Chat Here

Welcome to peoplewillfindtheway.blogspot.com... Feel free to explore and enjoy!

Manusia Dalam Budhadharma


Manusia adalah mahkluk yang diberkahi dengan pikiran dan kesadarannya yang membedakan dari makhluk -makhluk lainnya, dan yang menyebabkan mendapat sebutan sebagai makhluk yang luhur. Keluruhan manusia ini yang tercemin bahwa dia selalu berusaha membawa dirinya mencapai nilai-nilainya yang luhur itu.

Manusia memiliki martabat yang luhur, karena mampu mengembangkan nilai-nilai luhur yang mencerminkan kemampuan dari kebebasanya untuk mengatasi segala kondisi, persyaratan, dukkha atau penderitaan yang menandai eksistensi hidupnya.

Fakta adanya penderitaan menunjukkan keluhuran martabat manusia. Karena keluhuran manusia tersebut merupakan momentum kemampuannya dalam mengatasi penderitaannya, sebagaimana yang dicerminkan manusia Sidharta yang akhirnya menjadi Buddha.

Masalah penderitaan inilah yang akhirnya mejadi tolak ajaran Sang Buddha atau Buddhadharma. Keterusikannya terhadap masalah penderitaan yang membuat Siddharta menempuh hidup religious dalam mencari obat bagi penawar pederitaan akhirnya juga manjadi tema pokok seluruh Buddhadharma. Buddhadharma ibarat obat penawar penyakit penderitaan eksistensi manusia, dan Buddha adalah dokternya, Dharma adalah resepnya dan Sangha adalah apotekernya.

Obat penawar itu adalah Dharma yang mengandung hukum kesunyataan dan yang diformalkan dalam kitab suci Tripitaka sebagai jalan untuk mengatasi penderitaan yang sudah melekat dalam hidup manusia, yang disampaikan oleh Buddha. Bersama dengan Sangha siswa-siswa yang telah membuktikan kebenaran Dharma. Maka Buddha, Dharma, dan Sangha adalah esensi keyakinan seorang umat Buddha yang selalu dijapakan melalui paritta perlindungan Tri Ratna.

PENDERITAAN DAN KELUHURAN MANUSIA

Penderitaan itu melekat dalam eksistensi manusia. Penderitaan yang menandai eksistensi manusia itu dijelaskan dalam tiga tingkatan yaitu Dukkha-Dukkha, Viparinama Dukkha, dan Sankhara Dukkha.

Dukkha-Dukkha adalah penderitaan da;am pengertian biasa, yaitu kelahiran, usia tua, penyakit dan kematian. Selain itu termasuk dalam dukkha ini adalah kesedihan, kesakitan, bercampur dengan yang tidak disuykai, berpisah dengan yang dicintai, maupun tidak memperoleh apa yang didambakan.

Dalam Viparinama-Dukkha, sekalipun itu perasaan kesenangan atau suatu kondisi kebahagiaan yang terjadi dalam kehidupan tetap saja tidak kekal, meengalami perubahan.

Sankhara-dukkha, merupakan penderitaan yang melekat dalam struktur manusia itu sendiri, jasmani dan rohani manisia.

SEBAB DAN AKHIR PENDERITAAN

Dukkha itu terjadi karena adanya anggapan bahwa manusia memiliki atta atau aku yang kekal. Anggapan tentang aku inilah yang menyababkan manusia mengalami penderitaan. Selain pandangan mengenai atta yang merupakan kekeliruan atau ketidaktauan (avijja), dukkha juga terjadi karena masih terdapatnya nafsu keinginan indrawi (tanha).

Manusia dan semua eksistensi kehidupan adalah jaringan hubungan yang saling terkait. Manusia sebagai baagian integral dari seluruh kosmos, dan oleh karena itu konteks untuk memahami sifat manusia adalah sifat ketergantungan dari seluruh semesta.

Dengan melenyapkan api keserakahan , kebencian dan kebodohan batin atau ilusi, itulah terletak akhir dari dukkha atau pencapaian Nibbana yang merupakan tujuan tertinggi manusia.

PEMBEBASAN DAN PENCERAHAN

Melalui jalan tengah menghanytar pertapa Siddharta mencapai pembebasan dan pencerahan. Jalan tengah menghantar pada tumbuhnya pandangan terang yang mengatasi pandangan salah mengenai dualism subyek dan obyek seperti : jiwa, dan materi, roh dan tubuh, ada dan tiada, realism dan nihilism.

Dalam pandangan Jalan Tengah tidak ada sesuatu pun yang tetap ada, semua “ menjadi”. Hidup adalah rentetan yang terjadi dari hal-hal yang “ menjadi” untuk sesata dan setelah itu segera tiada lagi. Hidup adalah arus yang terdiri dari hal-hal yang setiap saat terjadi dan tidak pernah berhenti, dan pemahaman ini merupakan cerminan dari pandangan terang.

KEKOSONGAN DAN WELAS ASIH

Suasana sunyata (kekosongan) dan welas asih ( karuna) itulah yang terjai dalam pengalaman kesadaran sempurna Siddharta menjadi Buddha, yang telah tersatukan dengan kesadaran semesta yang melahirkan cara pandang tunggal, yaitu memandang sebagai kesatuan universal. Kesatuan universal yang disebut sebagai sunyata itu adalah non-subtansialis, non – ego, anatta, tanpa inti yang kekal.

Para Buddha yang sejuk dan tersenyum kiranya mengisyaratkan kedalaman Sunyata dan kebahagiaan maha-sukkha Nirwana yang sukar untuk dilukiskan dan dikatakan itu, namun maknanya bag kita mungkin bisa terasakan dalam getaran dan gerakan ntuk terus mentransformasikan kesadaran dalam pencerahan sunyata yang mengandung dan mewujudkan welas asih atau karuna dalam kehidupan yang nyata.

Poci Retak


Kabut putih berkilauan dengan lemah gemulai perlahan menipis, menyibak dedaunan dan ranting- ranting pohon-pohon tua dipuncak gunung yang menjulur tegar. Sinar matahari mulai membias, hutan pegunugan hijau pekat berbaur warna keemasan. Sayup-sayup masih terdengar jangkrik dan belalang saling bersahut-sahutan. Burung-burung kecil pun turut mengambil bagian dalam membentuk paduan  suara  yang indah.

Di sela-sela pepohonan, terlihat sebuah bangunan tua. Seekor burung hinggap dengan lincahnya di pucuk atap bangunan. Atapnya walaupun diselimuti lumut tebal, masih terlihat ukiran-ukiran indah di tepiannya, burung itu terbang turun, dan hinggap di jendela sebuah menara. Cahaya mentari menghujam dengan beraninya ke dalam ruangan itu melalui kisi-kisi rapuh. Di dalamnya ada sebuah lonceng raksasa yang didalamnya dipenuhi ukiran-ukiran syair, menandakan bahwa bangunan ini adalah sebuah vihara kuno. Tiba-tiba terdengar suara melengking seperti suara peluit. Burung biru kembali terbang dan hinggap disebuah pintu. Burung seakan tertegun ke dalam ruangan. Apa ada gerangan?

Sebuah tangan mungil berbekas luka sayat mengangkat teko dan meletakkannya  diatas meja. Tak lama kemudian sebuah tangan yang penuh garis-garis tua mengangkat teko air dari atas teko dan menuangkan air mendidih ke dalam poci teh kecil. Bapak tua itu dengan luwesnya menyiapkan teh untuk dinikmati dengan putra angkatnya, Siao Hung. Keharuman teh bagaikan membius indera, tak terasa pagi makin matang. Selesai membereskan perlengkapan minum teh dan membersihkan meja, Siao Hung mengambil gelas kaleng berisi air bersih, dengan lincah melangkahkan kaki ke sebuah jendela ke sudut ruangan. Dengan penuh konsentrasi, perlahan ia menuangkan air menyirami sebuah tanaman kacang yang mulai tumbuh sehat didalam poci teh dekat jendela. Guratan tidak beraturan pada posisi poci menjelaskan bahwa poci itu telah retak. Segala kesibukannya dipagi bersama ayahnya berakhir selalu diakhiri dengan menyirami dalam poci yang retak. Siao Hung tersenyum memandang keluar jendela…hening menerawang…………

Empat tahun silam, pengalaman yang sangat berbeda dialami oleh Siao Hung. Setelah ayah kandungnya meninggal, ia tidak memiliki siapa-siapa lagi kecuali kakak laki-lakinya yang hampir berumur dua puluh tahun lebih tua darinya. Ibunya meninggal saat mereka masih bayi. Kakanya berperawakan besar, berkulit coklat, berambut kaku, dan bermata tajam penuh dengan kebencian. Sepeninggal ayahnya, kakanya menjual kebun sayur yang digarap ayahnya. Ia lebih senag bermata pencarihan sebagai pengadu ayam jantan. Siao Hung diajaknya untuk turut mengadu ayam. Kadang kala jika ayam jantan satu-satunya milik mereka itu menang dalam pertarungan, uang hasil kemenagannya dihamburkan kakaknya  untuk pesta arak. Siao Hung sehari-harinya harus mencari kayu bakar, mencuci pakaian dan merawat ayam. Tidak jarang ayamnaya kalah berkali-kali sehingga luka hewan malang itu luka parah. Jika sang ayam sembuh dalam waktu dua hari, kakanya akan merlampiaskan pada Siao Hung yang dianggapnya tidak mampu merawat ayam dengan baik. Pukulan tangan adalah hukuman yang telah biasa ia terima. Penganiayaan akan semakin keras jika Siao Hung menangis; baginya seorang anak laki-laki tidak pantas meneteskan air mata. Sebaliknya, kakanya akan menantang adiknya untuk melawan, padahal semakin ia menantang semakin marahlah kakanya. Hari demi hari berlalu, lama-kelamaan  Siao Hung yang masih berumur sembilan tahun menjadi anak yang nakal. Selagi menonton pertarungan ayam, Siao Hung sibuk mencopet ini pun berkat didikan kakanya. Hukuman fisik menanti jika Siao Hung pulang dengan tangan kosong.

Suatu hari petaka tak terelakkan lagi karena luka belum sembuh benar, ayam jantan mereka mati dalam pertarungan yang hanya berlangsung beberapa menit. Siao Hung turut menyaksikan pertarungan seru itu sehingga belum sempat untuk mencuri uang para penonton. Sesampainya dirumah, kakaknya marah besar. Matanya merah membara, nafasnya memburu, dan bau arak yang tajam tercium dari mulutnya. Siao Hung gemetar melihat pisau kecil di tangan kakanya. Kakaknya berteriak-teriak mengancam hendak menghabisi nyawa adiknya. Ayam jantan mereka telah mati, mata pencaharian mereka tamatlah sudah. Kakanya yang sudah kehilangan akal sehat itu berpikir dengan matinya Siao Hung, bebanya akan berkurang. Dengan sigap kakanya menagkap tangan Siao Hung. Tak kalah gesitnya Siao Hung berteriak mengelak dan lari keluar rumah melalui jendela. Saat tanganya menggapai daun jendela, pisau yang dilemparkan ke arahnya melukai punggungnya. Siao Hung berteriak kesakitan, darah bercucuran. Ia berlari sekencang-kencangnya sambil menangis dan memanggil-manggil nama ayahnya, tidak berani menoleh ke belakang lagi, tidak tau apakah kakanya mengejar atau tidak. Ia sudah tidak peduli lagi tiba- tiba ia hampir menabrak sebuah gerobak. Tidak jelas apa yang terjadi, semua berlangsung begitu cepat, sepertinya ada seseorang yang menarik tubuhnya ke atas gerobak. Setelah itu semuanya gelap………

Dari kejahuan terdengarlah suara-suara sekelompok orang berkumandang penuh kedamain. Sesekali terdengar seperti bunyi gong. Siao Hung perlahan membuka matanya, dengan pandangan terheran heran, bingung, ia melihat sekeliling ruangan yang asing baginya. Luka di tangan kananya terbalut rapi. Tiba-tiba suara langkah kaki dan  batuk-batuk seseorang mendekat. Siou Hung terkejut dan takut. Dilihatnya bapak tua dengan hati-hati menghampirinya. Wajahnya penuh dengan kerutan, rambutnya hampir tidak ada lagi, yang ada hanya beberapa helai yang sudah berwarna perak. Bapak itu tersenyum, rasa iba  dan kasih terpancar jelas dari wajahnya. Ia membawakan semangkuk air.

Seketika itu juga hilanhglah rasa takut yang ada dalam diri Siao Hung, pancaran mata itu sama dengan pancaran mata ayahnya yang masih melekat dalam benak Siao Hung. Ia merasa seperti bertemu lagi dengan ayahnya. Belumlah bibir mungilnya menyentuh mangkuk air, Siao Hung menangis tersedu-sedu, teringat apa yang telah terjadi sehari sebelumnya. Sang Bapak membelai dan memeluk rambutnya yang lusuh dan kotor. Persis seperti ayah kandungnya yang dulu sering membelainya. Di dalam isakan,  Siao Hung hanya bisa berkata lirih “tolognglah saya”. Sang bapak dengan penuh haru menjawab, “kau ditempat yang tepat, anakku…..kau berada di tempat yang tepat”. Sang bapak menarik nafas panjang.

Sehari penuh dilalui Siao Hung bersama sang bapak. Barulah Siao Hung menyadari bahwa ia berada di dalam sebuah vihara tua di pegunungan dan sang bapak adalah seorang tukang kayu disana. Siao Hung tidak begitu peduli dengan bagaimana bisa sampai di vihara itu, yang penting ia merasa sangat tertolong oleh sang bapak. Ia menceritakan semua yang pernah dialaminya. Sang bapak mendengarkan dengan seksama, sambil sesekali menarik napas panjang. Ia bisa merasakan duka dan luka batin dalam diri anak malang itu.

Pagi berganti siang, siang berganti malam. Hari-hari berlalu dengan perlahan namun pasti. Siao Hung menjadi sorang anak pendiam walaupun ia rajin mengerjakan apa saja yang ditugaskan padanya. Sesekali sang bapak tua yang kini dipanggilnya ”Ayah” menemukan Siao Hung duduk seorang diri sambil merenung di bawah Pohon Bodhi di halaman Vihara. Kadang kala bisa terlihat rasa takut dan was-was terpancar dari mata anak itu bila ada orang asing yang mengajaknya bicara. Ia hanya bisa berbicara lebih leluasa dengan ayah angkatnya. Sang ayah dengan prihatin memperhatikan setiap gerak-geriknya sambil mencari jalan untuk mengobati batin Siao Hung yang telah terluka itu. Ia sangat memahami goncangan jiwa anak angkatnya yang sangat disayanginya itu.

Dengan penuh kesabaran, sedikit demi sedikit sang ayah yang rajin ibadah itu mengajarkan apa yang dimengertinya mengenai ajaran Sang Buddha kepada putranya. Yang paling sering diperkenalkan padanya adalah riwayat dan sabda Sakyamuni Buddha dan welas asih Avalokitesvara Bodhisattva yang tiada tara, sampai-sampai Siao Hung pernah mengatakan bahwa Sakyamuni Buddha dan Avalokitesvara Bodhisatva adalah juga orang tua angkatnya. Sang ayah menganggapnya sebagai suatu ekspresi keluguan seorang anak yang penuh dengan harapan baru. Siao Hung mulai mengerti alur dan liku-liku kehidupannya. Ia menyesali segala perbuatan buruknya: membangkang, mencuri, menyakiti binatang, berbohong, dan masih banyak lagi. Akan tetapi dari kesemuanya itu, yang paling mengganjal dihatinya adalah kebimbangannya untuk kembali kepada kakaknya atau tetap tinggal di vihara.

Ia merasa bersalah telah lari dari kakak satu-satunya, seharusnya ia bisa lebih tegar dan berusaha untuk menolong kakaknya. Ia merasa dirinya tidak bermanfaat bagi keluarganya. Suatu hari, tidak tahan lagi, hal ini ditanyakan pada sang ayah.

Degan bijaksana sang ayah menjelaskan bahwa bila ia berada berada di rumah bersama kakaknya akan berbuat karma yang lebih buruk lagi dari apa yang telah diperbuatnya selama itu. Siao Hung lari dari rumah bukan atas dasar kebencian. Ia lari untuk menyelamatkan dirinya dan tanpa disadarinya ia juga telah menyelamatkan kakaknya. Dijelaskan pula bahwa selama itu ia telah menjalankan kewajibannya sebagai seorang anak dan adik dengan cukup baik, walau pada akhirnya berada di jalan yang salah. Bila Siao Hung tetap tinggal di vihara, ia bukan hanya dapat belajar Buddha Dharma, taat beribadah, berbuat kebajikan untuk orang banyak, bahkan semua makhluk, ia juga dapat berbuat demi keselamatan dan kebahagiaan orang tua dan kakak kandungnya dengan mengembangkan jasa kebajikan yang ia pupuk selama ini untuk mereka. Mendengar ini, maka Siao Hung berkaca-kaca, sang ayah menariknya kedalam pelukannya.

Disuatu pagi di musim dingin, seperti biasa, Siao Hung bangun tepat waktu untuk kemudian bersama-sama ayah angkatnya melakukan sembahyang pagi. Namun dilihatnya ada sebuah kotak kecil disampingnya. Dengan penuh rasa ingin tahu ia membuka kotak itu. Di dalamnya ada sebuah poci kecil berwarna coklat, poci itu telah retak.

Ia kenal betul dengan poci itu karena sering dipakai oleh ayah angkatnya untuk minum teh bersamanya setelah sembahyang pagi. Ia mengusap-usap matanya, dalam hati ia bertanya-tanya, apa makna hadiah ini, dan mengapa ayah menghadiahkan poci yang retak? kemudian dibukanya tutup poci itu, di dalamnya terdapat sebuah kertas kecil bertuliskan:
‘’Hadiah satu tahun menjadi putraku.’’
‘’Poci yang retak sepertinya tidak bermanfaat lagi.

Keretakan takkan mungkin bisa dihapus, ditambal dan diperbaiki seperti semula.
Akan tetapi jadikanlah poci yang retak ini sebuah pot kecil. 
Janganlah bersedih, menyesal dan rendah diri menjadi poci yang retak.
Bagaikan keretakan, karma dalam kehidupan takkan dapat dihapus.
Namun  jika poci ini dijadikan pot mungil, bahkan sebuah poci yang retakpun dapat menjadi tempat tumbuh suburnya sebuah kehidupan baru, sebuah bibit baru, bibit kebuddhaan. (V3)

Sumber: 
http://www.bodhidharma.or.id/dharma-bodhi/70-poci-retak.html

Awal Dari Kebahagiaan


Damai? Sepertinya hal ini sudah sangat sulit ditemukan, sangat sulit diciptakan, dan sangat sulit dirasakan di jaman serba teknologi ini. Mengapa? Mungkin hal ini disebabkan karena manusia jaman sekarang ini selalu ingin menjadi si ter-… (ternama, terkenal, terbaik, terutama, tercantik, terpintar, terpenting, ter-... dan ter-..., ter-..., lainnya). Sehingga, untuk mewujudkan impiannya, segala cara dihalalkan atau dengan kata lain, rasa damai itu hilang. Mungkinkah sang ”Ego” sedang berkuasa di abad ini? Atau mungkin sang ”Aku” selalu membungkus pikiran-pikiran manusia yang ada di zaman milenium ini? 

Lihat saja, dimana-mana terjadi perselisihan, pertengkaran, kesalahpahaman, kekhawatiran, kegelisahan dan ketakutan. Gejala-gejala ini sangat mudah kita temui. Sangat mudah kita dengar dan sangat mudah kita rasakan. Tak perlu jauh-jauh mendengarnya dari daerah sempit, ataupun ke Palangkaraya, bila kita mau jujur, justru hal-hal seperti disebutkan di atas ada pada diri kita sendiri, dan ini disebabkan karena adanya kemelekatan akan sang ”Ego” dan sang ”Aku” yang bercokol pada pikiran kita.

Memang terlahir seagai manusia, kita tidak bisa memungkiri sang ”Ego” dan sang ’Aku” ini tidak dapat kita lepaskan 100%. Dari perjalanan untuk menjadi manusia ditinjau dari ilmu biologi, bahwa berjuta-juta sel sperma berusaha bertemu dengan ovum (sel telur) untuk menjadi embrio, ternyata hanya satu atau dua yang bisa menjadi pemenang. Begitu juga sifat manusia, karena kemelekatannya, dia berjuang untuk mendapatkan apa yang dia inginkan tanpa memperdulikan penderitaan orang lain.

Sebagai seorang individu yang beragama, kita harus menyadari tidak semua aspek kehidupan dapat kiata raih dengan sukses, jika sudah berhasil di dalam satu bidang, tekunilah bidang tersebut sampai tuntas, jangan berpaling kebidang lain dan merampas apa yang seharusnya dimiliki oleh orang lain.

Keadaan dunia tidak akan selalu seperti yang kita harapkan, kekuatan alam seperti sinar matahari, hujan, angin dan sinar bulan berguna dan menyenangkan bagi banyak orang tetapi terkadang dapat menjadi gangguan bagi yang lain.

Dengan tidak merampas hak milik orang lain, permasalahan dan perselisihan tidak akan muncul. Ingat, kita harus membayar mahal akan kekacauan yang ada.  Kalaupun ada perselisihan gunakan kesabaran dan pengendalian.
Pepatah cina mengatakan:

” Jika anda memiliki masalah yang besar, cobalah untuk menguranginya hingga menjadi masalah yang kecil. Jika anda mempunyai masalah yang kecil,cobalah untuk menguranginya menjadi tidak ada masalah”.

Dengan melakukan hal-hal tersebut maka masalah-masalah dapat kita tenggelamkan, niscaya kedamaian pun mudah kita ciptakan, mudah kita nikmati dan mudah kita temukan dimanapun kita berada.

” Orang yang penuh semangat, selalu sadar, bajik dan bijaksana dalam perbuatan, mampu mengendalikan diri, hidup sesuai dengan Dharma dan selalu waspada, maka kebahagiannya akan bertambah”.

(Appamada Vagga 4.24)

SANG BUDDHA SEBAGAI PEMBUAT PERDAMAIAN

Dikatakan bahwa orang-orang Sakya dan Koliya membendung air sungai Rohini diantara Kapilavatthu dan Koliya dan mengolah ladang-ladang di kedua tepi sungai itu. Pada bulan Jetthamula, hasil panen mulai menjadi layu, dan para buruh yang dipekerjakan oleh kedua kota itu berkumpul. Orang-orang Koliya berkata, ”Apabila air dialirkan untuk kedua belah sisi sungai, tidak akan mencukupi untuk kedua belah pihak. Karena hasil panen kami hanya akan masak dengan tanpa membagi air itu, biarlah kami memiliki air tersebut.” Tetapi orang-orang Sakya menjawab, ”Setelah lumbung kalian penuh, kami tidak mau menukarkan barang-barang berharga kami dan dengan keranjang dan tas-tas di tangan, pergi dari pintu ke pintu, mengemis dari kalian. Hasil panen kami hanya akan masak dengan tanpa membagi air itu, maka biarlah kami memiliki air tersebut.”

”Kami tidak akan menyerahkannya kepada kalian.”

”Dan kami pun tidak akan membiarkan kalian memilikinya.”

Pembicaraan semakin sengit, seorang memukul yang lain, pukulan dibalas, perkelahian pun pecah, dan ketika mereka berkelahi, mereka melontarkan caci maki terhadap asal-usul masing-masing. Para pekerja Koliya berkata, ”Bawalah anak-anak kalian dan kembalilah ke tempat asal kalian. Bagaimana kami dapat dicelakakan oleh gajah-gajah, kuda-kuda, perisai-perisai, dan senjata-senjata dari orang-orang yang seperti anjing dan serigala hidup sebagai suami istri dengan saudara-saudara perempuan mereka?”

Para pekerja Sakya, ”Kalian penderita kusta bawalah anak-anak kalian dan kembalilah ke tempat asal kalian. Bagaiman kami dapat dicelakakan oleh gajah-gajah, kuda-kuda, perisai-perisai, dan senjata-senjata dari orang-orang buangan melarat yang hidup di atas pohon seperti binatang.

”Kedua kelompok itu masing-masing pulang dan melaporkan pertikaian itu kepada para menteri yang bertugas yanmg selanjutnya melaporkan pada rajanya. Orang-orang Sakya mempersiapkan diri untuk bertempur sambil berkata,”Kami akan memperlihatkan kekuatan dan kemampuan dari orang-orang yang telah hidup sebagai suami istri dengan saudara-saudara perempuan mereka.” Orang-orang Koliya mempersiapkan diri untuk bertempur sambil berkata,”Kami akan memperlihatkan kekuatan dan kemampuan dari orang-orang yang tinggal di atas pohon.” 

Ketika Sang Bhagava memandang ke dunia pada dini hari, Beliau melihat sanak saudaranya berkumpul dan duduk bersila, melayang di atas sungai Rohini. Ketika melihat Beliau, mereka membuang senjata dan bersujud kepada Beliau. Lalu Sang Bhagava berkata, ”Apa yang dipertengkarkan, Raja yang agung?”

”Kami tidak mengetahui apa-apa, Bhante!”
”Lalu siapa yang mengetahui?”

”Panglima angkatan bersenjata yang mengetahui.”

Ketika ditanya panglima mengemukakan bahwa Raja Muda  mungkin mengetahuinya. Maka Sang Bhagava bertanya kepada mereka satu per satu dan tak seorang pun diantara mereka yang mengetahui penyebab pertikaian, sampai para buruh ditanyai, mereka menjawab, ”Kami bertikai mengenai air.”

Lalu Sang Bhagava berkata kepada raja, ”Berapakah nilai air, raja yang agung?”

”Sangat kecil, Bhante.”

”Berapakah nilai seorang serdadu?”

”Seorang serdadu Bhante, adalah tak ternilai harganya.”

Lalu Sang Bhagava berkata, ”tidaklah benar bahwa demi sedikit air, kalian harus membunuh para serdadu yang tak ternilai harganya.”

Mereka semua terdiam, ”Para raja yang agung, mengapa kalian bertindak demikian? Jika aku tak berada di sini hari ini, kalian akan menyebabkan sebuah sungai darah mengalir. Tindakan kalian tidak berfaedah. Kalian hidup dalam kebencian, menyerahkan diri pada lima jenis kebencian. Aku hidup dengan penuh cinta kasih. Kalian menderita karena nafsu. Aku hidup bebas dari penderitaan. Kalian hidup dengan mengejar lima jenis kesenangan indera. Aku hidup dengan kepuasan hati.”

Sumber: 
http://www.bodhidharma.or.id/renungan-bodhi/39-renungan-bodhi/135-awal-dari-kebahagian.html

Kakek Berusia Empat Tahun


Dalam perjalanan seorang pemuda berjumpa seorang kakek tua. Setelah berbincang- bincang, seorang pemuda itu bertanya, “Berapa usia anda, kakek?” Sang kakek menjawab, “Saya berumur empat tahun!” Sang pemuda terperanjat mendengar jawaban itu, kakek yang tua renta dan rambutnya sudah putih semua, tampaknya sudah berusia 70 tahun, mana mungkin berusia 4 tahun?

Melihat pemuda yang penuh keheranan sang kakek berkata: “Oh pemuda, tahun ini saya benar-benar berusia empat tahun! mengapa? Karena sejak dahulu saya berjiwa egois dan tak pernah memikirkan orang lain. Saya tidak pernah tau apa itu kebajikan, hanya menikmati kesenagan diri sendiri dan tidak pernah membantu mereka yang menderita. Empat tahun yang lalu saya mengenal Buddhadharma, yang telah membuka mata saya sehingga mengerti arti kehidupan, serta makna dalam memberikan bantuan kepada orang lain. Buddhadharma telah membangunkan saya dari impian buruk dan menunjukan jalan yang terang, sehingga dalam masa sisa hidup ini saya dapat memberikan cinta kasih dan welas asih kepada orang lain, membagikan kegembiraan kepada semua umat manusia, memiliki kondisi yang baik bagi diri sendiri“.
“Empat tahun yang lalu aku baru mulai sadar dari mimpiku dan melihat hakekat yang sebenarnya dari kehidupan, baru mengetahi apa itu kehidupan dan mengerti arti kehidupan. Oh, pemuda, dulu saya hanya sia-sia menghabiskan waktu dan melewati usiaku, hanya selama empat tahun ini saya benar-benar mengenal diriku, untuk dapat menerima welas asih, kasih sayang, kedamain dan berdana untuk orang lain. Oleh karena itu saya katakan umur saya baru empat tahun”.

Kehidupan yang bermakna tidak terletak pada panjang atau pendeknya umur, tetapi yang terpenting adalah bagaimana seseorang dapat menggunakan sisa waktu kehidupannya. Yen Hui, murid utama Nabi Kong Hu Cu, meskipun hanya berusia 30 tahun lebih, namun pandangan hidupnya yang baik selalu mendapat pujian dan penghargaan banyak orang hingga kini. Demikian pula Biksu Shen Chau,yang hanya hidup 30 tahun lebih di dunia ini, namun telah meninggalkan karya sastra tentang filsafat Madyamika yang memberikan sumbangan berharga dalam perkembangan filsafat Buddhis Mahayana.

Setelah melewati hampir seluruh umurnya kakek berusia empat tahun itu baru menemukan makna dan arti kehidupan yang benar, sedangkan kita yang berumur panjang, pernahkah merenungkan apa yang kita harapkan dan apa yang akan kita perbuat dalam kehidupan yang panjang itu? Di dalam Mahayana Sutra Alamkara dikatakan: “Sungguh sulit untuk dapat terlahir sebagai manusia, sungguh sulit untuk menumbuhkan keyakinan, sungguh sulit untuk merasa cukup dan puas atas harta yang diperoleh, dan lebih sulit lagi dapat memperoleh kesempatan untuk berbuat bajik!”.

Kakek yang byang berusia empat tahun tidak menyedihkan, walaupun terlambat  namun masih bertemu dengan kebenaran, yang menyedihkan adalah bila kita sia-sia dalam hidup ini, bagaikan hidup dalam mimpi. (Sekolam Bunga Teratai 2)

Hati Manusia Ibarat Timbangan

Timbangan
Buddhistzone.com - Pada jaman dulu, di sebuah kota kecil di Tiongkok Utara terdapat dua toko yang menjual beras, toko yang satu bernama Yong Chang, yang satunya lagi bernama Feng Yu. Pemilik tua toko beras Feng Yu melihat saat itu situasi sedang kacau oleh peperangan tidak mudah untuk berdagang, lalu memikirkan suatu rencana yang bisa mendatangkan keuntungan yang lebih besar.
Hari itu, dia mengundang ahli pembuat timbangan ke rumahnya, dengan sembunyi-sembunyi dia berkata kepada ahli pembuat timbangan itu, “Tolong Anda buatkan satu timbangan yang ukuran beratnya 1kg sama dengan 15,5 kati, nanti ongkos pembuatannya saya tambah seratus tael.”
(1 kg yang sebenarnya adalah 16 kati)
Demi untuk mendapatkan uang seratus tael lebih banyak, dia telah mengabaikan moralnya, dan segera menyanggupi pemilik toko tua itu. Setelah selesai berpesan, pemilik toko itu pun meninggalkan ahli timbangan itu seorang diri di halaman rumahnya untuk membuat timbangan, dia sendiri berjalan ke dalam toko mengurus dagangannya.
Pemilik toko beras tua itu mempunyai empat orang putra, semua anaknya membantu dia mengolah toko beras itu. Putra yang bungsu dua bulan yang lalu baru menikah, istrinya adalah putri seorang guru pengajar.
Ketika mertuanya berpesan dengan ahli pembuat timbangan, dia sedang menjahit di dalam kamar, percakapan mertuanya dengan ahli timbangan telah terdengar semuanya olehnya.
Setelah ditinggal pergi oleh si pemilik toko, menantu baru itu merenung sejenak, berjalan keluar dari kamar dan berbicara dengan ahli pembuat timbangan itu, “Mertua saya itu sudah tua, pikirannya agak kacau, tadi pasti salah mengucapkan kata-kata. Mohon Anda buatkan timbangan yang ukuran beratnya 1kg sama dengan 16,5 kati, nanti saya berikan ongkos lebih 200 tael. Tetapi, Anda harus berjanji tidak memberitahukan hal ini kepada mertua saya itu.” Ahli pembuat timbangan itu demi mendapatkan uang 200 tael lebih banyak lagi, dia mengabulkan permintaan itu.
Timbangan yang ukuran beratnya 1kg sama dengan 16,5 kati dengan cepat telah selesai dibuat, dan ahli pembuat timbangan itu sungguh tidak memberitahu perubahan berat timbangan itu kepada pemilik tua.
Pemilik toko yang tua itu sudah pernah beberapa kali membuatkan dacin kepada ahli timbangan itu, sangat mempercayai keahliannya, jadi timbangan baru setelah selesai dibuat hari itu juga dibawa ke dalam toko beras untuk dipergunakan.
Beberapa waktu kemudian, perdagangan toko beras Feng Yu kian makmur, pelanggan lama dari toko beras Yong Chang juga ikut meramaikan. Mereka berbondong-bondong beralih ke toko beras Feng Yu untuk membeli beras.
Tidak lama setelah itu, orang-orang yang tinggal di sebelah barat dan timur jalanan kota kabupaten itu juga mencari yang jauh dan melepaskan yang dekat, mereka menelusuri kampung dan jalanan datang ke Feng Yu untuk membeli beras, sedangkan toko beras Yong Chang yang berada di depan jalanan menjadi sepi sekali.
Tiba pada akhir tahun, toko beras Feng Yu mendapatkan keuntungan besar, sedangkan toko beras Yong Chang merugi hingga tidak bisa melanjutkan perdagangan, toko beras itu akhirnya dipindah-tangankan kepada Feng Yu.
Pada malam tahun baru, keluarga besar pemilik toko Feng Yu duduk berkeliling makan Shuijiao (sejenis pangsit, yang merupakan makanan utama malam tahun baru imlek untuk penduduk Tiongkok Utara) bersama.
Hati pemilik tua sedang bergembira, dia mengeluarkan pertanyaan untuk semua orang. Dia ingin tahu siapa yang dapat menebak bagaimana dia bisa menjadi kaya raya. Mereka semua berebut untuk berbicara, ada yang mengatakan berkat perlindungan Yang Kuasa, ada yang mengatakan pemilik tua menggunakan cara yang tepat untuk mengelola, ada juga yang mengatakan letak toko beras itu sangat strategis, ada pula yang berkata berkat kerja sama dari seluruh anggota keluarga.
Pemilik tua itu dengan tertawa dan berkata, “Jawaban kalian semuanya salah. Kita menggantungkan apa untuk menjadi kaya? Menggantungkan timbangan yang kita miliki! Timbangan kita beratnya 1kg sama dengan 15,5 kati, setiap menjual 1kg beras, kurang 0,5 kati, setiap hari menjual ratusan bahkan ribuan kilo beras, maka akan mendapatkan untung banyak, dengan mengumpul keuntungan ini dari hari ke hari, maka akhirnya kita menjadi kaya.”
Selanjutnya dia menceritakan bagaimana dia pada awal tahun telah membuat timbangan yang berat 1 kilonya sama dengan 15,5 kati dengan menambahkan 100 tael kepada ahli pembuat timbangan.
Mendengarkan penuturan ini, anak cucunya sangat takjub hingga melupakan Shuijiao di mangkuk mereka. Setelah ketakjuban mereda, semua orang memuji pemilik tua alias orang tua mereka ini sangat hebat, tidak menunjukkan gelagat sedikitpun, hingga orang sendiripun tidak menyadari, uang sudah masuk ke dalam saku. Mendengarkan perkataan ini pemilik tua merasa bangga, girang bukan kepalang, berulang-ulang memegangi janggut panjangnya.
Saat itu, menantu barunya perlahan-lahan berdiri dari atas bangkunya, dan berbicara kepada sang pemilik tua, “Ada satu hal yang ingin saya sampaikan kepada ayah, sebelum saya beritahukan kepada ayah, saya berharap ayahanda mau berjanji memaafkan kesalahan saya.”
Dia menunggu pemilik tua menganggukkan kepala, dengan tenang-tenang saja menantu baru itu menceritakan kepada semua orang, tentang bagaimana dia pada awal tahun itu telah memberikan uang 200 tael lebih banyak kepada ahli pembuat timbangan untuk membuatkan timbangan yang beratnya 1 kilo sama dengan 16,5 kati.
Dia berkata, “Ucapan ayah sangat benar sekali, kita menjadi kaya berkat timbangan yang kita pakai. Timbangan kita setiap 1 kilo mempunyai kelebihan berat 0,5 kati, semua pelanggan tahu kita berdagang sangat jujur tidak mencuri timbangan, maka mereka semua mau membeli beras kita, maka usaha perdagangan kita menjadi makmur. Walaupun setiap kilonya kita mendapatkan untung lebih sedikit, tetapi jika penjualannya banyak keuntungan yang didapatkan akan besar pula. Kita telah menjadi kaya raya berkat ke-jujuran yang kita tunjukkan kepada pelanggan ”
Kali ini semua orang dibuat jadi lebih takjub, mereka terperangah. Pemilik tua tidak percaya bahwa hal ini adalah benar, dia mengambil dan menera timbangan yang dipergunakan setiap hari untuk menjual beras. Ternyata memang benar berat 1 kg-nya sama dengan 16,5 kati. Pemilik tua itu tercengang kaget, dia tidak mengatakan sepatah katapun, dengan perlahan-lahan berjalan masuk ke dalam kamarnya.
Keesokan pagi setelah sarapan pagi, tepat pada awal tahun baru tanggal satu, pemilik tua mengumpulkan seluruh anggota keluarga, sambil melepaskan kunci kasir yang terikat di pinggangnya ia berkata, “Saya sudah tua, sudah tidak berguna. Kemarin semalaman saya telah mempertimbangkan, memutuskan mulai saat ini, menyerahkan kendali toko ini kepada menantu saya yang keempat, dikemudian hari, kita semua orang mematuhi kehendak dia!”
Semua orang bagai sebuah timbangan, dengan timpang sebelah (tidak jujur), orang lain akan dapat melihatnya dengan sangat jelas. Berdagang yang diutamakan adalah ‘kejujuran’, dan sebagai manusia bukankah kita juga harus demikian?

Bodhidharma

Bodhidharma adalah seorang pangean dari India Selatan yang datang ke Tiongkok tahun 520 M pada masa Dynasti Liang (502-557 M), kaisarnya bernama Liang Wu Ti. Kedatangan Bodhidharma ke Tiongkok sangat mempengaruhi budaya Tiongkok di kemudian hari. Yang paling penting dari Bodhidharma ialah meletakkan dasar pembentukan Agama Buddha Ch’an di Tiongkok dengan tradisi India. Di India di kenal dengan sekte Dhyana, Ch’an di Tiongkok dan Zen di Jepang.
Menurut sejarah Sekte Ch’an dan silsilahnya , Bodhidharama adalah patriarch ke-28 dari urutan Buddha sakyamuni, dan merupakan patriarch  ke-1 dalam Sekte Ch’an sampai dengan Hui-Neng sebagai patriarch ke-6.
Dijelaskan pada suatu ketika waktu Buddha Sakyamuni membabarkan Dharma kepada murid-muridNya yaitu para bhiksu dan mahkluk agung lainnya, kemudian datanglah seorang Brahmin ke hadapan Hyang Buddha dengan memberikan sekuntum Bunga Kumbhala . Pada saat pemberian Bunga Kumbhala itu, Hyang Buddha tidak berkata sepatah katapun, hanya tersenyum dalam meditasi dengan memancarkan sinar dari dalam tubuhNya. Hanya Maha Kasyapa yang mengerti akan ajaran tersebut dan dia turut tersenyum, sedangkan yang lain tidak mengerti. Maka Hyang Buddha berkata kepada Maha Kasyapa: “Pelajaran tersebut kuwariskan kepadamu, karena hanya engkau yang mengerti”. Pelajaran tersebut  diberikan dari hati ke hati. Demikianlah terus diwariskan doktrin tersebut dari satu patriarch ke patriarch selanjutnya sampai ke Bodhidharma.
Syair Bodhidharma sesuai dengan pengajarannya berbunyi sebagai berikut

Pengajaran secara langsung di luar Kitab Suci,                                                                                                            Tiada tergantung pada kata harfiah atau tulisan,                                                                                             Langsung ditujukan pada jiwa manusia ,                                                                                                       Melihat ke dalam alam miliknya sendiri untuk pencapaian ke-Buddha-an.
Bodhidharma tiba di Tiongkok pertama kali sampai di Nan King, dan tinggal di Shau Lim Fu selama 9 tahun. Sejarah kehidupan Bodhidharma mencatat, bahwa tokoh Zen pertama di China ini pernah melakukan penyepian diri (pi kuan) dengan mempraktikkan meditasi “wall-gazing.” Bodhidharma menjadi terkenal sebagai “the wall-gazing Brahman.” Seorang bhiksu yang melakukan meditasi selama 9 tahun menghadap tembok di dalam sebuah gua di Sung-Shan. Di depan gua ini pula Hui’Ko yang hendak menjadi muridnya sempat memotong lengannya Hui’Ko dalam rangka menemukan kebenaran memotong lengannya seketika Bodhidharma memberi koan dengan mengatakan bagaimana menjadikan salju berwarna merah. Semenjak itulah, berkembang tradisi pencerahan seketika atau pencerahan spontanitas sampai berlanjut kepada sesepuh Chan ke enam di China, Hui Neng.
Lebih jauh, selain tradisi pencerahan spontan itu, penyepian, tapa atau pi kuan Bodhidharma itu dikabarkan pula menghasilkan suatu tradisi lain yang menyangkut seni membela diri. Sang tokoh pendiri Chan Buddhism di China yang merantau dari India ini, akhirnya dikenal pula sebagai pencipta dua tahapan sebelumnya di dalam peoses pembelajaran Dharma, pariyati (studi) dan patipatti (praktik).
Beliau juga mengembara kemana-mana untuk menyiarkan dan mengajarkan  Buddhadharma. Beliau wafat tahun 532. Setelah beliau meninggal, sekitar tahun 535 peziarah Sung Yunyang kembali dari India, bertemu dengan beliau di Pegunungan Onion, sekarang perbatasan antara Tiongkok dan Turki. Bodhidharma atau Ta Mo Chu Se berjalan tanpa sepatu, beliau hanya membawa sebelah sandal di tangannya, dan berjalan terus ke barat, untuk kembali ke Sukhavati tempat Buddha Amitabha.
Sumber:                                                                                                                                                                          
T, Suwarto. 1995. Buddha Dharma Mahayana. Palembang: Majelis
Agama Buddha Mahayana Indonesia

Kisah Mattakundali

Seorang brahmana bernama Adinnapubbaka mempunyai anak tunggal yang amat dicintai dan disayangi bernama Mattakundali. Sayang, Adinnapubbaka adalah seorang kikir dan tidak pernah memberikan sesuatu untuk orang lain. Bahkan perhiasan emas untuk anak tunggalnya dikerjakan sendiri demi menghemat upah yang harus diberikan kepada tukang emas.

Suatu hari, anaknya jatuh sakit, tetapi tidak satu tabib pun diundang untuk mengobati anaknya. Ketika menyadari anaknya telah mendekati ajal, segera ia membawa anaknya keluar rumah dan dibaringkan di beranda, sehingga orang-orang yang berkunjung ke rumahnya tidak mengetahui keadaan itu.

Sebagaimana biasanya, di waktu pagi sekali, Sang Buddha bermeditasi. Setelah selesai, dengan mata Ke-Buddhaan Beliau melihat melihat ke seluruh penjuru, barangkali ada makhluk yang memerlukan pertolongan. Sang Buddha melihat Mattakundali sedang berbaring sekarat di beranda. Beliau merasa bahwa anak itu memerlukan pertolongannya.

Setelah memakai jubahnya, Sang Buddha memasuki kota Savatthi untuk berpindapatta. Akhirnya Beliau tiba di rumah brahmana Adinnapubbaka. Beliau berdiri di depan pintu rumah dan memperhatikan Matthakundali. Rupanya Matthakundali tidak sadar sedang diperhatikan. Kemudian Sang Buddha memancarkan sinar dari tubuh-nya, sehingga mengundang perhatian Matthakundali, brahmana muda.

Ketika brahmana muda melihat sang Buddha, timbullah keyakinan yang kuat dalam batinnya. Setelah Sang Buddha pergi, ia meninggal dunia dengan hati yang penuh keyakinan terhadap Sang Buddha dan terlahir kembali di alam surga Tavatimsa.

Dari kediamannya di surga, Matthakundali melihat ayahnya berduka-cita atas dirinya di tempat kremasi. Ia merasa iba. Kemudian ia menampakkan dirinya sebagaimana dahulu sebelum ia meninggal, dan memberitahu ayahnya bahwa ia telah terlahir di alam surga Tavatimsa karena keyakinannya kepada Sang Buddha. Maka ia menganjurkan ayahnya mengundang dan berdana makanan kepada sang Buddha.

Brahmana Adinnapubbaka mengundang Sang Buddha untuk menerima dana makanan. Selesai makan, ia bertanya, "Bhante, apakah seseorang dapat, atau tidak dapat, terlahir di alam surga; hanya karena berkeyakinan terhadap Buddha tanpa berdana dan tanpa melaksanakan moral (sila)?"

Sang Buddha tersenyum mendengar pertanyaan itu. Kemudian Beliau memanggil dewa Matthakundali agar menampakkan dirinya. Matthakundali segera menampakkan diri, tubuhnya dihiasi dengan perhiasan surgawi, dan menceritakan kepada orang tua dan sanak keluarganya yang hadir, bagaimana ia dapat terlahir di alam surga Tavatimsa. Orang-orang yang memperhatikan dewa tersebut menjadi kagum, bahwa anak brahmana Adinnapubbaka mendapatkan kemuliaan hanya dengan keyakinan terhadap Sang Buddha.

Pertemuan diakhiri oleh Sang Buddha dengan membabarkan syair kedua berikut ini:


"Manopubbangama dhamma 

manosettha manomaya 
manasa ce pasannena 
bhasati va karoti va 
tato nam sukha manveti 
chayava anapayini." 

Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu, 
pikiran adalah pemimpin, 
pikiran adalah pembentuk. 
Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran murni, 
maka kebahagiaan akan mengikutinya, 
bagaikan bayang-bayang yang tak pernah meninggalkan bendanya.


Pada akhir kotbah Dhamma itu, Mattakundali dan Adinnapubbaka langsung mencapai tingkat kesucian sotapatti. Kelak, Adinnapubbaka mendanakan hampir semua kekayaannya bagi kepentingan Dhamma.

Kisah Cakkhupala Thera

Suatu hari, Cakkhupala Thera berkunjung ke Vihara Jetavana untuk melakukan penghormatan kepada Sang Buddha. Malamnya, saat melakukan meditasi jalan kaki, sang thera tanpa sengaja menginjak banyak serangga sehingga mati. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali serombongan bhikkhu yang mendengar kedatangan sang thera bermaksud mengujunginya. Di tengah jalan, di dekat tempat sang thera menginap mereka melihat banyak serangga yang mati.

"Iiih..., mengapa banyak serangga yang mati di sini?" seru seorang bhikkhu. "Aah, jangan jangan...", celetuk yang lain. "Jangan-jangan apa?" sergah beberapa bhikkhu. "Jangan-jangan ini perbuatan sang thera!" jawabnya. "Kok bisa begitu?" tanya yang lain lagi. "Begini, sebelum sang thera berdiam disini, tak ada kejadian seperti ini. Mungkin sang thera terganggu oleh serangga-serangga itu. Karena jengkelnya ia membunuhinya."

"Itu berarti ia melanggar vinaya, maka perlu kita laporkan kepada Sang Buddha!" seru beberapa bhikkhu. "Benar, mari kita laporkan kepada Sang Buddha, bahwa Cakkhupala Thera telah melanggar vinaya", timpal sebagian besar dari bhikkhu tersebut.

Alih-alih dari mengunjungi sang thera, para bhikkhu itu berubah haluan, berbondong-bondong menghadap Sang Buddha untuk melaporkan temuan mereka, bahwa "Cakkhupala Thera telah melanggar vinaya!"

Mendengar laporan para bhikkhu, Sang Buddha bertanya, "Para bhante, apakah kalian telah melihat sendiri pembunuhan itu?"

"Tidak bhante", jawab mereka serempak.

Sang Buddha kemudian menjawab, "Kalian tidak melihatnya, demikian pula Cakkhupala Thera juga tidak melihat serangga-serangga itu, karena matanya buta. Selain itu Cakkhupala Thera telah mencapai kesucian arahat. Ia telah tidak mempunyai kehendak untuk membunuh."

"Bagaimana seorang yang telah mencapai arahat tetapi matanya buta?" tanya beberapa bhikkhu.

Maka Sang Buddha menceritakan kisah di bawah ini:

Pada kehidupan lampau, Cakkhupala pernah terlahir sebagai seorang tabib yang handal. Suatu ketika datang seorang wanita miskin. "Tuan, tolong sembuhkanlah penyakit mata saya ini. Karena miskin, saya tak bisa membayar pertolongan tuan dengan uang. Tetapi, apabila sembuh, saya berjanji dengan anak-anak saya akan menjadi pembantu tuan", pinta wanita itu. Permintaan itu disanggupi oleh sang tabib.

Perlahan-lahan penyakit mata yang parah itu mulai sembuh. Sebaliknya, wanita itu menjadi ketakutan, apabila penyakit matanya sembuh, ia dan anak-anaknya akan terikat menjadi pembantu tabib itu. Dengan marah-marah ia berbohong kepada sang tabib, bahwa sakit matanya bukannya sembuh, malahan bertambah parah.

Setelah diperiksa dengan cermat, sang tabib tahu bahwa wanita miskin itu telah berbohong kepadanya. Tabib itu menjadi tersinggung dan marah, tetapi tidak diperlihatkan kepada wanita itu. "Oh, kalau begitu akan kuganti obatmu", demikian jawabnya. "Nantikan pembalasanku!" serunya dalam hati. Benar, akhirnya wanita itu menjadi buta total karena pembalasan sang tabib.

Sebagai akibat dari perbuatan jahatnya, tabib itu telah kehilangan penglihatannya pada banyak kehidupan selanjutnya.

Mengakhiri ceritanya, Sang Buddha kemudian membabarkan syair di bawah ini:

"Manopubbangama dhamma
manosettha manomaya
manasa ce padutthena
bhasati va karoti va
tato nam dukkhamanveti
cakkamva vahato padam."


Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu,
pikiran adalah pemimpin,
pikiran adalah pembentuk.
Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran jahat,
maka penderitaan akan mengikutinya,
bagaikan roda pedati mengikuti langkah kaki lembu yang menariknya.


Pada saat khotbah Dhamma itu berakhir, di antara para bhikkhu yang hadir ada yang terbuka mata batinnya dan mencapai tingkat kesucian arahat dengan mempunyai kemampuan batin analitis "Pandangan Terang" (pati-sambhida).

Perangkap Tikus

Sepasang suami dan istri petani pulang kerumah setelah berbelanja. Ketika mereka membuka barang belanjaan, seekor tikur memperhatikan dengan seksama sambil menggumam “hmmm…makanan apa lagi yang dibawa mereka dari pasar??”

Ternyata, salah satu yang dibeli oleh petani ini adalah Perangkap Tikus. Sang tikus kaget bukan kepalang. 
Ia segera berlari menuju kandang dan berteriak 
” Ada Perangkap Tikus di rumah….di rumah sekarang ada perangkap tikus….”


Ia mendatangi ayam dan berteriak ” ada perangkap tikus” 
Sang Ayam berkata ” Tuan Tikus…, Aku turut bersedih, tapi itu tidak berpengaruh terhadap diriku”


Sang Tikus lalu pergi menemui seekor Kambing sambil berteriak. 
Sang Kambing pun berkata ” Aku turut ber simpati…tapi tidak ada yangbisa aku lakukan”


Tikus lalu menemui Sapi. Ia mendapat jawaban sama. 
” Maafkan aku. Tapi perangkap tikus tidak berbahaya buat aku sama sekali”

Ia lalu lari ke hutan dan bertemu Ular. Sang ular berkata
” Ahhh…Perangkap Tikus yang kecil tidak akan mencelakai aku”
Akhirnya Sang Tikus kembali kerumah dengan pasrah mengetahui kalau ia akan menghadapi bahaya sendiri.
Suatu malam, pemilik rumah terbangun mendengar suara keras perangkap tikusnya berbunyi menandakan telah memakan korban. Ketika melihat perangkap tikusnya, ternyata seekor ular berbisa. Buntut ular yang terperangkap membuat ular semakin ganas dan menyerang istri pemilikrumah. Walaupun sang Suami sempat membunuh ular berbisa tersebut, sang istri tidak sempat diselamatkan.
Sang suami harus membawa istrinya kerumah sakit dan kemudian istrinya sudah boleh pulang namun beberapa hari kemudian istrinya tetap demam.

Ia lalu minta dibuatkan sop ceker ayam (kaki ayam) oleh suaminya. 
(kita semua tau, sop ceker ayam sangat bermanfaat buat mengurangi demam) 
Suaminya dengan segera menyembelih ayamnya untuk dimasak cekernya.


Beberapa hari kemudian sakitnya tidak kunjung reda. Seorang temanmenyarankan untuk makan hati kambing. 
Ia lalu menyembelih kambingnya untuk mengambil hatinya.

Masih, istrinya tidak sembuh-sembuh dan akhirnya meninggal dunia.

Banyak sekali orang datang pada saat pemakaman. 
Sehingga sang Petani harus menyembelih sapinya untuk memberi makan orang-orang yang melayat.


Dari kejauhan…Sang Tikus menatap dengan penuh kesedihan. 
Beberapa hari kemudian ia melihat Perangkap Tikus tersebut sudah tidak digunakan lagi.


Kalau kita menganggap ini bukan urusan kita, coba pertimbangkanlah lagi. Semoga Indonesia makin baik.

Sumber : http://filsafat.kompasiana.com/2010/02/18/perangkap-tikus/

Renungan Kecil

Sebuah renungan ini saya buat khusus untuk seseorang yang benar-benar saya harapkan segera membuka pikirannya dan belajar menghargai orang tanpa memilih-milih. Sebagai makhluk sosial sudah tentu kita tidak bisa hidup sendirian, oleh karena itu kita harus hidup saling tolong-menolong yang sudah pasti ada yang memberi dan ada yang menerima. Kita selama hidup pasti akan tetap terus menerima pemberian dari seseorang, menerima semua hasil usaha kita. Karena itu, selama kita menerima, usahakan membalasnya dengan memberikan hal yang terbaik. Dan ini diharapkan berlangsung selama kita hidup dan selama kita menerima.

Kapan ketika kita berhenti menerima? Ada 2 kondisi, yaitu: ketika kita telah tiada, atau ketika yang memberikan telah tiada. Orang hebat bukanlah hanya orang yang memiliki kelebihan atapun kemampuan, melainkan orang yang selama hidupnya berguna bagi orang lain. Orang inilah yang kita sebut hebat, dan orang ini akan terus dikenang dalam hati setiap orang akan kebaikannya dari generasi ke generasi. 

Membahas ketika orang yang memberi telah tiada, biasanya orangg yang sayang kepada kita (seperti keluarga) jika memberikan sesuatu itu adalah hal biasa bagi kita, namun jika orang lain yang berbeda memberikan sesuatu itu adalah suatu hal yg luar biasa. Hingga kita memikirkan bagaimana membalas budi kepada mereka, tapi kita tidak pernah memikirkan bagaimana cara membalas budi kepada orang yang menyayangi kita. Pantaskah mereka yang menyayangi kita mendapat perlakuan seperti ini? Kita bahkan hampir tidak pernah berkata "Terima Kasih" ketika keluarga memberikan sesuatu kepada kita, namun ketika orang lain memberikan sesuatu kita tidak henti-hentinya mengucapkan kata tersebut.

Mengapa demikian? Karena kita terbiasa menerima hal yg kita anggap menyenangkan bagi kita daripada hal yang terbaik untuk kita. Yang terbaik untuk kita tidaklah menjamin apakah itu menyenangkan atau tidak bagi kita. Dan yang menyenangkan bagi kita justru mencelakakan kita. Mereka yang menyayangi kita tidak selalu memberikan apa yang kita mau, tapi apa yang kita butuhkan dan yang baik bagi kita.

Kita meminta sesuatu kepada orang tua dengan harapan dikabulkan tetapi kenyataannya tidak. Dan jika tidak diberikan maka kita akan merengek, merajuk, tidak mau bicara dengan orang tua, hingga mengurung diri. Tapi apakah kita pernah berpikir mengapa mereka tidak memberikannya? Lihat pada diri sendiri. Ketika kita meminta sesuatu dari teman kita, tapi mereka tidak mau memberikannya, kita terbiasa menjawab "Tidak apa-apa". Tapi mengapa kita begitu kepada orang tua kita? Yang telah memberikan apa yang kita butuhkan sejak kita kecil hingga sekarang. Pernahkah berpikir untuk berterima kasih? Bahkan kita tidak akan bisa membalasnya dengan setimpal.

Kita dari kecil dibiayai oleh orang tua, mereka yang menghidupi kita hingga kita dewasa nanti dan mempunyai kehidupan sendiri. Tapi yang biasa terjadi kita bisa dengan mudahnya membantu orang lain tetapi sungguh sulit ketika orang tua meminta kita untuk melakukan sesuatu. Cobalah direnungkan sejenak. Kita bisa hidup hingga kini karena orang tua, mereka telah banyak membantu kita dalm hidup ini. Mulai dari mengajari kita bicara, berjalan, meulis, membaca, dan menurunkan semua ilmu yang mereka miliki. Tapi seberapa banyak balas budi kita kepada mereka hingga kini?

Yang kita tahu hanyalah meminta dari orang tua dan jarang memberi kepada orang tua...
Apapun yang mereka berikan kepada kita, hargailah karena mereka tahu apa yang terbaik bagi kita...
Mereka melakukan semuanya atas dasar kasih sayang mereka kepada kita...
Dengarkanlah mereka baik-baik karena mereka tidak ingin terjadi hal yang buruk kepada kita...
Karena yang namanya hidup, tidak akan selamanya mereka ada untuk kita...
Di saat mereka telah tidak ada untuk kita, kita harus meminta kepada siapa?
Siapa yang tahu yang terbaik untuk kita?
Siapa yang akan menyayangi kita seperti mereka yang menyayangi kita dari kecil hingga kepergian mereka?
Siapa yang akan menasehati kita jika kita salah?
Kepada siapa kita harus meminta saran ketika kita tidak tahu harus meminta kepada siapa?

Jadi, janganlah meremehkan pemberian orang tua, seburuk apapun yang mereka berikan, pemberian tersebut memiliki nilai yang tidak akan sama bagusnya dengan apa yang kita terima dari orang lain.
Selagi kita masih sempat membalas budi, lakukanlah dan jangan menunda-nunda...

1 kutipan yang sangat bermakna untuk kita semua;
"JIKA BUKAN KARENA KASIH SAYANG, KITA TIDAK AKAN SEPERTI SEKARANG"