca Paritta saja! Cobalah bila kita duduk selama satu jam. Pikiran dengan mudah mengembara kemana-mana. Kadang timbul pikiran baik, tetapi tidak jarang muncul pikiran jahat. Tetapi dengan diisi kegiatan membaca Paritta, maka pikiran, ucapan serta perbuatan kita otomatis terisi pula dengan kebaikan. Satu jam setiap hari, 30 jam satu bulannya kita berkesempatan mengembangkan kebaikan hanya dengan membaca Paritta. Oleh karena itu, seringlah membaca Paritta, apalagi pada upacara-upacara semacam ini. Bagus. Dalam upacara ini, selain kita telah melaksanakan kebaikan dengan membaca Paritta, kita juga dapat melimpahkan jasa kebaikan itu kepada almarhum. Bukankah kita dengan mambaca Paritta berarti tealh berbuat baik? Datang dari tempat yang jauh khusus untuk membacakan Paritta. Kita pun juga bisa melimpahkan jasa itu kepada sanak-keluarga kita sendiri yang sudah meninggal. Sanak keluarga kita yang terdiri dari kakek-nenek, orang tua maupun para leluhur dan kerabat kita lainnya. Mereka juga perlu kita berikan pelimpahan jasa agar mereka berbahagia. Jadi, pelimpahan jasa dapat dilaksanakan oleh siapa pun dan kapan pun juga. Karena pelimpahan jasa ini akan membawa manfaat baik bagi yang meninggal maupun kita yang hidup.

Nah itu tadi sedikit bacaan tentang manfaat melakukan pelimpahan jasa. semoga bermanfaat bagi anda semua.

Sumber : http://yoedi.net/tanya-jawab/manfaat-melakukan-pelimpahan-jasa/

ANAK YANG MEMBUNUH ORANGTUANYA


Kisah ini terdapat di dalam salah satu bagian dari Kitab Suci Tripitaka. Dikisahkan tentang
salah satu dari dua murid utama Sang Buddha Gotama, bernama Yang Mulia Moggallana.
Meskipun Beliau sudah mencapai Tingkat Kesucian Tertinggi, Arahat, dan mempunyai
kemampuan fisik dan batin yang amat tinggi, tetapi Beliau meninggal dengan cara yang amat
menyedihkan, yaitu dikepung oleh para penjahat dan dipukuli sampai meninggal dunia.
 Sang Buddha lalu menjelaskan perbuatan yang telah dilakukan oleh Yang Mulia Moggallana
pada salah satu kehidupannya yang lampau, sehingga ia harus menerima cara kematiannya
yang amat menyedihkan itu.
 Pada masa lampau, terdapatlah seorang pemuda yang amat baik budi. Ia mengerjakan semua
pekerjaan rumah tangganya sendiri, seperti menanak nasi, membersihkan rumah serta merawat
kedua orangtua yang matanya buta itu dengan penuh kasih sayang.
 Kedua orangtuanya mengkhawatirkan anaknya yang bekerja seorang diri, mereka lalu berkata
kepada anaknya :
 "Anakku, kamu pasti terlalu capai mengerjakan semua pekerjaan seorang diri, baik di dalam
rumah maupun mencari kayu bakar di hutan. Kalau kamu setuju, kami akan melamarkan
seorang anak gadis untuk menjadi isterimu, supaya dapat membantu meringankan
pekerjaanmu."
 Anak itu lalu menjawab :
 "Ibu, saya tidak memerlukan bantuan apa-apa, saya sanggup mengerjakan semuanya. Selama
ayah dan ibu masih hidup, sayalah yang akan menjaga dan merawatmu dengan tanganku
sendiri."
 Berkali-kali ia menolak usul kedua orangtuanya untuk mengambil seorang isteri. Tetapi ayah
dan ibunya terus mendesak, sehingga akhirnya ia diam saja dan menerima seorang gadis muda
untuk menjadi isterinya.
 Hanya beberapa hari saja isterinya mau merawat kedua orangtuanya. Setelah itu ia berkata
kepada suaminya, bahwa ia tidak sanggup lagi untuk merawat kedua orangtua itu dan tidak
ingin hidup bersama mereka lagi, ia tidak senang dengan kehidupan seperti itu.
 Dengan menunjukkan ketidak-senangannya, ia selalu berkata :
"Saya tidak sanggup untuk hidup lebih lama lagi bersama ayah dan ibumu yang buta itu."
 Suaminya tidak menghiraukan ocehan isterinya, sampai pada suatu hari isteri muda itu mengambil tanah merah, kulit kayu dan butir-butir gandum, ia menebarkannya dimana-mana, di
sekitar rumah itu. Ketika suaminya pulang dan bertanya, apa yang telah terjadi, isterinya
menjawab :
"Suamiku, semua ini adalah perbuatan orangtuamu yang buta itu, mereka mengotori seluruh
rumah ini, saya tidak sanggup lagi untuk hidup bersama mereka."
 Ia katakan hal itu berulang-ulang, terus-menerus. Si Suami yang semula ragu-ragu, akhirnya
menjadi percaya dengan perkataan isterinya, dan sebagai seseorang yang belum mencapai
tingkat kesempurnaan, ia menjadi kesal dengan kedua orangtuanya.
 "Isteriku, jangan khawatir," kata suaminya, "Saya akan menemukan jalan yang paling tepat
untuk membuang mereka."
 Kemudian ia memberi makan kepada kedua orangtuanya sambil berkata :
"Ayah dan ibu, ada salah satu keluarga kita yang sangat mengharapkan kedatanganmu, marilah
kita datang mengunjungi mereka."
 Ia lalu membantu kedua orangtuanya yang buta masuk ke dalam kereta, ia juga ikut pergi
bersama mereka. Ketika mereka berada di tengah hutan yang sangat lebat, ia berkata kepada
ayahnya :
"Ayah peganglah tali kekang ini, lembu-lembu ini dapat berjalan ke arah yang kita tuju dengan
baik, di sini banyak para perampok bersembunyi, menunggu orang-orang yang lewat. Saya
turun dulu melihat keadaan di sekitar tempat ini."
 Ia lalu memberikan tali kekang itu kepada ayahnya, dan segera turun dari kereta,
diarahkannya kereta itu masuk ke dalam hutan yang amat lebat.
 Anak muda itu mulai membuat keributan, teriakan-teriakan, amat berisik seolah-olah ada
segerombolan perampok yang akan menyerang. Ketika kedua orangtua mendengar suara yang
amat berisik itu, mereka ketakutan dan berpikir :
"Wah, ada segerombolan perampok yang akan menyerang kita." Mereka lalu berkata dengan
berteriak : "Anakku, kami sudah tua, cepatlah pergi, selamatkanlah dirimu, jangan perhatikan
kami lagi. Pergilah, cepat pergi....!"
 Ketika kedua orangtua itu berteriak menyuruhnya pergi, anak laki-laki itu juga berteriakteriak seperti teriakan perampok, ia lalu memukuli kedua orangtuanya itu sampai mati, dan
membuang mayatnya ke dalam hutan lebat.
 Setelah melakukan perbuatan yang kejam itu, ia pulang ke rumah. Ia amat menyesali
perbuatannya.
 Setelah menceritakan perbuatan Bhikkhu Moggallana di masa yang lampau, Sang Buddha
lalu berkata :
"O Para Bhikkhu, karena perbuatan buruk yang telah dilakukannya, pada salah satu
kehidupannya di masa yang lampau, dengan membunuh ayah dan ibunya yang buta, ia harus
menerima kematiannya dengan cara yang mengerikan seperti itu. Inilah kelahirannya yang
terakhir di dalam lingkaran Samsara ini, meskipun ia telah menjadi orang suci, ia tetap tidak
dapat melarikan diri dari akibat perbuatan buruk yang telah dilakukannya."

Sumber : website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id

KISAH NYATA PEKERJA ABORSI DAN AKIBATNYA

oleh : Bhante Wongsin Labhiko

Ayat Dhammapada syair ke-17 berbunyi :

"Di dunia ini Ia menderita, Di dunia sana Ia menderita. Perilaku kejahatan menderita di kedua dunia itu, Ia meratap ketika berpikir, "Aku telah berbuat jahat", dan Ia akan lebih menderita lagi ketika berada di alam sengsara."

Ada sebuah kisah nyata, yang terjadi sekitar 46 tahun yang lalu (sebelum Bhante Wongsin menjadi Bhikkhu). Di Thailand terdapat sebuah vihara yang jauh dari orang desa maupun kota. Di lingkungan Vihara, ada pohon bodhi yang sangat besar, umurnya diperkirakan sudah ratusan tahun.

Pada hari itu Bhante Wongsin dan gurunya (Luangpi Jagaro) yang pada waktu itu menjadi kepala vihara di sana menunjukkan kepada Bhante Wongsin seorang wanita yang sedang menari-nari sambil bertepuk tangan dan berteriak,"Selamat jalan anakku, selamat jalan anakku, kita tidak lama akan bertemu lagi."

Terus berulang-ulang ia ucapkan. Ya... wanita tersebut memang terganggu jiwanya. Wanita tersebut bernama Duen yang artinya bulan. Bhante Wongsin bertanya pada gurunya, "Apa yang menyebabkan wanita itu menjadi gila?" Lalu Luangpu Jagaro mulai menceritakan kehidupan wanita itu.

Sekitar 45 tahun yang lalu, kehidupan wanita itu amatlah jaya. Itu disebabkan karena ia berhasil dalam pekerjaannya, tapi sayangnya pekerjaan itu amatlah bertentangan dengan Dhamma & Vinaya. Pekerjaannya sebagai penggugur kandungan atau aborsi.

Sebelumnya wanita itu sering dinasehati oleh para Bhikkhu bahwa pekerjaan itu tidak baik, disarankan untuk mencari pekerjaan lain yang lebih baik, yaitu pekerjaan yang tidak melanggar sila. Karena bila hal itu terus dilakukan akan mengakibatkan penderitaan di masa yang akan datang.

Tapi wanita itu menjawab,"Bhante, saya ingin mencari uang yang cukup banyak, setelah cukup maka saya akan berhenti, saya sanggup menanggung semua resiko bahkan yang terburuk sekali pun."

Dari pekerjaannya menggugurkan kandungan, ia mendapat banyak uang. Penghasilannya bisa mencapai 500 sampai 100 baht per harinya, maka tidak heran ia bisa membangun rumah yang sangat besar dan mewah. Kemudian ia menikah dengan seorang laki-laki pilihannya.

Namun, dua bulan kemudian rumahnya yang megah itu habis terbakar, ia menjadi miskin dan kehidupannya kembali seperti dulu, menjalankan pekerjaannnya sebagai penggugur kandungan. Tetapi pasiennya tidaklah sebanyak dulu. Kian hari pasiennya kian sedikit. Satu tahun kemudian wanita tersebut melahirkan seorang bayi laki-laki yang gemuk, manis dan sangat lucu. Kehadirannya membawa kebahagiaan bagi sepasang suami istri itu.

Kini mereka sekeluarga tinggal di sebuah gubuk yang sangat sederhana. Karena kesederhanaannya itu, banyak anjing yang dapat keluar masuk dengan mudah ke gubuk tersebut, lalu memakan beras milik si wanita. Beras yang dengan susah paya ia dapat kian hari kain berkurang, sehingga membuatnya jengkel.

Suami istri itu kemudian menyiapkan rencana untuk membalas dendam kepada anjing-anjing itu bila mereka datang kembali.

Menjelang larut malam saat suami istri itu tertidur, terdengar suara mencurigakan. Si istri terbangun kemudia membangunkan suaminya untuk menjalankan rencana buruk mereka. Mereka siap mengayunkan pedang yang sudah di asah, secepat kilat sang suami mengayunkan pedang ke arah suara yang mencurigakan dan ..... kreekkk!! Sekali penggal, tidak terdengar lagi suara apapun, setelah itu dengan geram dipotong-potongnya tubuh itu menjadi 12 bagian. Lalu setelah selesai, suami istri itu bergegas menyalakan pelita.

Namin betapa terkejutnya pasangan suami istri itu, setelah mengetahui apa yang telah mereka lakukan. Makhluk yang telah dibunuhnya ternyata bayinya sendiri yang dikira seekor anjing yang sering mencuri beras. Bayi yang sangat disayanginya telah penuh dengan lumuran darah dan sudah tidak berbentuk, yang terlihat cuma potongan-potongan daging akibat sabetan pedang. Suami istri itu tidak percaya akan apa yang dilihatnya, semuanya sudah terlanjur, ia hanya bisa menangis sejadi-jadinya sambil berteriak-teriak hingga akhirnya ia pingsan.

Keesokan harinya setelah mayat bayi mereka dikremasi, suaminya ditangkap dan ditahan karena dituduh telah membunuh secara keji dan terencana. Sedangkan Duen, sang istri kehilangan kesadarannya akibat penyesalan dan kesedihan yang teramat sangat.

Mungkin inilah akibat dari perbuatan yang telah ia lakukan karena menekuni pekerjaan yang salah yaitu membantu orang lain menghilangkan nyawa makhluk lain.

Walaupun makhluk tersebut mungkin masih berupa gumpalan darah atau belum berwujud manusia, namun di dalamnya telah terdapat unsur kehidupan, sehingga jika unsur itu dihilangkan, maka ia telah melakukan pembunuhan.

Dan hal ini telah ia lakukan secara berulang-ulang tanpa merasa takut ataupun menyesal sehingga bila saatnya tiba maka sesal pun akan datang, namun sayang penyesalan selalu datang terlambat.

Oleh sebab itu maka kita seharusnya senantiasa berhati-hati dalam bertindak dan senantiasa mengingat akan ajaran Sang Buddha karena perbuatan buruk yang ditanam akan menghasilkan akibat yang buruk pula jika dilaksanakan. Ini adalah hukum yang abadi dan akan berlalu sampai kapan pun juga.



{Sahabat Sedharma yang berbahagia janganlah kita melakukan hubungan yang tidak aman apabila anda tidak berniat memiliki keturunan jangan karena kesalahan kita mengakibatkan nyawa seorang bayi hilang begitu saja sebaiknya hindarilah hubungan di luar nikah apabila anda sudah menikah gunakanlah pengaman seaman-aman mungkin}



Sumber :  Majalah Vipassana tahun ke-9/Mei 2001 & http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,22024.msg392716.html#msg392716

Wortel, Telur atau Kopi

Seorang anak mengeluh pada ayahnya mengenai kehidupannya dan menanyakan mengapa hidup ini terasa begitu berat baginya. Ia tidak tahu bagaimana menghadapinya dan hampir menyerah. Ia sudah lelah untuk berjuang. Sepert...inya setiap kali satu masalah selesai, timbul masalah baru.

Ayahnya, seorang koki, membawanya ke dapur. Ia mengisi 3 panci dengan air dan menaruhnya di atas api. Setelah air di panci-panci tersebut mendidih. Ia memasukkan wortel di panci pertama, telur di panci kedua dan kopi bubuk di panci terakhir. Ia membiarkannya mendidih tanpa berkata-kata.

Si anak membungkam dan menunggu denga tidak sabar, memikirkan apa yang sedang dikerjakan sang Ayah. Setelah 20 menit, sang Ayah mematikan api. Ia menyisihkan wortel dan menaruhnya di mangkuk, mengangkat telur dan letakkannya di mangkuk yang lain dan menuangkan kopi di mangkuk lainnya.

Lalu ia bertanya kepada anaknya,"Apa yang kau lihat, nak?
"Wortel, telur dan kopi." jawab si Anak.

Ayahnya mengajaknya mendekat dan memintanya merasakan wortel itu. Ia melakukannya dan merasakan wortel terasa lunak. Ayahnya lalu memintanya mengambil telur dan memecahkannya. Setelah membuang kulitnya, ia mendapati sebuah telur rebus yang mengeras. Terakhir Ayahnya meminta untuk mencicipi kopi. Ia tersenyum ketika mencicipi kopi dengan aromanya yang khas.

Setelah itu si Anak bertanya,"Apa arti semua ini , Ayah?"
Ayahnya menerangkan bahwa ketiganya telah menghadapi kesulitan yang sama, perebusan, tetapi masing-masing menunjukkan reaksi yang berbeda.

Wortel sebelum direbus kuat, keras dan sukar dipatahkan. Setelah direbus, wortel menjadi lembut dan lunak.

Telur sebelumnya mudah pecah. Cangkang tipisnya melindungi isinya yang berupa cairan. Setelah direbus, isinya menjadi keras.

Bubuk Kopi mengalami perubahan unik. Setelah berada di dalam rebusan air, bubuk kopi merubah air tersebut.

"Kamu termasuk yang mana?," tanya ayahnya. "Ketika kesulitan mendatangimu, bagaimana kau menghadapinya? Apakah kamu wortel, telur atau kopi?"

Bagaimana dengan Anda?
Apakah Anda adalah wortel yang kelihatannya keras, tapi dengan adanya penderitaan dan kesulitan, kamu menyerah menjadi lunak dan kehilangan kekuatan.

Apakah Anda adalah Telur, yang awalnya memiliki hati lembut? Dengan jiwa yang dinamis, namun setelah adanya kematian, patah hati, perceraian atau pemecatan menjadi keras dan kaku. Dari luar kelihatan sama, tetapi apakah kamu menjadi pahit dan keras dengan jiwa dan hati yang kaku?

Ataukah Anda adalah bubuk Kopi? Bubuk kopi merubah air panas, sesuatu yang menimbulkan kesakitan, untuk mencapai rasanya yang maksimal pada suhu 100 derajat celcius. Ketika air mencapai suhu terpanas, kopi terasa semakin nikmat.

Jika kamu seperti bubuk kopi, ketika keadaan menjadi semakin buruk, kamu akan menjadi semakin baik dan membuat keadaan di sekitarmu juga membaik.
 
Sumber : http://www.facebook.com/artikelbuddhis

"Belajar Dari Penjaga Kuburan Yang Bijaksana"


Seorang sopir turun dari sebuah mobil mewah yang diparkir di depan kuburan umum. Pria itu berjalan menuju pos penjaga kuburan dan berkata, "Pak, maukah Anda menemui wanita yang ada di mobil it...u?"

Penjaga kuburan segera berjalan di belakang sopir itu. Seorang wanita lemah dan berwajah sedih membuka pintu mobilnya dan berusaha tersenyum kepada penjaga kuburan itu sambil berkata,"Saya Ny. Steven. Saya yang selama ini mengirim uang setiap dua minggu sekali kepada Anda agar Anda dapat membeli seikat kembang dan menaruhnya di atas makam anak saya. Saya datang untuk berterima kasih atas kesediaan dan kebaikan hati Anda."

"Nyonya, sebelumnya saya minta maaf kepada Anda. Tetapi saya tidak pernah menaruh kembang itu di pusara anak Anda." jawab pria itu.

"Apa, maaf?" tanya wanita itu dengan gusar.

"Ya, Nyonya, karena menurut saya, orang mati tidak akan pernah melihat keindahan seikat kembang. Karena itu setiap kembang yang saya beli, saya berikan kepada mereka yang ada di rumah sakit, orang miskin yang saya jumpai, atau mereka yang sedang bersedih, Nyonya," jawab pria itu.

Wanita itu terdiam, kemudian ia mengisyaratkan agar sopirnya segera pergi.

Tiga bulan kemudian, seorang wanita cantik turun dari mobilnya dan berjalan dengan anggun ke arah pos penjaga kuburan.

"Selamat pagi. Apakah Anda masih ingat saya? Saya Ny. Steven. Saya datang untuk berterima kasih atas nasihat yang Anda berikan beberapa bulan yang lalu.
Ketika saya secara langsung mengantarkan kembang-kembang itu ke rumah sakit atau panti jompo, kembang-kembang itu tidak hanya membuat mereka bahagia, tetapi saya juga turut bahagia. Sampai saat ini para dokter tidak tahu mengapa saya bisa sembuh, tetapi saya benar-benar yakin bahwa kebaikan hati, cinta kasih dan belas kasih adalah obat yang memulihkan saya!"

Ada prinsip yang mungkin kita tahu, tetapi sering kita lupakan, yaitu dengan menolong orang lain sesungguhnya kita menolong diri sendiri.


Sumber : http://www.facebook.com/artikelbuddhis