Chat Here

Welcome to peoplewillfindtheway.blogspot.com... Feel free to explore and enjoy!

Puja Bhakti

Konsep Sembahyang dan Puja Bakti itu berbeda dan umat Buddha menggunakan konsep Puja Bakti daripada Sembahyang.

Sembahyang berasal dari kata sembah, yang berarti menyembah Hyang atau Dewa.
Sedangkan kita bukanlah penyembah dewa, dan kita juga tidak pernah meminta-minta kepada dewa: "Dewa, sebentar lagi ujian kenaikan kelas, berkatilah saya semoga ujiannya mudah dan saya bisa naik kelas." Itu adalah sembahyang. Tidak ada dalam pengertian Agama Buddha rumusan permohonan seperti itu.

Istilah 'Puja Bakti' memiliki pengertian bahwa kita memuja, menghormat, dan berbakti dengan menjalankan ajaran Sang Buddha. 'Pemujaan' timbul ketika pada jaman dahulu, para bhikkhu dan murid Sang Buddha lainnya bersujud kepada Sang Buddha. Mereka memuja, menghormat dengan membawa bunga, dupa dan lilin. Kalau sekarang, bunganya sudah disediakan di vihara, lilinnya juga sudah dihidupkan, jadi orang tinggal memasang dupa saja. Begitulah tradisi pemujaan. Kemudian tentang istilah bakti. Ketika kita membaca Paritta sebenarnya adalah merupakan pengganti khotbah Sang Buddha, mengulang khotbah Sang Buddha, merenungkan isinya dan membawanya pulang ke rumah untuk dilaksanakan dalam kehidupan kita sehari-hari. Itulah makna istilah Puja Bakti.Sejak jaman Sang Buddha, sebulan 4 kali yaitu tanggal 1, 8, 15, 23 diadakan pertemuan di vihara dan pembabaran Dhamma. Oleh karena itu, setelah Sang Buddha wafat, tempat duduk Sang Buddha atau simbol-simbol yang berhubungan dengan ajaran Sang Buddha -seperti misalnya bunga teratai, pohon bodhi, cakra, stupa, dan kemudian perwujudan Sang Buddha- menjadi obyek pemujaan. Mereka datang dihadapan Buddha rupang, memasang dupa, lilin, menghormat dan kemudian berbakti dengan mengulang, mengingat serta melaksanakan Ajaran Sang Buddha. Dengan demikian, maka terbentuklah etika umat Buddha bahwa pada hari yang sudah disepakati mereka mengadakan Puja Bhakti. Kalau pada jaman dahulu jatuh setiap tanggal 1, 8, 15, 23, kesepakatan kita sekarang adalah setiap hari Minggu saja. Kenapa? Karena tanggal 1, 8, 15, 23 itu kadang-kadang jatuh pada hari kerja, dan kalau pada hari kerja alasan sibuk tentu akan lebih banyak muncul. Dengan mengingat bahwa etika seorang umat Buddha seminggu sekali bertemu dengan Sang Buddha, bertemu dengan Dhamma, bertemu dengan Sangha, untuk mendengarkan Dhamma kemudian melaksanakannya di dalam kehidupan sehari-hari, maka hendaknya hari apapun kesepakatan kita mengadakan puja bakti, kita harus berusaha datang. Itu adalah etikanya. Pada jaman dahulu di masa Sang Buddha, kalau di vihara sedang ada ceramah Dhamma, ada Puja Bakti,maka di halaman vihara itu dinaikkan selembar bendera. Dari kejauhan kibaran bendera itu telah nampak.Apakah maksudnya? Dengan melihat bendera itu, orang yang datang dari jauh akan segera mengetahuibahwa Sang Buddha sedang membabarkan Dhamma. Mereka kemudian akan berjalan dengan hati-hati,tenang serta menghindari suara berisik agar tidak mengganggu kekhusukan dan kekhidmatan vihara. Jadi semua kendaraan di jaman itu kereta langsung diparkir.

Etika Buddha: Membentuk Pribadi Bersusila Yang Mandiri Dan Peduli

Oleh Jo Priastana S.S

Pendahuluan
Zaman sekarang yang ditandai oleh perubahaan pesat di dalam banyak bidang kehidupan disamping kemajuan juga mendatangkan kegelisahan. Dengan kemajuan komunikasi dan informasi dunia menjadi kecil, dan seturut dengan itu timbulah masalah kegelisahan yang menyangkut masalah moral. Banyak orang merasa tidak punya pegangan lagi tentang norma kehidupan. Bunuh diri egoistic dan anomic yang disebut Emile Durkhein dan melanda kehidupan manusia modern merupakan cirri dari kosongnya norma moral dan makna kebersamaan.

Kita dapat membedakan masalah moral yang menyangkut individu dengan masalah moral yang menyangkut hidup dan urusan orang banyak. Moral individu juga punya kaitan dengan orang lain, tetapi kaitan itu tidak sekuat pada moral social yang langsung menyangkut orang banyak. Moralitas mastubasi misalnya, tidak menyangkut banyak orang lain bila dibandingkan dengan moralitas system politik atau system ekonomi.

Dalam situasi perubahan dan kegelisahan yang serba tidak pasti ini, maka etika sangat dibutuhkan guna dapat menemukan patokan bertindak. Pada umumnya terdapat tiga system norma moral yang dijadikan patokan, yakni norma berdasarkan keyakinan akan kewajiban mutlak (deontologis); norma berdasarkan tujuan perbuatan (teleologis); atau norma berdasarkan hubungan-hubungan dengan orang lain(relasional).

Moral dan Etika buddhis

Moral erat kaitannya dengan etika. Moral menyangkut kebaikan. Orang yang tidak baik juga disebut sebagai orang yang tidak bermoral. Etika juga menyangkut tentang kebaikan, yakni sebagai kemampuan untuk menilai mana yang baik dan mana yang buruk. Dalam agama etika merupakan factor motivasi yang mendorong dan melandasi cita-cita dan amal perbuatan.

Dalam agama Buddha, moral dan etika sangat dititikberatkan, dan penegakkan moral merupakan perwujudan dari kebutuhan pengembangan diri dari manusia yang selalu berproses. Lebih dari sekedar melakukan upacara, Buddha menekankan untuk menegakan moral atau menjalankan sila, hidup bersusila “Saya tak akan menaruh kayu, Brahmana, untuk umpan api di altar. Hanya didalam diri, api saya nyalakan. Dengan api yang tidk putus-putus membakar ini, dan dengan diri yang selalu dikendalikan, saya jalani kehidupan mulia dan luhur. “ (Samyuttta Nikaya, 2320).

Dalam agama Buddha prilaku moral mengandung dua aspek, aspek negatif: hindarilah atau jangan berbuat kejahatan (papasanakaranam) dan aspek positif : kembangkanlah kebaikan (kusalaupasampada). Keduanya merupakan pasangan terhadap satu sama lain. Pengekangan diri terhadap pembunuhan, misalnya yang merupakan aspek positif dalam pelaksanaan cinta kasih terhadap semua makhluk

“Jangan berbuat jahat. Berbuatlah kebaikan. Sucikan hati dan pikiran.” Inilah inti ajaran para Buddha.

Didalam setiap kebaktian, umat Buddha setelah mengungkapkan keyakinan terhadap Triratna ; Buddha, Dharma dan Sangha, melanjutkan dengan membacakan paritha Pancasila, Lima Sila paling dasar dari kebajikan moral yang wajib dilaksanakan oleh umat Buddha, yaitu : jangan makan minuman yang memabukan dan yang melemahkan kesadaran.

Sila atau moralitas dalam agama Buddha juga terkandung didalam beruas delapan untuk menghentikan dukka, disamping meditasi meditasi dan panna, (kebijaksanaan), yaitu : ucapan benar (sammavacca), perbuatan benar (samma kammanta), dan mata pencaharian benar (sama Ajiva).

Sang Buddha menyebutkan tentang adanya sifat dasar yang melandasi perbuatan manusia, yaitu: merindukan kesenangan (sukhama), dan menghindari kesakitan (dukkhapatikula). Begitupun prilaku manusia bisa didasari oleh motif-motif laten yang terdapat didalam dirinya seperti : keinginan terhadap kelangsungan (bhawa-tanha), keinginan terhadap kenikmatan (kamatanha), atau keinginan akan kehancuran (vibhavatanha).

Terhadap adanya sifat-sifat dasar atau motif-motif alten tersebut, maka penegakkan moral dalam hidup bersusila sangat penting dan ditegaskan oleh Sang Buddha.

“Orang yang selalu mencari kesenangan tidak dapat mengendalikan indria-indrianya, malas dan lemah, ia pasti akan ditaklukan oleh mara, bagaikan pohon kayu yang lemah ditumbangkan oleh angin topan yang dahsyat.” (Dhammapada 7).

“Orang yang dapat mengendalikan indrianya bagaikan seorang kusir yang dapat mengendalikan kudanya, yang telah dapat menghilangkan kesombongannya dan hanya dengan ulet dapat membersihkan batinnya dari noda-noda. Orang seperti ini dicintai oleh para dewa.” (Dhammapada 94)

Sehubungan dengan tindakan-tindakan yang berkenan dengan relasi terhadap yang lain, Sang Buddha menyebutkan terdapatnya empat tipe orang, yaitu : pertama orang yang menyiksa dirinya seperti pertapa, kedua orang yang menyiksa orang lain seperti pemburu, ketiganya orang yang menyiksa dirinya maupun yang lain seperti dalam penyelenggaraan korban besar-besaran, dan keempat orang yang tidak menyiksa yang lain, seperti arahat atau orang suci.

Perbuatan manusia juga tidak dpat dilepaskan dari hubungan-hubungan dan sikapnya dengan orang lain. Dan inipun menentukan mutu kehidupannya.

“Orang yang mencari kebahagiaan dnegan menyakiti orang lain yang juga mendambakan kebahagiaan, maka orang itu tidak akan mendapatkan kebahagiaan setelah kematiannya. Orang yang mencari kebahagiaan dengan tidak menyakiti orang lain yang juga mendambakan kebahagiaan, maka ia akan mendapatkan kebahagiaan setelah matinya”. (Dhammapada 131).

Bersusila yang mandiri

Terhadap kehidupan bersusila, Sang Buddha menekankan agar kita hendaknya agar kita hendaknya dapat bersikap mandiri, otonom, sebagaimana yang diungkapkannya dengan istilah “Jadilah pulau bagi dirimu sendiri”. Moralitas atau hidup yang bersusila yang mandiri ini adalah dimana kita sendirilah yang dapat memutuskan secara kritis mana yang baik dan mana yang benar, yang dapat kita lakukan melalui kesadaran yang terdapat didalam diri kita.

“Kesadaran adalah jalan menuju kekekalan. Ketidaksadaran adalah jalan menuju kematian, mereka yang sadar tidak akan mati. Orang yang tidak sadar seolah-olah telah mati” (Dhammapada 21)

“Diri sendirilah yang membuat diri jadi jahat. Drii sendirilah yang membuat diri jadi ternoda. Diri sendirilah yang membuat kejahatan terjadi. Namun diri menjadi suci dari noda”. (Dhammapada 165).

Perbuatan manusia dalam agama Buddha juga diatur didalam hokum karma atau sebab-sebab akibat perbuatan. Dinyatakan bahwa perbuatan baik (kusala kamma) akan mendatangkan kebahagiaan dan perbuatan buruk (akusala kamma) akan menghasilkan penderitaan. Perbuatan (kamma) tersbut dapat melalui pikiran (man0), ucapan (vacci) maupun tindakan jasmani (kaya), dan berdaya akibat bila disertai dnegan cetana (niat atau akibat).

Perilaku (karma) seseorang juga ditentukan oleh factor-faktor seperti : rangsangan luar (kontak) misalnya ; situasi; motif yang disadari, misalnya keserakahan, kebencian; dan motif yang tidak disadari. Misalnya keinginan untuk hidup langgeng (jivitukama), keinginan untuk menghindari dari kematian maritukama), keingianan untuk menikmati kesenangan (sukhama), dan penghindaran dari kesakitan (dukkhapatikkula).

“Tidak diangkasa, ditengah lautan ataupun didalam gua-gua gunung; tidak dimanapun seseorang dapat menyembunyikan dirinya dari akibat perbuatan-perbuatan jahatnya.” (Dhammapada 127).

Terhadap perbuatan-perbuatan yang akan kita lakukan, dan bekerjanya hukum karma ini, Sang Buddha juga menganjurkan kita untuk memiliki Hiri dan Otapa atau memiliki rasa malu melakukan perbuatan buruk/salah dan rasa takut akibat dari perbuatan buruk/salah. Disamping berupaya menyadari dan waspada terhadap kecenderungan laten yang mendadari prilaku misalnya melalui hening meditasi.

Sikap Peduli Bodhisattva.

Dalam perkembangan sejarahnya, agama Buddha terpecah menjadi dua mashab besar. Diperkirakan sejak awal abad pertama masehi perpecahan itu memunculkan dua mashab besar : Theravada dan Mahayana. Meski bersumber kepada Buddha Dharma, kedua mashab dengan cirri-ciri masing-masing ajaran ini turut memberikan corak yang khas bagi perilaku penganutnya maupun perwujudannya dalam dunia social dan budaya.

Theravada lebih bersifat ortodoks, bertujuan mencapai cita-cita Arahat (menjadi orang suci) dengan berupaya melenyapkan sifat-sifat negatif yang merupakan belenggu (samyojanna) yang terdapat didalam diri seperti seperti : kepercayaan terhadapku, keraguan, keyakinan bahwa upacara dapat membebaskan, keinginan akan kesenangan indria, kemarahan, keinginan kelangsungan, keinginan pemusnahan, kesombongan, ketidak seimbangan, dan kegelapan batin.

Prinsip negasi-negasionis (melenyapkan yang negatif) ini menjadikan kaum Thjeravedin begitu patuh terhadap prinsip moral dalam sila, serta melakukan meditasi perbersihan batin.

Mahayana lebih bersifat liberal-prograsif, dengan mengembangkan cita-cita Boddhisattva: bertujuan menolong semua makhluk yang menderita dengan : bilamana masih ada setangkai daunpun yang menderita saya tidak akan memasukinya meskipun pintu nirvana itu sudah terbuka untuk saya. Terhadap peraturan-peraturan moral atau susila kaum Mahayana tidak melekat begitu saja namun lebih menitik beratkan kepada semangat atau maknanya. Dengan mengembangkan karuna (belas kasih) kepad segenap makhluk yang menderita, dan dengan tercapainya pemahaman sunyata (kekosongan) melalui prajna (kebijaksanaan trassenden) yang menjadikan dirinya tidak terikat lagi, kaum Mahayana mengembangkan paramita atau kesempurnaan kebajikan (sifat-sifat yang positif) seperti: kedermawanan, moralitas, kesabaran, tekad, mediasi dan kebijaksanaan.

Dengan mengembangkan sad atau enam paramita ini kaum Mahayana mengupayakan berbagai macam cara untuk dapat berbuat baik dan menolong makhluk yang masih menderita (upaya kausalya). Kaum Mahayana juga lebih memandang positif terhadap dirinya, karena di dalam dirinya terkandung bodhicitta (benih/kesadaran Buddha) yang perlu ditumbuh-kembangkan, dan juga menjadi suara hati bagi perilakunya.

Dalam mahjab Mahayana pula berkembang pemahaman terhadap konsep Paramatha-Stya dan Semmuti-Satya atau kebenaran mutlak dan kebenaran relatif. Kedua kebenaran ganda ni tidak dipisahkan satu sama lain. Begitu pula tentang Asankhata Dharma dan Sankhata Dharma atau realitas yang absolut dan realitas yang relatif.

Kebenaran dan realitas dan adanya. Dunia merupakan lading subur bagi penanaman paramita dalam berbagai bidang kehidupan, baik melalui bidang kehidupan, baik melalui pengembangan prajna yang merupakan sumber daya bagi munculnya mansuia-manusia pandai dan cerdas lagi bijaksana, maupun aktualitas karuna yang merupakan sumber daya bagi solidaritas, kepeduliaan terhadap sesama makhluk dan lingkungan.

Bahwa kehidupan dalam dunia yang bersyarat, terkondisi relatif ini merupakan kancah bagi terketemukannya dna berkembagnnya nilai-nilai hakiki, nilai-nilai mutlak yang terkandung dalam moral.

Melalui cita-cita Bodhisattva berdasarkan sunyata (kekosongan, ketidakterikatan) dan karuna (balas kasih), kita mengembangkan kebebasan dan tanggung jawab social, atau moral social seperti misalnya sikap peduli untuk berupaya untuk mengatasi ketidakadilan, kekerasan dan sebagainya.

Kaum Muda Yang Mandiri dan Peduli Etika Buddhis menegaskan untuk hidup bersusila yang mandiri dan peduli. Hidup bersusila ini perlu dibentuk dan ditumbuh-kembangkan, terutama bagi kaum muda yang sedang dalam proses pencaharian diri dan pembentukan idnetitas. Pembentukan pribadi bersusila yag mandiri dan peduli ini sangat penting bagi mahasiswa sebagai kaum muda yang disamping akrab dengan ilmu pengetahuan yang menyangkut teori dan fakta, juga bergumul dengan masalah nilai Kemampuan Mahasiswa untuk memadukan diantara teori, fakta dan nilai, tidak hanya memungkinkan menjadi ilmuwan yang cerdas namun juga menjadi pribadi bersusila yang mandiri dan peduli.

Ciri seorang ilmuwan adalah mampu memadukan antara teori dan nilai fakta. Sedangkan dengan menghubungkan antara teori dan nilai memungkinkan mahasiswa dapat bersikpa selalu budayawan; yang memperhatikan masalah nilai-nilai kehidupan dan menjaga kehidupan ini. Bila seorang mahasiswa mampu menghubungkan antara fakta dan nilai, maka ia telah berperan sebagai seorang agamawan yang secara kritis menilai terhadap apa yang ada dan sekaligus mampu memberi orientasi terhadap apa yang seharusnya atau yang sebenarnya.

Dengan berlandaskan pada sila, keyakinan terhadap hukum karma, , pemahaman terhadap parammaha-satya, sammutti-satya, maupun asankhata-dhamma, sankhata-dhamma, dan pemahaman kritis melalui sunyata serta sikap seorang Bodhisattva yang didasari karuna, maka diharapkan seorang mahasiswa yang bergumul dengan teori, fakta dan nilai, akan memungkinkan terwujudnya pribadi bersusila yang mandiri, otonom, dewasa, dengan bersikap altruis, peduli terhadap lingkungan-dunia, maupun bermoral social yang matang.

[Disajikan dalam “Pekan Orientasi 2 Keluarga Mahasiswa Buddhis Jakarta”, Bumi Tri-dharma, Cipendawa Puncak, 13 – 17 Agustus 1997. Dikutip dari Majalah Buddhis Indonesia Edisi ke 59 / 1997]

Pelaksanaan Agama Buddha Dalam Kehidupan Sehari Hari

Pelaksanaan Agama Buddha Dalam Kehidupan Sehari Hari
Oleh: Yang Mulia Bhikkhu K. Sri. Dhammananda Nayake Mahathera



Buddha Dhamma sebagai suatu agama atau sebagai suatu cara hidup yang benar dihargai oleh orang-orang berintelek tinggi di banyak bagian dunia ini. Alasan yang sederhana ialah bahwa Sang Buddha, pendiri agama ini, adalah guru yang telah mencapai penerangan sempurna dan berpandangan luas. Cara hidup menurut agama Buddha sangatlah sederhana; bebas dari kepercayaan membuta dan dogma-dogma. Sayang sekali banyak orang yang belum mengerti bagaimana menempuh cara hidup yang benar menurut agama Buddha. Dewasa ini, di banyak bagian dunia ini, dan bahkan di antara masyarakat beragama Buddha sendiri, berbagai kepercayaan dan praktek masih dilakukan atas nama agama ini. Banyak diantara praktek-praktek ini sama sekali bukan ajaran asli Sang Buddha dan bahkan kadang-kadang bertentangan. Sebenarnya banyak orang telah mengabaikan dan melupakan cara hidup yang benar menurut agama Buddha. Banyak pula yang mempunyai pengertian yang keliru mengenai segi-segi panting tertentu dari agama ini. Dengan harapan untuk menghilangkan pandangan salah dan memberikan penerangan kepada masyarakat inilah, maka buku kecil ini diterbitkan.

Mengerti cara hidup menurut agama Buddha berarti harus menempuh cara hidup yang benar. Menghargai sifat kehidupan ini berarti mencapai suatu kehidupan nan bahagia dan damai.

Orang-orang tertentu yang disebut kaum intelektuil menggunakan Buddhisme hanya sebagai suatu dasar bagi pokok pembicaraan mereka dalam membahas segi-segi metafisika dan filsafat agama ini. Mereka mencemoohkan kebiasaan-kebiasaan kebudayaan umat Buddha yang telah diterima, bahkan menyalahkan kebiasaan-kebiasaaan demikian. Ini bukanlah sikap yang benar dan sehat dalam beragama. Suatu agama tanpa pengertian dan agama yang tidak meresap ke dalam kebudayaannya tak akan dapat bertahan, agama itu hanya akan menjadi filsafat kering dan menghilangkan beberapa waktu kemudian. Toleransi adalah hal utama dalam ajaran-ajaran Sang Buddha. Jika sesearang tidak dapat menerima pelaksanaan-pelaksanaan budaya tertentu, ia setidak-tidaknya harus membiarkan pelaksanaan-pelaksanaan tersebut. Dalam pada itu, seseorang harus meneliti makna dan arti yang mendasari pelaksanaan tersebut daripada ia mengeluarkan kata-kata yang gegabah dan tidak pada tempatnya.

Kebudayaan Buddhis telah meresap ke dalam setiap segi kehidupan kita. Kita mengetahui bahwa Buddhisme adalah suatu agama yang membimbing kita menuju kehidupan yang lebih baik di alam ini dan selanjutnya. Adalah tugas kita untuk menyelidiki, mempelajari, memahami dan melaksanakan hal-hal yang disediakan oleh agama kita untuk kita. Kita membutuhkan bimbingan agama kita untuk kehidupan sehari-hari. Upacara-upacara dan adat istiadat, meskipun diterima sebagai suatu bagian pelengkap bagi agama, tidaklah dengan sendirinya mengandung unsur agama. Pengembangan batin adalah segi terpenting dari agama. Untuk mencapai perkembangan batin ini, kita harus memulai dengan menumbuhkan dasar moral yang kuat sehingga kita mempunyai dasar yang teguh, dan dengan mengerti ajaran-ajaran Sang Buddha, kita dapat memperoleh inspirasi batin yang diperlukan. Rasa terima kasih dan penghormatan kita tertuju kepada Sang Guru Agung, Ajaran-ajaranNya dan Sangha tidak boleh dilupakan. Dengan demikian kita mempunyai tiga objek suci, Buddha, Dhamma dan Sangha, yang dalam bahasa Buddhis biasa kita sebut Tiratana yang harus kita hormati. Pencapaian pengembangan batin dan penghormatan pada Sang Tiratana adalah jalan yang dapat membawa kita kepada kehidupan yang benar menuju kedamaian, kebahagiaan dan keselamatan akhir. Inilah tujuan setiap umat Buddha. Sambil kita bercita-cita luhur, kita tidak boleh melupakan atau mengabaikan pelaksanaan atau kebiasaan agama sehari-hari yang mengingatkan kita pada tugas kita terhadap agama. Untuk mengingat semua hal yang bersangkutan dengan kewajiban-kewajiban keagamaan, maka suatu ikhtisar ringkas mengenai peraturan-peraturan agama dan pelaksanaannya akan diterangkan untuk para pembaca.

PERATURAN SEHARI-HARI

Sebagai umat Buddha, sudah selayaknya jika kita memiliki sebuah altar Buddha atau gambar Sang Buddha didalam rumah kita, bukan sebagai barang pameran tetapi sebagai objek penghargaan dan penghormatan. Lukisan indah dari Sang Buddha, yang melambangkan Metta (cinta kasih), kesucian dan kesempurnaan, berguna sebagai sumber hiburan dan inspirasi untuk menolong kita mengatasi segala kesulitan, keresahan atau kesalah pahaman yang perlu kita hadapi dalam kegiatan kita sehari-hari di dunia yang penuh kesukaran ini. Penghidupan penuh dengan perangkap. Perangkap demikian dapat dihindari jika kita ingat untuk melaksanakan ajaran-ajaran mulia dari Guru Agung kita. Sambil menghormati Sang Buddha, adalah suatu tugas yang paling menguntungkan, bila kita dapat bermeditasi walaupun sebentar saja, dengan memusatkan pikiran kita pada sifat-sifat agung dan mulia dari Sang Buddha, sehingga kita dapat menyempurnakan diri kita melalui inspirasinya.

MELAKSANAKANNYA DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI

Sebagai penganut, kita hendaknya membiasakan diri memberi penghormatan kepada Guru Agung ini setiap hari. Ini dapat dilakukan pada dini hari (pagi-pagi sekali) atau malam hari sebelum tidur. Sambil melakukan ini, adalah berfaedah, jika diusahakan untuk membacakan beberapa sutta. Inilah cara hidup nan mulia dari umat Buddha. Orang tua harus menananamkan kebiasaan-kebiasaan agama yang bermanfaat dan dihormati sepanjang zaman ini diantara anak-anak mereka sehingga mereka dapat menyadari dan menghargai pusaka mereka yang berharga.

Para orang tua yang beragama Buddha dianjurkan untuk menyekolahkan anak-anaknya di Sekolah Minggu Buddhis atau kelas-kelas agama untuk melatih anak-anak itu menjadi anak-anak yang patuh dan menjadi warga negara yang baik. Selain umat Buddha dianjurkan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan agama didalam keluarganya, mereka diingatkan untuk tidak melupakan atau mengabaikan kewajiban-kewajiban bersama terhadap kegiatan-kegiatan di vihara tempat kebaktian-kebaktian diadakan secara teratur pada hari-hari bulan purnama dan bulan madu (tanggal 1 dan 15 Candrasankala). Berkunjung ke wihara dan turut serta dalam kebaktian-kebaktian dapat dianggap sebagai perbuatan yang berjasa. Pelaksanaan delapan sila (ATTHA SILA) selama hari-hari tersebut (tanggal 1 dan 15 Lunar Calender) oleh para penganut merupakan suatu perbuatan yang layak dan berjasa. Mereka yang turut melaksanakan ini diminta untuk berpakaian putih sederhana dan tinggal di vihara selama 1 hari, dengan mencurahkan waktunya pada soal-soal keagamaan seperti meditasi, diskusi agama, rnembaca buku-buku agarna dan memancarkan cinta kasih (Metta).

PERAYAAN-PERAYAAN

Dalam menyelenggarakan perayaan-perayaan sosial atau keluarga, umat Buddha dinasehati untuk tidak bertingkah laku sedemikian rupa hingga melanggar dasar-dasar agama Buddha, misalnya Lima Sila dan Jalan Mulia Berunsur Delapan. Tata susila Buddhis harus dipertahankan, Mereka tidak boleh membiarkan dirinya menjadi mabuk atau dipengaruhi oleh sesuatu bentuk kesenangan yang hina, namun mereka hendaknya mengadakan perayaan-perayaan tersebut dengan cara terhormat sepadan dengan kedudukan mereka sebagai umat Buddha yarig terpelajar. Dalam memperingati peristiwa-peristiwa kemasyarakatan, sebaiknya kita tidak melupakan segi-segi rohaniah peringatan tersebut. Suatu kunjungan ke wihara untuk menerima berkah Sang Tiratana sungguhlah tepat untuk setiap kesempatan.

TRADISI DAN ADAT ISTIADAT

Pelaksanaan tradisi dan adat istiadat kebangsaan tidak perlu dibuang bila seseorang menjadi umat Buddha atau mengikuti ajaran Sang Buddha. Sesungguhnya Sang Buddha menasihati para pengikutnya untuk menghormati tradisi dan adat istiadat mereka sendiri jika hal itu mempunyai arti penting dan tidak merugikan. Sebaliknya, jika praktik-praktik itu bertentangan dengan atau melanggar prinsip-prinsip Buddhis yang fundamental, membahayakan orang lain, atau menyusahkan, maka praktik-praktik itu hendaknya dibuang, betapapun hal itu ditujukan untuk maksud baik. Bahkan dalam mengatur fungsi-fungsi keagamaan kita, adalah tugas kita untuk menyusun fungsi-fungsi itu dengan cara-cara terhormat tanpa menyusahkan orang lain. Pengertian ini sangat penting dalam pelaksanaan agama kita dalam masyarakat yang terdiri atas berbagai suku.

PEMBERKATAN RUMAH

Menempati suatu rumah baru atau pindah dari suatu rumah ke rumah lainnya sering diikuti dengan sesuatu bentuk peringatan atau upacara selamatan. Tidak ada keberatan untuk peringatan seperti itu, tetapi kemball -disini, terlepas dari segi sosial peringatan itu, adalah suatu tradisi Buddhis bagi keluarga yang bersangkutan untuk mengundang para bhikkhu untuk memberikan berkah demi kedamaian, kesejahteraan dan keselarasan rumah tangga itu.

PENGHORMATAN KEPADA PARA DEWA DAN "ROH" SUCI

Di banyak rumah umat Buddha, pesta-pesta tertentu atau perayaan-perayaan khusus diadakan untuk menghormati berbagai dewa dan "roh" suci yang dipuja di dalam rumah mereka atau di kuil-kuil. Walaupun tidak ada keberatan khusus sepanjang hal itu tidak melanggar azas-azas pokok Buddhis, namun harus ditarik suatu perbedaan terhadap kenyataan bahwa perayaan-perayaan yang demikian sifatnya tidaklah mernbantu dalam kemajuan batin kita kecuali untuk kemajuan duniawi. Hal-hal itu harus dengan jelas dibedakan dari Buddha Dhamma sendiri. Oleh karena itu kita jangan memperkenalkan kebiasaan-kebiasaan menurut adat atau tradisi ini sebagai kebiasaan-kebiasaan agama Buddha. Menurut ajaran-ajaran Sang Buddha cara yang tepat untuk mengenang atau menghormati dewa-dewa ini adalah melalui pemindahan jasa-jasa dengan jalan melaksanakan perbuatan-perbuatan berjasa dan memancarkan cinta kasih (Metta) kita kepada mereka melalui meditasi.

PEMBERKAHAN BAGI ANAK YANG BARU DILAHIRKAN

Orang tua anak yang baru melahirkan diminta untuk membawa anak itu ke wihara untuk menerima berkah Sang Tiratana setelah anak itu berusia satu bulan. Persembahan bunga, dupa, lilin atau buah-buahan boleh dilakukan di ruang pemujaan wihara itu dan bhikkhu-bhikku yang tinggal di wihara itu diminta untuk membacakan sutta-sutta untuk memberkahi anak tersebut. Jika dikehendaki, boleh juga dimintakan nasihat para bhikku itu untuk memberikan nama Buddhis yang cocok bagi anak tersebut.

PERNIKAHAN/PERKAWINAN

Telah diperhatikan bahwa banyak umat Buddha cenderung untuk melupakan kewajiban-kewajiban spiritual mereka berkenaan dengan peristiwa yang paling penting dan bertuah ini dalam kehidupan mereka, yaitu pernikahan. Biasanya di beberapa negara Buddhis pasangan yang bertunangan mengundang para bhikkhu untuk memberikan pemberkahan di rumah mereka ataupun di wihara sebelum hari pernikahan. Jika dikehendaki, pemberkahan itu dapat pula dilakukan setelah pernikahan yang biasanya berlangsung di Kantor Catatan Pernikahan atau dirumah pihak yang bersangkutan. Diharapkan agar pasangan-pasangan yang beragama Buddha dengan rajin menunaikan kewajiban-kewajiban agama mereka bila mereka menikah. Persembahan sederhana berupa bunga, dupa dan lilin adalah sernua yang diperlukan untuk kebaktian Pemberkahan sederhana yang diikuti oleh orang tua kedua pihak dan sanak keluarga serta kawan-kawan yang diundang. Pemberkahan demikian, yang diberikan pada hari bertuah, akan menjadi suatu sumbangan spiritual yang pasti untuk keberhasilan, langkah dan kebahagiaan pasangan yang baru menikah.

SAKIT

Seseorang yang sakit, selain menempuh pengobatan medis biasa, sebaiknya juga rnengundang para bhikkhu untuk melakukan suatu pemberkahan keagarnaan yang bertujuan mempercepat kesembuhan si pasien. Pemberkahan seperti itu dapat menanamkan pengaruh spiritual dan kejiwaan pada si pasien sehingga mempercepat penyembuhannya. Khususnya bila penyakit itu kebetulan berhubungan dengan sikap batin si sakit, suatu pelayanan spiritual oleh seorang bhikkhu akan sangat menolong. ~Dalam hal terdapat kepercayaan bahwa suatu penyakit disebabkan oleh pengaruh buruk dari luar atau "roh-roh" jahat, maka suatu kebaktian Pemberkahan dapat menjadi obat penawar yang baik. Tetapi, sebagai urnat Buddha yang mengerti, kita jangan menyerahkan diri pada kepercayaan atau khayalan keliru bahwa "roh-roh" jahat merupakan sebab penyakit kita.

Nasihat Sang Buddha:"Bilamana badanmu sakit, jangan biarkan pikiranmu menjadi sakit juga", sungguhlah benar. Sesuai dengan nasehat ini, kita harus mempergunakan kecerdasan dan pikiran sehat kita untuk mencari pengabatan medis yang cocok untuk penyakit kita daripada menyerah pada tahyulan Meskipun demikian, kita harus senantiasa ingat bahwa sakit merupakan bagian dan bidang dari kehidupan kita sehari-hari didunia ini, dan kita harus menerimanya dengan tenang.

PEMAKAMAN

Manusia harus mati dan kematian akan tiba pada saatnya. Namun, kematian adalah suatu peristiwa sedih dan memilukan bagi manusia. Upacara penguburan hendaknya juga upacara yang khidmat, sesuai dengan peristiwanya

Bertentangan dengan kepercayaan popular dalam masyarakat, upacara pemakaman Tionghoa yang sangat ramai, rumit dan kadang-kadang menyolok yang menelan biaya jutaan rupiah dan sering dikatakan sebagai kebiasaan normal bagi umat Buddha sebenarnya sama sekali bukanlah pelaksanaan Buddhis. Kebiasaan-kebiasaan itu hanya merupakan pengabdian adat istiadat dan tradisi kuno yang berasal dari generasi lampau. Orang-orang yang beragama lain sering heran bila melihat upacara seperti itu, apakah acara itu untuk memperingati sesuatu hari raya yang gembira atau upacara pemakaman yang khidmat. Meskipun agama Buddha tidak berkeberatan terhadap penerusan pelaksanaan itu, sepanjang praktik-praktik itu tidak bertentangan dengan ajaran Sang Buddha, namun terasa bahwa sudah waktunya pelaksanaan-pelaksanaan yang memboroskan, tidak ekonomis, dan tidak penting yang tidak bermanfaat bagi almarhum harus dihapuskan. Pelaksanaan upacara-upacara tradisional yang demikian rumit atau upacara kematian yang kadang-kadang berlangsung sampai berhari-hari atau berminggu-minggu harus pula dikurangi atau dibuang Pelaksanaan tradisional lainnya adalah pembakaran kertas tepekong dan rumah-rumahan kertas simbolis, yang dimaksudkan untuk kepentingan orang yang meninggal dunia. Hal ini jelas tidak bersifat Buddhis dan harus dilenyapkan.

Upacara pemakaman secara Buddhis hendaknya sederhana, khidmat, terhormat dan penuh arti. Bhikku-bhikku boleh diundang ke rumah orang yang meninggal dunia untuk membacakan sutta-sutta sebelum pemakaman. Pelayanan seperti ini diberikan dengan sukarela oleh para bhikkhu tanpa sesuatu pembayaran. Persembahan bunga-bunga dan pembakaran hio dan lilin adalah kebiasaan normal dan dapat diterima. Pada hari pemakaman, pelayanan para bhikkhu dapat dimintakan lagi untuk melaksanakan kebaktian di rumah dan di pekuburan. Telah menjadi kebiasaan bagi orang-orang Tionghoa untuk menyajikan segala jenis masakan termasuk babi dan ayam sebagai persembahan simbiolis untuk orang yang meninggal dunia. Ini juga merupakan suatu kebiasaan tradisionil yang tidak dianjurkan oleh Buddha Dhamma. Persembahan bunga yang sederhana beserta pembakaran dupa dan lilin sudah cukup sebagai persembahan simbolis.

Penyembelihan binatang-binatang tak bersalah untuk dipergunakan sebagai persembahan korban bagi orang-orang yang telah meninggal dunia jelas bertentangan dengan ajaran-ajaran Sang Buddha yang welas asih dan hendaknya dihapuskan sama sekali.

PENGUBURAN DAN PERABUAN

Banyak umat Buddha mempersoalkan apakah seorang yang meninggal dunia harus dikubur atau diperabukan. Buddha Dhamma bersikap lunak dalam persoalan ini. Tidak ada aturan yang keras dan ketat, meskipun di beberapa negara Buddhis perabuan merupakan kebiasaan yang lazim. Pilihan atas sesuatu cara pada dasarnya tergantung pada "permintaan terakhir" dari orang yang meninggal dunia atau atas kebijaksanaan keluarga terdekat.

Namun, dalam pandangan modern, perabuan dianjurkan sebagai suatu bentuk pengaturan mayat yang sesuai dengan syarat-syarat kesehatan. Dengan meningkatnya standar kesehatan dan terjadinya ledakan penduduk, tanah yang dapat dipakai menjadi tidak cukup, sehingga sebaiknya dilakukan perabuan dan tanah yang berharga dapat dipergunakan untuk yang masih hidup daripada dipenuhi dengan batu nisan yang tak terkira banyaknya. Baik dalam penguburan atau perabuan, telah diperhatikan bahwa orang-orang tertentu memasukkan benda-benda berharga milik orang yang meninggal dunia ke dalam peti mati atau tempat perabuan dengan harapan dan keyakinan bahwa orang yang meninggal dunia mendapat keuntungan daripadanya. Terlepas dari rasa sentimen terhadap perbuatan itu, adalah suatu pandangan keliru untuk mengharapkan bahwa penguburan dan pembakaran benda-benda tersebut akan mendatangkan jasa. Daripada dimasukkan kedalam peti mati atau tempat perabuan, lebih baik barang-barang berguna seperti pakaian, sepatu dan lain-lainnya disumbangkan kepada kaum fakir miskin atau kepada lembaga-lembaga amal. Setiap pertolongan kepada kaum fakir miskin merupakan suatu perbuatan berjasa.

PENGATURAN ABU

Pertanyaan sering diajukan tentang apakah yang harus dilakukan terhadap abu jenazah yang telah diperabukan. Tidak ada aturan yang keras dan ketat tentang pengaturannya. Abu itu dapat disimpan dalam sebuah guci dan diletakkan dalam suatu pagoda yang khusus didirikan dalam sebuah wihara untuk maksud itu atau dapat disimpan di mana saja menurut kehendak keluarga terdekat. Pada umumnya, setelah kebaktian singkat abu jenazah ditaburkan ke dalam laut atau sungai.

MENGHORMATI ORANG YANG MENINGGAL DUNIA

Telah dikatakan bahwa persembahan bunga-bunga adalah suatu bentuk penghormatan yang lazim untuk mengenang orang yang meninggal dunia. Namun, dalam hubungan ini juga, dilakukan hal-hal yang berlebih-lebihan karena pada upacara-upacara kita melihat karangan-karangan bunga bernilai ratusan ribu rupiah bertumpuk-tumpuk diatas makam, yang hanya dibersihkan sebagai sampah dalam satu atau dua hari berikutnya. Untuk menghindari pemborosan seperti ini, suatu kebiasaan yang lebih dapat diterima dan lebih layak telah disetujui oleh orang-orang masa kini yang lebih mengerti. Kebiasaan itu ialah bahwa sebagai pengganti karangan bunga, manisan atau kertas tepekong, keluarga terdekat dari orang yang meninggal dunia memberitahukan dalam surat kabar bahwa kawan-kawan atau sanak saudara yang ingin menghormati orang yang meninggal dunia itu dapat berdana kepada lernbaga-lembaga keagamaan atau panti derma atas nama orang yang meninggal dunia itu. Dalam beberapa hal, suatu yayasan khusus tempat orang yang meninggal dunia itu pernah berkecimpung aktif selama hidupnya ditunjuk sebagai penerima dana. Perubahan sikap ini sangat masuk akal dan menggembirakan. Sangat dianjurkan agar kebiasaan seperti ini dapat diikuti oleh semua umat Buddha yang mengerti.

Penghormatan kepada orang yang meninggal dunia biasanya pertama-tama diberikan oleh keluarga terdekat orang yang meninggal dunia itu. Penghormatan ini dengan mudah dapat diberikan oleh anak-anaknya atau keluarga terdekatnya dalam membantu mempersiapkan mayat ke dalam peti jenazah. Sayang sering terjadi bahwa karena ketahyulan yang keliru, ketakutan atau prasangka yang tidak semestinya, maka kewajiban atau penghormatan terakhir hi jarang dilakukan oleh orang yang bersangkutan. Sebagai gantinya beberapa orang petugas dipekerjakan untuk membersihkan dan membajui mayat itu. Seharusnya tidaklah demikian. Prasangka dan ketahyulan harus dihilangkan. Penghormatan harus diberikan kepada orang yang meninggal dunia.

UPACARA PERINGATAN

Penyelenggaraan upacara keagamaan untuk peringatan di wihara atau di rumah merupakan suatu bentuk lain untuk menghormati orang yang meninggal dunia. Ini dapat diikuti dengan perbuatan jasa yang lain dengan memberikan dana kepada bhikkhu-bhikkhu dan orang-orang miskin. Penyelenggaraan upacara peringatan biasanya dilakukan pada hari ketujuh setelah seseorang meninggal dunia dan juga pada bulan ketiga atau hari keseratusnya. Selanjutnya upacara itu dapat dilakukan pada hari peringatan tanggal kematiannya. Bagi mereka yang mampu, suatu bentuk perbuatan jasa yang lebih patut dipuji adalah berdana kepada yayasan keagamaan atau panti derma guna menghormati orang yang telah meninggal duniai atau menerbitkan buku-buku keagamaan untuk dibagikan pada masyarakat untuk memberi penerangan mengenai ajaran Sang Buddha nan agung.

Sumber: Day to Day Buddhist Practices, by Ven K. Sri Dhammananda. Diterjemahkan oleh: Budhiarta B.Sc. Penerbit: Yayasan Dhamma Jaya, Surabaya ]